Mohon tunggu...
Teha Sugiyo
Teha Sugiyo Mohon Tunggu... Guru - mea culpa, mea maxima culpa

guru dan pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Jejak-jejak Cinta

14 Februari 2016   15:00 Diperbarui: 14 Februari 2016   15:34 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="sumber: www.sesawi.net"][/caption]Teringat kisah lawas

Seseorang bermimpi suatu hari

Berjalan beriringan bersama Tuhan, di padang pasir kehidupan.

Tinggi di angkasa terpancang sebuah cermin raksasa,

yang merekam jejak-jejak telapak kaki kedua insan di sepanjang perjalanan.

Pada saat perjalanan berakhir, ia menoleh dan memandang ke arah cermin

Terperanjat ia sadar  ada sesuatu yang aneh dalam jejak-jejak itu.

Pada saat-saat awal, jejak-jejak telapak kaki itu ada dua pasang...

Di tengah perjalanan jejak-jejak telapak kaki itu hanya ada sepasang saja...

Bayangan di cermin mencatat saat jejak-jejak telapak kaki itu hanya tinggal sepasang

Ternyata itu terjadi pada masa-masa sulit dalam kehidupannya...

Bertanyalah ia kepada Tuhan, “Di manakah Engkau?

Justru aku dalam keterpurukan Engkau meninggalkan aku?”

“Itu bukan jejak telapak kakimu? Itu jejak telapak kaki-Ku!”

“Lalu, Kau campakkan ke mana aku?

Apakah Kau ceburkan aku  ke dalam jurang maha dalam penuh gelap gulita?

Ataukah Kau buang aku ke lembah mengerikan penuh tangisan dan kertak gigi?”

“Tidak, Nak. Pada saat-saat hatimu beku jiwamu layu dalam keterpurukan, mana mungkin kau tahan? Jangankan berjalan, berdiri pun kau tak mampu!”

“Jadi, Kau tinggalkan aku? Kau buang aku? Atau Kaukuburkan aku di padang pasir itu?”

“Sekali lagi tidak, Nak. Pada saat-saat itu, justru aku menggendongmu!”

...

Dengan sesenggukan kubawa remuknya hati ini

Sujud bertelut di pangkuan kasih-Mu.

Hanya debulah aku di bawah duli kaki-Mu

Hauskan kasih sayang sabda pengampunan

Di pintu-Mu aku terpuruk, aku tak bisa berbalik.

Dalam bungkus sesal yang masih tersisa

Kubisikkan ampun seribu ampun dengan air mata.

 

 

PS. Kisah “Jejak Telapak Kaki”ini masih tetap membekas. Saya dapatkan dari sebuah pelatihan, tapi saya tidak tahu lagi sumbernya. Saya tulis ulang dengan cara saya. Maafkan saya.

Bandung, 14 febr 2016.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun