Mohon tunggu...
Teha Sugiyo
Teha Sugiyo Mohon Tunggu... Guru - mea culpa, mea maxima culpa

guru dan pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merekam Jejak Toleransi

12 Februari 2017   16:43 Diperbarui: 12 Februari 2017   20:23 832
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika meletus peristiwa G-30-S/PKI, kami yang masih sekolah di SPG dan tinggal di asrama, secara bergilir menjaga tempat-tempat yang rawan perusakan.  Dengan semangat persatuan dan kesatuan, tanpa memandang suku, agama, ras dan golongan, kami bahu-membahu menjaga keamanan dan kedamaian NKRI. Ketika aksi demo untuk membubarkan PKI dan ormas lain pemecah belah kesatuan bangsa, kami berbaur dengan masyarakat dan warga lain untuk meneriakkan Tritura (tiga tuntutan rakyat: bubarkan PKI, turunkan harga dan ritul kabinet).

Lulus dari SPG, saya ditempatkan kerja di SMP Semboro di daerah Jember. Meski masih culun dan pengalaman sejumput saja, namun berbekal keberanian, keterbukaan dan kerendahan hati, wani ngalah, masyarakat Madura yang kabarnya begitu sangar itu, ternyata menerima saya dengan suka hati. Bahkan ada satu keluarga, ayah dari teman sewaktu di SPG, menganggap saya sebagai anaknya. Saleh Alhabsyi, teman sekelas yang wajahnya totol-totol bekas cacar, sangar seperti preman, ternyata berhati malaikat, ramah dan penuh persaudaraan.

Pada tahun berikutnya, dengan hasrat untuk meningkatkan diri, saya mengikuti tes di sebuah Akademi di Yogyakarta, namun gagal. Saya kembali ke Malang untuk mengikuti pendidikan pengembangan masyarakat. Tak sampai satu tahun, Paklik yang di Bandung, menjawab surat saya, dan meminta saya ke Bandung. Jadilah saya ke Bandung dan mengukir takdir menjadi guru SD setelah selama tiga bulan menganggur.

Perbedaan budaya tak mempengaruhi semangat pengabdian saya di tanah Sunda ini. Datang tampak muka, pergi tampak punggung. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Berbekal pepatah-petitih nenek moyang itu, saya pun tanpa kesulitan berarti segera membaur dalam masyarakat untuk mengawali tugas suci, menaburkan benih-benih kebaikan kepada anak-anak bangsa, generasi masa depan dari berbagai suku, agama, ras dan antargolongan.

Perkenalan saya dengan pelukis sohor, terjadi tanpa kesengajaan. Pada waktu itu saya ditugasi oleh Kepala Sekolah SD St. Yusup Jalan Cikutra 5 Bandung, untuk menyerahkan hadiah kepada dua orang anak yang gambarnya dimuat di majalah Bobo. Hadiah itu harus saya serahkan kepada orang tuanya. Sore hari saya berangkat mencari rumah di Gang Mesjid I No. 11 Cicadas Bandung.  Setelah menemukan rumah itu, saya pun dipersilakan masuk. Nama anak yang mendapatkan hadiah dari Bobo itu adalah Atasi Amin dan Azasi Adi. Dan nama bapaknya: Jeihan!

Sejak saat itu perkenalan saya dengan Jeihan semakin intens. Hampir tiap minggu saya tidak pernah absen berkunjung ke rumahnya. Kalau saya tidak datang bahkan Jeihan yang menanyakannya. Waktu itu Jeihan belum sekaya seperti sekarang. Rumahnya masih acak-acakan. Tiap hari kerjanya menggambar dan tidur. Kalau ada tamu dia baru bangun dan mengajak “berkelahi”. Bicaranya berapi-api seperti mitraliur yang ditembakkan tanpa henti. Orang yang mendengarkan yang capek, tapi yang ngomong gak capek-capek. Lewat Jeihan saya bisa berkenalan dengan banyak seniman kondang dari berbagai aliran. Ada pemain film, penyanyi, pemain drama, sastrawan dan juga wartawan.

Saya bertemu dengan Emmanuel Subangun, yang waktu itu menjadi wartawan Kompas dengan ciri tulisan yang “galak”. Saya bisa berkenalan dengan Farouk Afero, artis film yang selalu berperan antagonis. Saya bisa berkenalan dengan penyair Wing Kardjo, Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi W.M., Leon Agusta, Saini K.M., Slamet Sukirnanto, Suyatna Anirun, pendiri STB, Remy Silado, pendiri dan sutradara Teater 23761, Darmanto Yt., Dr. Sudjoko, kritikus seni, Sanento Yuliman, dosen ITB yang juga seniman, Wilson Nadeak, pendeta yang juga sastrawan, Wildan Yatim, dosen Biologi yang juga novelis, dan beberapa penyanyi angkatan 80-an. Tidak ketinggalan pula wartawan Tempo, Bambang Bujono, dan beberapa wartawan dari majalah pop waktu itu.

Persinggungan saya dengan beragam seniman dari berbagai aliran di samping menambah wawasan juga menambah persaudaraan dengan berbagai macam orang dari berbagai macam latar belakang. Hidup saya semakin diperkaya. Pengalaman menjadi “gelandangan” di rumah Jeihan bersama Sutardji, Remy dan Abdul Hadi lebih diperkaya lagi dengan munculnya “puisi mbeling” setelah ada “pengadilan puisi” yang digelar di tahun 70-an. Ada semacam “benturan” antara penyair-penyair “menara gading” (gedongan, yang terkesan serius), dengan penyair-penyair mbeling yang terkesan ugal-ugalan. Justru hal itu menambah indah dan semaraknya relasi di antara kami, dan semakin regeng, gayeng,  riuh rendahnya kami tertawa ngakak bersama-sama di rumah Jeihan, memecah keheningan malam.

Toleransi saya semakin diasah dan diperkaya saat saya ikut bergabung dengan Paguyuban Pengarang Sunda (PPS), yang waktu itu tumbuh subur di kota Bandung. Bermula dari esai saya yang dimuat di harian Pikiran Rakyat, dan tulisan-tulisan lain di koran-koran Bandung (Mandala, Bandung Pos, Mingguan Pelajar, dsb), membuat penulis-penulis muda kota Bandung mengenal saya. 

Jadilah kami sering kumpul bareng, diskusi sastra, sambil saling ejek dan menggoda dengan gaya masing-masing menambah asyiknya pergaulan di antara kami. Nama-nama penulis muda kala itu Anton de Sumartana, Deddy Effendi, Aam Muharam,  Rachmat DST, Eddy D. Iskandar (pengarang Gita Cinta dari SMA), Yessy Anwar, Udin Lubis Alinafiah Lubis, Emmanuel Iankla Maleala, Holisoh, ME, Yooke Tjuparmah, Nenden Lilis, Karno Kartadibrata, dan masih banyak lagi. Meskipun saya bukan orang Sunda,  para pengarang Sunda itu menerima saya dengan hati terbuka. 

Beberapa nama sampai saat ini masih tetap menjalin tali silaturahmi persaudaraan. Anton de Sumartana yang hingga kini masih menghidupi sastra dengan menerbitkan buku-buku kumpulan puisi, menunjukkan seolah kreativitasnya tak pernah kering. Deddy Effendie dan Aam Muharam, beberapa waktu silam sempat bertemu dan mengobrolkan nostalgia. Berkat adanya fesbuk, kami dipertemukan kembali dengan sahabat-sahabat lama, dan beberapa nama sudah mendahului kami menghadap Sang Khalik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun