Mohon tunggu...
Teha Sugiyo
Teha Sugiyo Mohon Tunggu... Guru - mea culpa, mea maxima culpa

guru dan pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Puisi

[Rose RTC] Septem Dolorem

16 September 2016   16:34 Diperbarui: 16 September 2016   18:24 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1

saat-saat kuntum merekah menguar asri

kini mengakar mekar berkembang menjulang

biji sesawi yang kau taburkan di hati

memenuhi taman sari puspa nurani

seorang peramal ingin memetik arumsari

berbisik angin kemarau menebar galau

sebilah pedang akan menembus uluh hati

saat kau saksikan anak semata wayang

menebar pandang sayang

2

apakah kakimu yang jenjang dengan langkah-langkah panjang

tak juga menyimpan lelah yang senantiasa mengalah

sementara di dada kirimu teronggok orok terguncang kilatan pedang garang

siap menghadang menerjang membelah dan mencacah marah

gegancangan kau berlari laksana badai tak kunjung henti

menembus duri menyelamatkan buah hati 

dari ancaman raja dengki irihati

tak juga kau berhenti

3

tidakkah kau dengar ratap tangis mengiba

saat telapak kakimu yang meronta dalam siaga

tiga hari berjalan ke sana ke mari mencari si jantung hati

tak henti kau tanyakan pada setiap waktu berlalu

angin membisu tak mampu menyembunyikan pilu

sementara kerumunan orang semakin jarang

tak juga kau temukan bocah lanang yang kau gadang-gadang

untuk menjadi sang pemenang

“bapakmu dan aku telah tiga hari mencarimu, nak!”

4

ingin kau angkat tubuh hancur anakmu yang tersungkur

lebih hancur hatimu dalam tanya yang terkubur

saat di belakangmu pedang-pedang teracung

menebas udara yang bertuba

cambuk dan cemeti siap menjadi saksi

bilur-bilur yang menghiasi punggung melengkung

oleh beban yang menggunung

5.

bagaimana rasanya ketika duri-duri tajam itu

menancap pada dahi pada pelipis dan kepala

bagaimana pula nikmat tajamnya paku  

ketika berpalu-palu menembusi tulang-tulang

pada tangan pada kaki

duri-duri paku-paku itu juga menembus jantung hatimu

masih juga kau jadi saksi darah dan air

yang mengalir dari lambung oleh tombak yang beraksi

6.

anak sungai dari matamu tak kunjung

berakhir mengalir menelusuri lorong-lorong sepi

saat kau terima tubuh lunglai yang telah menjadi

jasad tak bernyawa oleh kepongahan ambisi

angkara murka yang meracuni dunia

o legitnya dukalara

o manisnya derita

o indahnya bahagia

7.

berjalan meninggalkan onggokan tanah merah

yang belum juga kering oleh air mata

kau kibaskan sepi yang menawan hati

meracuni sepanjang siang sepanjang malam

fiat voluntas tua

biisikmu dalam geming

aku hanya bisa mendaraskan sesal

sambil gulung kuming berteriak

dimuliakanlah namamu

pada september dua satu

*) septem dolorem = tujuh dukacita

**) fiat voluntas tua = terjadilah menurut kehendakmu

bandung, 16 september 2016

rumpies-57dbbc7e117f61f444c8b168.jpg
rumpies-57dbbc7e117f61f444c8b168.jpg

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun