Mohon tunggu...
Teha Sugiyo
Teha Sugiyo Mohon Tunggu... Guru - mea culpa, mea maxima culpa

guru dan pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Never Ever Give Up

13 November 2016   21:58 Diperbarui: 13 November 2016   23:11 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: sesawi.net

Belasan tahun yang lalu ketika menghadiri sebuah acara motivasi di Gedung Sabuga ITB, saya mendengar pembicara dari Malaysia, Azman Ching menyampaikan kisah motivasi yang luar biasa. Sampai saat ini saya masih mengingatnya dengan baik. Saya tidak tahu, siapa penulis asli kisah ini, yang jelas pada saat Azman Ching membawakannya penuh dengan penghayatan, atraktf, dramatis, dan total sehingga banyak peserta yang terpesona.

Saya juga tidak tahu, apakah nama Peter Darwis sebagai juara lomba lari maratan itu ada atau tidak,  yang jelas saya belum menemukan di mbah Google. Yang ada  adalah Oscar Pistorius (22-11-1986) yang cacat kaki dan mendapat medali emas di nomor 100, 200, 400m pada paralimpic 2008 di Beijing, dan mendapat peringkat dua di Olimpiade 2012 di London. (sumber: syailendragunadarma.wordpress.com ).

Saya sangat terkesan oleh kisah itu, sehingga pada saat bekerja sebagai seorang tenaga “pelatih” di sebuah perusahaan eceran, kisah motivasional itu sering saya bagikan. Bahkan sampai saat ini, ketika saya diminta bicara untuk memotivasi karyawan perusahaan, guru, mahasiswa atau tenaga pejual, saya juga masih sering menyampaikannya.

Bagini kisah yang saya ceritakan ulang menurut pemahaman saya:

Siang itu ada acara di sebuah gedung pertemuan untuk mendengarkan kisah Sang Juara lari maraton 30 kali. Namanya Peter Darwis. Usia di bawah 30 tahun. Seluruh penjuru ruangan sudah dipenuhi orang-orang yang ingin mendengarkan kesaksian sang Juara.

Di podium depan, pembawa acara sudah meminta hadirin untuk tenang, karena Sang Juara sudah hadir. Beberapa hadirin coba berdiri melihat-lihat manakah sang juara, namun tidak nampak.

”Saudara-saudara sekalian, hadirin yang kami muliakan. Berbahagia seklai kita hari ini, karena kita dapat mendengarkan kisah spektakuler yang dibawakan oleh orang yang mengalaminya sendiri. Tak perlu berlama-lama, mari kita panggilkan Sang Juara sejati.... Peterr Darwiiissss!” Segera, tepuk tangan pun membahana, lalu sang pembawa acara mundur dari podium.    

Tak berapa lama kemudian, terdengar suara, “Saudara-saudara, saya sudah menjuarai lomba maraton sebanyak 30 kali, sebelum usia saya genap 30 tahun. Dan sebanyak itu pula saya mendapatkan hadiah-hadiah yang menyenangkan.”

Namun para hadirin bertambah ramai karena pembicara tidak menampakkan batang hidungnya. Hadirin merasakan, pembicara tidak memberikan pengalaman yang spektakuler. Apalagi mereka tidak menyaksikan, mana sang juara itu. Banyak hadirin yang berdiri sambil berjinjit-jinjit untuk menyaksikan pembicara, namun tak seorang pun yang kelihatan di podium itu. Mereka tidak hanya ingin mendengar kesaksian sang juara yang  telah memenangi perlombaan sebanyak 30 kali, tetapi juga ingin menyaksikan siapa dan bagaimanakah sang juara itu.

Menyadari kekeliruannya, dengan gerak cepat, pembawa acara lalu memindahkan podium itu sehingga tubuh sang juara nampak seluruhnya. Ia hanya setinggi 110 cm. Tidak punya kaki, dan tidak punya tangan. Tubuh yang tidak sempurna itu hanya sebatas lutut, dan tangannya hanya sebatas lengan. Lalu, mengalirlah kisah masa lalunya yang getir.

Ia dilahirkan dalam keadaan cacat. Pada usia 7 tahun, ia masih berguling-guling di tempat tidur. Pada usia 9 tahun ia belum bisa jalan. Peter kecil memberontak kepada mamanya. “Mama, mengapa saya begini? Mengapa tangan saya begini, kaki saya begini, tidak sama dengan kakak-kakak saya? Mengapa kakak-kakak dapat berjalan, mengapa saya tidak?”

Ibunya tak dapat menjawab. Ia hanya mampu beruari air mata. Setelah dapat menguasai diri, ibu yang bijak itu pun berkata, “Peter, kecacatan itu memang ada. Tubuhmu memang cacat, tetapi bagi mama, kau adalah anak mama yang juga mama sayangi.  Kalau Tuhan memberimu tubuh yang tidak sempurna, dia pasti punya rencana khusus terhadapmu.

Jangan bertanya apa yang tidak kau punya, tetapi gunakanlah tubuh yang kau miliki itu. Kau memang tidak dapat mengubah kecacatan tubuh ini. Tetapi kamu dapat mengubah nasibmu! Jika kau melakukannya dengan sungguh-sungguh. Jangan pernah menyerah!” Berkata demikian, sesungguhnya, hati sang ibu hancur dan air matanya berderai. Segala kepahitan itu ditahannya,  tidak ditunjukkannnya kepada anak kesayangannya itu.

Waktu berlalu. Suatu hari Peter ingin belajar berdiri. “Mama, Peter ingin berdiri, ingin berjalan seperti kakak-kakak.” Ibunya menjawab, “Baik, Peter. Lakukan dengan sungguh-sungguh. Kamu pasti bisa!”

Berkali-kali Peter mencoba berdiri, tetapi karena tubuhnya lemas dan penyangga tubuh itu hanyalah lutut yang tidak memiliki telapak kaki, maka berkali-kali dia jatuh. Dia bangkit lagi, jatuh lagi, bangkit lagi jatuh lagi. Bangkit lagi. Ribuan kali ia jatuh dan ribuan kali ia bangkit. Ia berhasil menyangga tubuhnya dan mampu tegak berdiri dengan kokoh di tempat tidur itu. Ia berteriak, “Mama, Peter dapat berdiri!”  Mamanya pun memeluknya dengan erat.

Waktu yang lain. “Mama, Peter ingin belajar berjalan,” kata Peter suatu hari.

“Bagus, Peter lakukanlah dengan sungguh-sungguh. Kau pasti bisa, asal kau tidak  pernah menyerah!” Ia pun coba melatih tubuhnya untuk berjalan, di atas tempat tidur.

Di rumah, ada karpet. Peter tidak hanya ingin berjalan di tempat tidur saja, tetapi juga di mana saja dia suka. Di sepanjang lorong di ruang tamu, di ruang tengah, di halaman, di kebun, di jalan raya, dan di mana saja ia suka. Jika Peter mencoba menggerakkan lututnya di atas karpet mungkin tidak begitu sakit. Tetapi Peter ingin belajar berjalan tidak  hanya di rumah, ia ingin belajar berjalan di halaman rumah, di jalan, di kebun dan di mana saja, seperti kakak-kakaknya.

Lalu ia pun mencobanya. Mula-mula ia menyeret kakinya. Karena kaki itu tidak ada telapaknya, maka sakit sekali rasanya, tapi Peter menahannya. ”Teruskanlah anakku, kau pasti bisa”. Peter menyeret kakinya. Tiap-tiap hari dilakukannya, dan dilakukannya, dan setiap kali anaknya belajar berjalan, sang ibu  bersembunyi di balik hordeng agar tidak dilihat anaknya. Sebab setiap kali Peter menyeret kakinya, darah berceceran pada karpet, dan sang ibu mengelap darah itu dengan air mata berurai.

Tiap-tiap hari Peter belajar berjalan. Pagi, siang, sore, malam. Lama kelamaan tidak hanya di dalam rumah di atas kapet, tetapi Peter kini ingin ke luar rumah. Ia pun coba melakukannya di luar rumah, di halaman. Ia tertatih-tatih, kakinya bersentuhan dengan batu-batu yang keras, dan jalan yang tidak ramah. Setiap kali anaknya berjalan ibunya selalu mengikuti di belakangnya, dan mengelap darah yang berceceran di mana-mana. Manakala anaknya tidur, darah itu mengering, dan ibunya dengan penuh kasih mengelap kaki yang berdarah itu dengan lap hangat yang  basah. Setiap kali dilap, tubuh itu berkelojotan.

Semakin bersungguh-sungguh Peter belajar berjalan, semakin banyak darah berceceran. Akhirnya ia pun berhasil… ia dapat berjalan di halaman rumah, di kebun, dan juga di taman. Ke mana pun Peter pergi, ia senantiasa diikuti oleh ibunya  yang dengan setia menyaksikan perjuangan anaknya untuk belajar jalan. Ketika sang anak itu sudah mampu jalan, pada usia  14 tahun,  Peter dapat  bersekolah seperti anak-anak lain.

Tidak sedikit hinaan, cercaan, cemoohan dan pelecehan diterimanya. Namun ia tetap tegar tegak dan perkasa, menghadapi semuanya itu. Tiap-tiap hari ia terus meningkatkan kepandaiannya untuk jalan.  Pada usia 16 tahun ia ingin mengikuti lomba lari. Ibunya memberikan dukungan sepenuh hati walau dengan hati hancur.

Ketika ia meminta didaftarkan untuk lomba tersebut, panitia geleng-geleng kepala. Sambil tidak disertai informasi yang jelas, Peter tidak diizinkan mengikuti lomba. Alasannya, lomba ini untuk orang normal. Bukan orang cacat. Di samping itu usianya belum memenuhi syarat.

Peter merasa sakit hati manakala ia menyaksikan dirinya ditolak, karena kecacatan. Ibunya lebih sakit hati lagi.  Berkali-kali ia mengatakan, ”Tak apa Peter, teruslah berlatih. Never ever give up,” kepada anaknya. Setiap hari Peter pun berlatih lari. Dari pagi sampai sore. Jika anaknya belum pulang, sang ibu selalu menunggu kepulangan anaknya. Jika kakak-kakaknya sudah datang, dan Peter belum datang, maka ibunya mengajak kakak-kakaknya untuk menunggu sampai Peter datang. Begitu setiap hari selama bertahun-tahun.

Pada usia 19 tahun, ketika panitia memberikan izin, karena tidak ada peraturan yang melarang orang cacat ikut lomba, Peter pun membuat kejutan pertama. Ia mulai meraih kejuaraan lomba lari maraton pertama kalinya. Jarak tempuhnya 1000 meter. Untuk pertama kalinya dunia dikejutkan, bahwa juara lomba lari maraton untuk jarak 1000 m kali ini dimenangkan oleh seorang yang tidak memiliki kaki. Begitulah! Dari tahun ke tahun, Peter tidak pernah absen untuk terus berlatih dan berlomba. Berlatih dan berlomba. Dalam satu tahun, ia dapat mengikuti tiga atau empat kali pertandingan.

Pada usia 29 tahun, ia memecahkan rekor lomba lari maraton dengan jarak 30 km dengan waktu tercepat. Digabungkan dengan seluruh kejuaraan dan rekor yang pernah dicapainya, Peter telah meraih  kejuaraan lomba  lari maraton  sebanyak 30 kali. Tentu saja,  ini prestasi yang sangat luar biasa. Ini hanya bisa terjadi karena Peter adalah Sang Juara Sejati, yang senantiasa memiliki semangat never ever give up….

Di balik kejuaraan itu, ada seorang ibu yang dengan penuh kasih selalu setia memberikan dukungannya!

bandung, 13-11-2016.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun