Ibunya tak dapat menjawab. Ia hanya mampu beruari air mata. Setelah dapat menguasai diri, ibu yang bijak itu pun berkata, “Peter, kecacatan itu memang ada. Tubuhmu memang cacat, tetapi bagi mama, kau adalah anak mama yang juga mama sayangi. Kalau Tuhan memberimu tubuh yang tidak sempurna, dia pasti punya rencana khusus terhadapmu.
Jangan bertanya apa yang tidak kau punya, tetapi gunakanlah tubuh yang kau miliki itu. Kau memang tidak dapat mengubah kecacatan tubuh ini. Tetapi kamu dapat mengubah nasibmu! Jika kau melakukannya dengan sungguh-sungguh. Jangan pernah menyerah!” Berkata demikian, sesungguhnya, hati sang ibu hancur dan air matanya berderai. Segala kepahitan itu ditahannya, tidak ditunjukkannnya kepada anak kesayangannya itu.
Waktu berlalu. Suatu hari Peter ingin belajar berdiri. “Mama, Peter ingin berdiri, ingin berjalan seperti kakak-kakak.” Ibunya menjawab, “Baik, Peter. Lakukan dengan sungguh-sungguh. Kamu pasti bisa!”
Berkali-kali Peter mencoba berdiri, tetapi karena tubuhnya lemas dan penyangga tubuh itu hanyalah lutut yang tidak memiliki telapak kaki, maka berkali-kali dia jatuh. Dia bangkit lagi, jatuh lagi, bangkit lagi jatuh lagi. Bangkit lagi. Ribuan kali ia jatuh dan ribuan kali ia bangkit. Ia berhasil menyangga tubuhnya dan mampu tegak berdiri dengan kokoh di tempat tidur itu. Ia berteriak, “Mama, Peter dapat berdiri!” Mamanya pun memeluknya dengan erat.
Waktu yang lain. “Mama, Peter ingin belajar berjalan,” kata Peter suatu hari.
“Bagus, Peter lakukanlah dengan sungguh-sungguh. Kau pasti bisa, asal kau tidak pernah menyerah!” Ia pun coba melatih tubuhnya untuk berjalan, di atas tempat tidur.
Di rumah, ada karpet. Peter tidak hanya ingin berjalan di tempat tidur saja, tetapi juga di mana saja dia suka. Di sepanjang lorong di ruang tamu, di ruang tengah, di halaman, di kebun, di jalan raya, dan di mana saja ia suka. Jika Peter mencoba menggerakkan lututnya di atas karpet mungkin tidak begitu sakit. Tetapi Peter ingin belajar berjalan tidak hanya di rumah, ia ingin belajar berjalan di halaman rumah, di jalan, di kebun dan di mana saja, seperti kakak-kakaknya.
Lalu ia pun mencobanya. Mula-mula ia menyeret kakinya. Karena kaki itu tidak ada telapaknya, maka sakit sekali rasanya, tapi Peter menahannya. ”Teruskanlah anakku, kau pasti bisa”. Peter menyeret kakinya. Tiap-tiap hari dilakukannya, dan dilakukannya, dan setiap kali anaknya belajar berjalan, sang ibu bersembunyi di balik hordeng agar tidak dilihat anaknya. Sebab setiap kali Peter menyeret kakinya, darah berceceran pada karpet, dan sang ibu mengelap darah itu dengan air mata berurai.
Tiap-tiap hari Peter belajar berjalan. Pagi, siang, sore, malam. Lama kelamaan tidak hanya di dalam rumah di atas kapet, tetapi Peter kini ingin ke luar rumah. Ia pun coba melakukannya di luar rumah, di halaman. Ia tertatih-tatih, kakinya bersentuhan dengan batu-batu yang keras, dan jalan yang tidak ramah. Setiap kali anaknya berjalan ibunya selalu mengikuti di belakangnya, dan mengelap darah yang berceceran di mana-mana. Manakala anaknya tidur, darah itu mengering, dan ibunya dengan penuh kasih mengelap kaki yang berdarah itu dengan lap hangat yang basah. Setiap kali dilap, tubuh itu berkelojotan.
Semakin bersungguh-sungguh Peter belajar berjalan, semakin banyak darah berceceran. Akhirnya ia pun berhasil… ia dapat berjalan di halaman rumah, di kebun, dan juga di taman. Ke mana pun Peter pergi, ia senantiasa diikuti oleh ibunya yang dengan setia menyaksikan perjuangan anaknya untuk belajar jalan. Ketika sang anak itu sudah mampu jalan, pada usia 14 tahun, Peter dapat bersekolah seperti anak-anak lain.
Tidak sedikit hinaan, cercaan, cemoohan dan pelecehan diterimanya. Namun ia tetap tegar tegak dan perkasa, menghadapi semuanya itu. Tiap-tiap hari ia terus meningkatkan kepandaiannya untuk jalan. Pada usia 16 tahun ia ingin mengikuti lomba lari. Ibunya memberikan dukungan sepenuh hati walau dengan hati hancur.