Mohon tunggu...
Teha Sugiyo
Teha Sugiyo Mohon Tunggu... Guru - mea culpa, mea maxima culpa

guru dan pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nenek yang Perkasa

18 Mei 2016   18:47 Diperbarui: 18 Mei 2016   19:14 525
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sukabumi 1947.

Ingatan saya melayang ke tahun itu, ketika  saya  berumur kurang dari  7 tahun. Saya tinggal dengan seorang nenek yang penuh dengan luka-luka batin. Hal ini tampak dari kerut-kerut wajah dan sinar matanya yang penuh dengan kepahitan hidup. Namun ketegaran, kesabaran dan cinta membuat nenek menjadi begitu kuat dan perkasa menanggung semua beban maha berat yang menghimpitnya.

Awalnya, ia ditinggalkan suami pertama untuk selamanya, dengan dua anak laki-laki yang masih memerlukan bimbingan seorang bapak. Memang, nenek mendapat warisan sebuah rumah besar di Jalan Benteng dengan kekayaan yang cukup. Tidak sulit bagi nenek untuk mendapatkan suami baru yang masih bujangan. Dialah kakek saya. Dalam perjalanan hidup selanjutnya, ternyata tidak seperti yang nenek harapkan.

Dari kakek saya, nenek  dikarunia tiga orang puteri yang diberi nama: Reigen [hujan] Morgen [pagi], dan Nonie [puteri kecil]. Mereka tumbuh dalam keceriaan. Morgen adalah ibu saya.  Dalam kebahagiaan yang belum banyak dinikmati oleh nenek bersama dua anak dari suami terdahulu, tiba-tiba rumah tangga nenek dihantam prahara dahsyat. Segalanya porak- poranda. Kakek saya dinikahkan lagi oleh ibunya dengan seorang gadis dari Jakarta. Selanjutnya nenek ditinggal begitu saja dengan ketiga puterinya di Sukabumi.

Kakek menetap di Jakarta. Dia tidak dikaruniai seorang anak pun dari pernikahan kedua. Penyebab perceraian itu terjadi, karena uyut saya, yaitu ibu kakek menginginkan anaknya menikah dengan seorang gadis, bukan janda, apa lagi sudah beranak dua. Ambruknya mental nenek mengakibatkan kehancuran parah dalam rumah tangga nenek. Lima nyawa anak-anak  menjadi korban broken home. Anak  nenek yang pertama tidak menikah. Anak kedua tumbuh menjadi anak yang keras hampir tidak memiliki perasaan. Reigen, tumbuh menjadi gadis glamour menikah dengan pengusaha bioskop di Cianjur. Morgen, yaitu ibu saya, menikah dengan seorang penjudi yang tidak bertanggung jawab selama hidupnpya. Nonie menikah dengan seorang keturunan Padang, karyawan bioskop, kemudian menjadi karyawan perkebunan di Cianjur. Setelah dikaruniai banyak anak, suaminya menikah lagi dan keluarga Noni berantakan.

Belum cukup dengan semua penderitaan itu, nenek dibebani untuk mengurus  enam orang cucu dari seorang anak lelaki dan dua orang puterinya. Dd, cucu dari anak lelaki nenek yang bekerja di perkebunan. Nn, Jhy, Cc dan Ind, cucu-cucu dari Reigen, kakak ibu saya. Lalu, saya sendiri, anak dari Morgen.  Reigen pergi entah ke mana setelah suaminya bunuh diri. Ibu dan bapak saya bekerja di Cisolok Pelabuan Ratu, Banten. Bapak bekerja sebagai kepala pengawas karcis/tiket Perusahaan Bis  THE & SONEN. Ibu dan bapak membawa kakak dan adik perempuan saya. Saya ditinggalkan di rumah nenek. Nenek tinggal di sebuah rumah  yang cukup besar. Ia menghidupi dirinya sendiri bersama kami berenam, cucu-cucunya.

Nenek berjualan kueh basah yang dijajakan oleh tiga orang pedagang keliling yang setiap pagi mengambil kue dari rumah nenek. Sore harinya mereka menyetor hasil jualannya. Nenek juga menjadi agen cuka lahang (aren) yang dijejer-jejerkan di samping rumah dengan guci-guci yang besar. Secara rutin, cuka lahang itu  ada yang membeli. Lahang itu dikirim oleh bapak-bapak dari kampung nan jauh. Lahang itu rasanya manis sekali.

Kami berenam tumbuh menjadi sebuah “geng” anak-anak nakal, suka menggangu tetangga, kadang juga merusak tanaman, melempari rumah tetangga dengan bermacam benda-benda kotor. Geng ini dipimpin oleh Nn, yang di kemudian hari menjadi isteri kedua dari suami baru kakak ibu saya.

Di antara cucu-cucu nenek, sepertinya sayalah yang masih mempunyai perasaan. Saya suka membantu nenek dalam berbagai pekerjaannya. Karena hal itulah saya sering dikerjainoleh “geng” ini, yang membuat saya  sering menangis. Kalau di rumah ada nenek, saya merasa beruntung, meskipun mereka meninggalkan saya. Tetapi kalau kami sedang bermain  di luar rumah, saya sering ditinggal begitu saja. Saya pun lari pulang ke pangkuan nenek. Nenek mendekap saya dengan penuh kasih sayang. Sore hari saya dan “geng” selalu mendapatkan jatah kue-kue sisa dagangan yang tidak terjual.

Saya biasa membantu nenek mengambil beberapa ember air dari sumur yang tidak jauh dari rumah. Airnya jernih, hanya sumur itu  agak dalam. Kami tidak mempunyai saluran air dari PAM. Untuk mencuci perabotan bekas, biasanya dilakukan di kolam kecil belakang rumah.  Kami mempunyai dua buah kolam. Di samping kolam kecil di belakng rumah, ada juga kolam besar yang dikelilingi oleh pohon-pohon pandan dan pohon suji. Setiap hari daun-daunnya saya petik untuk pewangi kueh.  

Bila malam tiba, ketika semua cucu sudah masuk ke kamar masing-masing, kami berdua masih bergelut di dapur untuk mencetak kue putu mayang. Setelah adonan dimasukkan ke dalam cetakan, giliran saya menaiki alu yang cukup besar duduk di atasnya. Dengan komando dari nenek, “Tekan, dan lepas!” Setelah selesai tugas itu saya disuruhnya tidur dan nenek meneruskan pekerjaannya.

Setiap hari  nenek tidak punya waktu untuk sekedar bercengkerama atau berceritera dengan cucu-cucunya. Sebelum matahari terbit pukul tiga pagi nenek sudah bangun menyalakan api di dapur menggunakan kayu bakar. Suatu pagi  kami dikagetkan dengan teriakan nenek yang menjerit keras. Kami semua terbangun menuju ke tempat nenek berteriak. Di sana kami lihat nenek sedang terduduk, dengan tangan masih belepotan abu dapur. Setelah beberapa waktu nenek berkata, “Sudah, sudah...  kembali tidur! Gak ada apa-apa. Hanya seekor ular besar yang  tertidur di abu yang hangat. Ia terbangun karena nenek menyalakan api.”

Nenek tidak pernah mempekerjakan pembantu, karena penghasilan pas-pasan untuk kebutuhan kami sehari-hari. Yang tak pernah saya lupakan, bila datang musim penghujan. Dagangan  kue basah nenek selalu tersisa begitu banyak.  Nenek hanya bisa duduk bersandar pada sebuah tiang pintu dapur. Mencoba tidak menangis! Begitu juga cuka yang biasa dibeli orang untuk membuat rujak, pada musim penghujan tidak laku. Nenek hanya berdiam diri dan menanggung semuanya pada pundak tuanya yang mulai renta.

Saya belum pernah melihat nenek menangis, juga belum pernah mendengar nenek mengeluh. Sekarang ini setelah saya memeluk agama, saya dapat mengatakan semua duka derita, kepedihan dan nestapa nenek disimpannya di dalam hati.

Waktu berlalu. Awal tahun 1948 saya dijemput ayah dan diboyong pindah ke Cisolok Pelabuan Ratu. Entah siapa dari cucu-cucu nenek yang membantu nenek setelah saya tidak lagi tinggal di sana, saya tidak tahu pasti. Akhir tahun 1953, saya kembali dari Cisolok Pelabuan Ratu. Saya kembali ke Sukabumi, karena ayah masuk penjara selama  satu tahun delapan bulan di Nyomplong. Hobi ayah berjudi membuat dia melalaikan tugas sebagai pengawas tiket bus. Seharusnya ayah mencegat di tempat-tempat rahasia, mengontrol penumpang dan karcis. Namun hal itu tidak dilakukannya.

Ia melakukan kongkalikong dengan pengawas lain dan  supir bus, sehingga perusahaan dirugikan puluhan juta, dan ayah masuk penjara. Bukan ayah saja yang masuk penjara, para pengawas dan supir juga. Kecuali kernet, supir dan semua pengawas dipenjarakan dengan hukuman berbeda.  Hampir bersamaan dengan ayah, kakak saya yang nakal dan sudah beristeri, entah melakukan kejahatan apa, dia pun dipenjara delapan bulan di Bogor.

Ibu saya shock. Matanya menjadi rabun dan hampir buta. Kami ditempatkan oleh kakek, di rumah darurat menempel di belakang sebuah rumahnya di Jalan Veteran I, yang dahulu terkenal dengan sebutan Rumah Bola. Bertemu lagi dengan nenek, ternyata sudah banyak perubahan. Nenek tidak tinggal di Jalan Benteng lagi. Lima tahun perpisahan rupanya banyak sekali yang telah berubah. Rumah besar di jalan besar, sudah ganti dengan rumah yang jauh lebih kecil dan masuk gang buntu dihimpit rumah-rumah tetangga.

Rumah sederhana di sebuah gang itu,  sekarang dihuni oleh paman tertua, yang tetap single. Kamar depan ditempati paman kedua, istri dan puterinya Dd. Paman kedua ini sekarang menjadi pengangguran, tidak mau bekerja. Nenek sendiri tinggal  di sebuah loteng (gudang) yang sengaja dibuat dari kayu dan papan menempel dengan wuwungan rumah, seperti kandang merpati. Di bawah kamar nenek ada meja besar yang di atasnya terdapat perabotan nenek yang tidak lagi kebagian tempat. Kebetulan rumah nenek ini ada di mulut jalan menuju pasar Ciwangi. Jadi nenek dan isteri paman bisa berjualan sayuran. Jadi sumber kehidupan nenek sekarang berjualan sayuran. Paman yang pertama sebenarnya tidak menyulitkan nenek.

Paman saya mempunyai keahlian merias pengantin. Sayang, orangnya sangat pelit dan pintu kamarnya selalu terkunci. Ia hampir tidak mau berkomunikasi. Seingat saya, serupiah pun belum pernah saya menerima uangnya, walaupun dalam perayaan tahun baru atau lainnya. Kalau saya lihat selintas, rupanya ada kebencian yang sangat mendalam dari kedua  paman ini pada nenek. Kala itu nenek usianya sudah memasuki tujuh puluh tahun. Rambutnya tetap hitam. Kelihatan badannya sekarang sudah tidak lurus lagi. Kulit dan keriputnya bertambah hitam. Tubuhnya semakin kurus, kalau berjalan kelihatan bungkuknya.

Saya tinggal di rumah kakek. Kebun yang cukup luas itu  “seolah-olah” menjadi milik saya. Saya biasa menyuplai daun pisang untuk dijual nenek. Sebagai imbalannya, nenek membawakan sayuran untuk ibu saya. Jarak rumah nenek dengan rumah kami cukup jauh, kurang lebih satu jam perjalanan.

Suatu sore, ketika saya sedang asyik menonton oran yang main layangan, nenek memanggil saya. Ia mengatakan bahwa daun pisang untuk jualan besok sudah habis. Saya diminta untuk menolong mengambilkannya,  karena akan dibawa nenek waktu itu juga. Dari kejauhan  saya berteriak kepada nenek, “Nek, gooknya ada di dapur! Tolong ambil sendiri! Saya lagi tanggung nih!”

Mata saya tidak lepas dari layang-layang yang sedang beradu. Di Cisolok tidak ada mainan layangan seramai ini. Setelah layangan semakin sedikit karena hari mulai senja, mata saya tertuju pada pohon-pohon pisang. Saya menduga nenek masih sibuk melipat daun-daun pisang. Nyatanya saya hanya melihat sebatang pohon pisang yang terkulai tapi tidak sampai roboh mengimpit golok yang tidak tuntas memotongnya. Saya berpikir...”Wah nenek nih gak tahu cara mengambil daun pisang. Main tebang saja!”

Biasanya, kalau orang mengambil daun pisang itu menggunakan galah yang di atasnya diselipkan  golok. Jadi mudah, tidak usah menebang pohonnya. Ah.. nenek. Waktu itu juga saya langsung memotong-motong pelepah pisang, dan mengambil daunnya. Sesudah dilipat-lipat secukupnya, saya ikat. Setelah mandi, saya langsung membawa daun pisang itu ke rumah nenek. Sampai di rumah nenek hari sudah gelap. Saya langsung menuju kamarnya. Dari bawah saya panggil-panggil nenek, “Nek, nek,  ini daun pisangnya!”

Kemudian ada suara dari atas, “Taruh saja di situ! Sekalian itu ada sayuran sawi untuk ibumu. Bawa yah!”

Saya jawab, “Baik Nek. Saya langsung pulang ajah yah.”

Jawaban dari atas, “Ya.”

 Rupanya itulah komunikasi saya yang terakhir dengan nenek saya yang perkasa sepanjang masa. Keesokan harinya saya diberitahu, pagi itu nenek diketahui sudah meninggal di kamarnya!

Saya terguguk menangis.... Semuanya berakhir. Tuhan sudah membawa nenek untuk menikmati istirahat kekalnya. Nenek sudah memberikan semuanya. Terutama cintanya, untuk cucu-cucunya.

Sampai hari ini cinta itu tetap membekas dalam diri saya.

Bandung, 18 Mei 2016

PS.

Seperti yang diceritakan oleh Guido Iman Setiadi kepada penulis. Tulisan ini merupakan awal dari biografi  "Dari Keranjang Sampah Menjadi Berkah", yang sedang disusun.

Sumber Gambar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun