Mohon tunggu...
Teha Sugiyo
Teha Sugiyo Mohon Tunggu... Guru - mea culpa, mea maxima culpa

guru dan pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Surat Seorang Guru kepada Muridnya

25 November 2015   23:04 Diperbarui: 25 November 2015   23:29 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Made, terus terang, aku sendiri juga takut kehilanganmu. Ini memang sangat pahit dan menyakitkan. Kita memang cinta, tapi ternyata cinta tidak mampu menyatukan perbedaan kita. Ini bakal jadi duri dalam daging. Inilah yang harus kita terima.” Meski kata-katamu jelas, toh kau tidak dapat membendung air matamu. Made menghampirimu dan mendekap mesra. Kau sembunyikan wajah di dadanya yang bidang.

“Kita berteman saja, Van. Dengan begitu kita masih dapat berbagi rasa,” katanya lembut sambil tangannya tak henti mengelus rambutmu. Kau hanya dapat mengangguk. Ada rasa pahit di hatimu. Mungkin tidak hanya kau sendiri, Made juga merasakannya, sebab tiba-tiba kau merasakan ada cairan hangat yang bergulir  di keningmu.

Kalian berdua menyadari adanya perbedaan itu. Jurang yang begitu dalam yang tak pernah kau ketahui dasarnya. Semakin hari semakin dalam dan kelam.

“Van, sepertinya kita harus jalan masing-masing. Namun pintaku, jangan lupakan aku. Aku siap membantumu. Terima kasih atas semua waktu yang telah kau berikan kepadaku. Terutama cintamu!” katanya.

“Made, Vani pun mengucap banyak terima kasih atas ketulusan cintamu. Kau telah memberikan kebahagiaan sekaligus kedewasaan padaku. Mana mungkin aku melupakanmu? Kamu telah memberikan semangat dan keyakinan kepadaku,” jawabmu sambil mencium keningnya. Made pun meraih tanganmu, lalu menciumnya.

“Selamat jalan Vani. Aku selalu merindukanmu. Semoga kau temukan kebahagiaan dalam meraih cita-citamu,” katanya sambil mengantarkan kepulanganmu.

“Terima kasih Made,” kau pun mendesis. Lalu hari-hari pun berlalu dalam kesunyian dan kesepian. Namun di balik itu ada sebuah prinsip yang telah terpancangkan. Cinta tak harus saling memiliki…

Novina, hidup memang seperti main sinetron. Sejak Shakespeare, Moliere sampai dengan SM Ardan, juga Achmad Albar, sama-sama sepakat bahwa hidup ini adalah sandiwara belaka. Dunia adalah panggung sandiwara dan kitalah aktor dan aktrisnya. Terserah apakah lakon yang kita mainkan pas di hati ataukah tidak, itu semua ada sutradaranya.

Hidup adalah cerita itu sendiri, karena hidup adalah sejarah. Oleh karenanya, barangkali akan sangat bermanfaat jika aku mengutipkan kata-kata Veronica A. Shoffstall

Setelah beberapa lama, kau akan mengerti perbedaan tipis

antara menggandeng tangan dan membelenggu jiwa,

Dan kau akan mengerti bahwa cinta bukan berarti bersandar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun