Mohon tunggu...
Teha Sugiyo
Teha Sugiyo Mohon Tunggu... Guru - mea culpa, mea maxima culpa

guru dan pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nenek yang Perkasa

18 Mei 2016   18:47 Diperbarui: 18 Mei 2016   19:14 525
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap hari  nenek tidak punya waktu untuk sekedar bercengkerama atau berceritera dengan cucu-cucunya. Sebelum matahari terbit pukul tiga pagi nenek sudah bangun menyalakan api di dapur menggunakan kayu bakar. Suatu pagi  kami dikagetkan dengan teriakan nenek yang menjerit keras. Kami semua terbangun menuju ke tempat nenek berteriak. Di sana kami lihat nenek sedang terduduk, dengan tangan masih belepotan abu dapur. Setelah beberapa waktu nenek berkata, “Sudah, sudah...  kembali tidur! Gak ada apa-apa. Hanya seekor ular besar yang  tertidur di abu yang hangat. Ia terbangun karena nenek menyalakan api.”

Nenek tidak pernah mempekerjakan pembantu, karena penghasilan pas-pasan untuk kebutuhan kami sehari-hari. Yang tak pernah saya lupakan, bila datang musim penghujan. Dagangan  kue basah nenek selalu tersisa begitu banyak.  Nenek hanya bisa duduk bersandar pada sebuah tiang pintu dapur. Mencoba tidak menangis! Begitu juga cuka yang biasa dibeli orang untuk membuat rujak, pada musim penghujan tidak laku. Nenek hanya berdiam diri dan menanggung semuanya pada pundak tuanya yang mulai renta.

Saya belum pernah melihat nenek menangis, juga belum pernah mendengar nenek mengeluh. Sekarang ini setelah saya memeluk agama, saya dapat mengatakan semua duka derita, kepedihan dan nestapa nenek disimpannya di dalam hati.

Waktu berlalu. Awal tahun 1948 saya dijemput ayah dan diboyong pindah ke Cisolok Pelabuan Ratu. Entah siapa dari cucu-cucu nenek yang membantu nenek setelah saya tidak lagi tinggal di sana, saya tidak tahu pasti. Akhir tahun 1953, saya kembali dari Cisolok Pelabuan Ratu. Saya kembali ke Sukabumi, karena ayah masuk penjara selama  satu tahun delapan bulan di Nyomplong. Hobi ayah berjudi membuat dia melalaikan tugas sebagai pengawas tiket bus. Seharusnya ayah mencegat di tempat-tempat rahasia, mengontrol penumpang dan karcis. Namun hal itu tidak dilakukannya.

Ia melakukan kongkalikong dengan pengawas lain dan  supir bus, sehingga perusahaan dirugikan puluhan juta, dan ayah masuk penjara. Bukan ayah saja yang masuk penjara, para pengawas dan supir juga. Kecuali kernet, supir dan semua pengawas dipenjarakan dengan hukuman berbeda.  Hampir bersamaan dengan ayah, kakak saya yang nakal dan sudah beristeri, entah melakukan kejahatan apa, dia pun dipenjara delapan bulan di Bogor.

Ibu saya shock. Matanya menjadi rabun dan hampir buta. Kami ditempatkan oleh kakek, di rumah darurat menempel di belakang sebuah rumahnya di Jalan Veteran I, yang dahulu terkenal dengan sebutan Rumah Bola. Bertemu lagi dengan nenek, ternyata sudah banyak perubahan. Nenek tidak tinggal di Jalan Benteng lagi. Lima tahun perpisahan rupanya banyak sekali yang telah berubah. Rumah besar di jalan besar, sudah ganti dengan rumah yang jauh lebih kecil dan masuk gang buntu dihimpit rumah-rumah tetangga.

Rumah sederhana di sebuah gang itu,  sekarang dihuni oleh paman tertua, yang tetap single. Kamar depan ditempati paman kedua, istri dan puterinya Dd. Paman kedua ini sekarang menjadi pengangguran, tidak mau bekerja. Nenek sendiri tinggal  di sebuah loteng (gudang) yang sengaja dibuat dari kayu dan papan menempel dengan wuwungan rumah, seperti kandang merpati. Di bawah kamar nenek ada meja besar yang di atasnya terdapat perabotan nenek yang tidak lagi kebagian tempat. Kebetulan rumah nenek ini ada di mulut jalan menuju pasar Ciwangi. Jadi nenek dan isteri paman bisa berjualan sayuran. Jadi sumber kehidupan nenek sekarang berjualan sayuran. Paman yang pertama sebenarnya tidak menyulitkan nenek.

Paman saya mempunyai keahlian merias pengantin. Sayang, orangnya sangat pelit dan pintu kamarnya selalu terkunci. Ia hampir tidak mau berkomunikasi. Seingat saya, serupiah pun belum pernah saya menerima uangnya, walaupun dalam perayaan tahun baru atau lainnya. Kalau saya lihat selintas, rupanya ada kebencian yang sangat mendalam dari kedua  paman ini pada nenek. Kala itu nenek usianya sudah memasuki tujuh puluh tahun. Rambutnya tetap hitam. Kelihatan badannya sekarang sudah tidak lurus lagi. Kulit dan keriputnya bertambah hitam. Tubuhnya semakin kurus, kalau berjalan kelihatan bungkuknya.

Saya tinggal di rumah kakek. Kebun yang cukup luas itu  “seolah-olah” menjadi milik saya. Saya biasa menyuplai daun pisang untuk dijual nenek. Sebagai imbalannya, nenek membawakan sayuran untuk ibu saya. Jarak rumah nenek dengan rumah kami cukup jauh, kurang lebih satu jam perjalanan.

Suatu sore, ketika saya sedang asyik menonton oran yang main layangan, nenek memanggil saya. Ia mengatakan bahwa daun pisang untuk jualan besok sudah habis. Saya diminta untuk menolong mengambilkannya,  karena akan dibawa nenek waktu itu juga. Dari kejauhan  saya berteriak kepada nenek, “Nek, gooknya ada di dapur! Tolong ambil sendiri! Saya lagi tanggung nih!”

Mata saya tidak lepas dari layang-layang yang sedang beradu. Di Cisolok tidak ada mainan layangan seramai ini. Setelah layangan semakin sedikit karena hari mulai senja, mata saya tertuju pada pohon-pohon pisang. Saya menduga nenek masih sibuk melipat daun-daun pisang. Nyatanya saya hanya melihat sebatang pohon pisang yang terkulai tapi tidak sampai roboh mengimpit golok yang tidak tuntas memotongnya. Saya berpikir...”Wah nenek nih gak tahu cara mengambil daun pisang. Main tebang saja!”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun