Mohon tunggu...
Teha Sugiyo
Teha Sugiyo Mohon Tunggu... Guru - mea culpa, mea maxima culpa

guru dan pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Surat Seorang Guru kepada Muridnya

25 November 2015   23:04 Diperbarui: 25 November 2015   23:29 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar: www.sesawi.net

 

Hikmah dari Keluarga

Novi yang baik,

“Jadikan agama sebagai landasan hidup! Jangan permainkan agama, karena agama bukan mainan!” Itulah kata-kata orangtua yang tak bosan-bosannya mereka ucapkan kepadamu. Kau menganggapnya hal itu biasa saja, dan tak pernah kausadari apa makna sebenarnya. Semakin sering mama, papa dan bahkan tantemu mengucapkannya, semakin kau justru tak mempedulikannya. Akhir-akhir ini, bahkan tantemu bilang, “Janganlah terlalu dikendalikan oleh perasaan sehingga kita tak bisa melihat kenyataan dan memutuskan sesuatu dengan tegas”. Kata-kata itu sedikit pun juga tak menyentuh hatimu.  Baru setelah kau tersandung dan kena batunya, kau jadi sadar dan lebih ngeh akan kebenaran kata-kata orang tuamu.

Lima bulan sudah kau menjalin hubungan khusus dengan I Made Maharupa Sudewa, teman sekampus yang berasal dari Bali. Kau katakan bahwa hubunganmu sangat romantis dan berjalan indah dan lancar-lancar saja.

Seiring bergulirnya waktu, perasaanmu mulai bimbang, manakala papa dan mama, juga tantemu terus-menerus menasihati dengan  kata-kata yang sama. Waktu demi waktu kau lewati untuk merenungkan semuanya itu. Akhirnya kau yakin bahwa hubunganmu dengan Madelah penyebabnya. Hubungan yang dibatasi oleh beda agama. Kau dibesarkan dalam agama Islam yang ketat. Made pun dibesarkan dalam ajaran Hindu yang taat. Perbedaan yang sangat jelas, yang semakin kau renungkan, semakin jelas menyeretmu ke sebuah kenyataan yang sangat pahit dan kau mulai sadar bahwa ternyata jurang perbedaan itu sangat sulit kalian jembatani. Beruntunglah kau dapat menggunakan pikiranmu secara jernih, sehingga kau berani ambil resiko menghadapi kenyataan pahit ini dengan tegar.

Dalam kepedihan itu, kau pun menelpon Made untuk membicarakan masalah kalian berdua. Esoknya pukul 14.15 Made datang dengan jeepnya menjemputmu dengan dandanan yang khas, yang menurutmu dia begitu manis, sehingga kau terasa berat mengutarakan niatmu.  Tanpa banyak bicara Made langsung mengajakmu ke sebuah rumah makan di Lembang, tempat yang sudah biasa kalian kunjungi.

“Made, aku ingin bicara serius tentang hubungan kita,” kau membuka percakapan sambil menunggu pesanan. Tanpa berani menatap matanya secara langsung, kau menunduk dan menyembunyikan matamu, takut kalau kau tidak dapat mengendalikan emosimu..

“Tentang hubungan kita?” Made bertanya agak terkejut. “Memang ada apa? Bukankah selama ini baik-baik saja?” katanya dengan wajah tanpa dosa.

“Apakah kau tidak sadar akan perbedaan kita, Made?” kau coba menatapnya.

“Ya, memang. Made sadar akan perbedaan kita, tapi Made sangat sayang sama Vani. Saking sayangnya, Made takut berpisah sama kamu!” katanya yang menggedor hatimu. Lalu ia meraih tanganmu dan meremasnya.

“Vani juga sayang sama Made, tapi bisakah kita dipersatukan  jika kita tetap berbeda?” Kau berhenti sejenak menahan nafas yang  tersendat di tenggorokan, menahan air mata yang segera tumpah. “Cobalah kita lihat dari sisi lain, keluarga kita sama-sama berharap agar kita tetap setia dan taat pada ajaran agama kita masing-masing. Oleh karena itu sebelum terlalu jauh kita melangkah yang mungkin membuat kita lebih sakit dan terluka, bagaimana kalau kita selesaikan semuanya sekarang saja.”  Meski kata-katamu begitu tegas tapi rasanya kau gemetaran mengucapkannya.

“Ya, tetapi beri aku waktu untuk memikirkannya. Ini  terlalu berat bagiku,” kata Made dengan wajah merah sambil menerawang jauh. Senja itu kalian lewati dengan tanpa bercanda seperti biasa. Kalian lebih banyak diam.

Hari berlalu begitu lamban  dan berat bagimu. Kau lebih banyak mengunci diri di kamar, termenung, sambil mendengarkan lagu-lagu nostalgia yang sangat menyayat dan mengiris hati. Sampai-sampai air mata pedih tak dapat kau bendung. Di balik ketersiksaan itu kau masih sadar dan tegar, sehingga tidak larut dalam deraan perasaan, namun berani ambil keputusan tegas untuk mempertahankan keyakinan.

Sebulan berlalu dalam kenangan masing-masing. Pada hari Jumat tanpa sepengetahuanmu, Made sudah menunggu di gerbang kampus. Masih seperti dulu dengan dandanan yang khas, rambut hitam sepanjang bahu dibiarkannya tergerai. Senyumnya berseri, namun di balik itu terlihat jelas adanya kepahitan  di matanya.

“Hai, udah lama nunggu?” celotehmu sambil meraih tangannya.

“Nggak lama, baru juga satu jam,” candanya masih seperti biasa. “Van, hari ini cuaca cerah, kayaknya enak buat jalan-jalan lho? Bagaimana? Mau ke tempat biasa, ke rumah kakakku atau jalan-jalan saja?” sambungnya.

“Ke mana saja, terserah kamu. Vani ikut saja!” katamu.

“Kalau begitu, bagaimana kalau ke rumahku?” Kau hanya mengangguk.  Rumahnya memang tak begitu jauh dengan rumahmu. Satu kelurahan hanya beda kompleks.

Seperti biasa kalau kau ke rumahnya, Made selalu mengajakmu ke lantai atas rumahnya. Di sana ada teras yang nyaman, banyak bunga yang teduh, dan angin semilir segar.  Made tahu kalau kau suka sekali menikmati pemandangan di sana. Awalnya kalian bercanda biasa, tidak terlalu serius, lalu kala kau menyinggung hubungan kalian, Made beranjak dari kursi rotan, lalu berdiri di pinggir pagar tembok setinggi pinggang.

“Van, aku sudah merenungkannya. Aku sadar akan perbedaan kita, tapi apa yang harus kuperbuat? Aku takut kehilanganmu.” Made akhirnya bicara memecah keheningan.

“Made, terus terang, aku sendiri juga takut kehilanganmu. Ini memang sangat pahit dan menyakitkan. Kita memang cinta, tapi ternyata cinta tidak mampu menyatukan perbedaan kita. Ini bakal jadi duri dalam daging. Inilah yang harus kita terima.” Meski kata-katamu jelas, toh kau tidak dapat membendung air matamu. Made menghampirimu dan mendekap mesra. Kau sembunyikan wajah di dadanya yang bidang.

“Kita berteman saja, Van. Dengan begitu kita masih dapat berbagi rasa,” katanya lembut sambil tangannya tak henti mengelus rambutmu. Kau hanya dapat mengangguk. Ada rasa pahit di hatimu. Mungkin tidak hanya kau sendiri, Made juga merasakannya, sebab tiba-tiba kau merasakan ada cairan hangat yang bergulir  di keningmu.

Kalian berdua menyadari adanya perbedaan itu. Jurang yang begitu dalam yang tak pernah kau ketahui dasarnya. Semakin hari semakin dalam dan kelam.

“Van, sepertinya kita harus jalan masing-masing. Namun pintaku, jangan lupakan aku. Aku siap membantumu. Terima kasih atas semua waktu yang telah kau berikan kepadaku. Terutama cintamu!” katanya.

“Made, Vani pun mengucap banyak terima kasih atas ketulusan cintamu. Kau telah memberikan kebahagiaan sekaligus kedewasaan padaku. Mana mungkin aku melupakanmu? Kamu telah memberikan semangat dan keyakinan kepadaku,” jawabmu sambil mencium keningnya. Made pun meraih tanganmu, lalu menciumnya.

“Selamat jalan Vani. Aku selalu merindukanmu. Semoga kau temukan kebahagiaan dalam meraih cita-citamu,” katanya sambil mengantarkan kepulanganmu.

“Terima kasih Made,” kau pun mendesis. Lalu hari-hari pun berlalu dalam kesunyian dan kesepian. Namun di balik itu ada sebuah prinsip yang telah terpancangkan. Cinta tak harus saling memiliki…

Novina, hidup memang seperti main sinetron. Sejak Shakespeare, Moliere sampai dengan SM Ardan, juga Achmad Albar, sama-sama sepakat bahwa hidup ini adalah sandiwara belaka. Dunia adalah panggung sandiwara dan kitalah aktor dan aktrisnya. Terserah apakah lakon yang kita mainkan pas di hati ataukah tidak, itu semua ada sutradaranya.

Hidup adalah cerita itu sendiri, karena hidup adalah sejarah. Oleh karenanya, barangkali akan sangat bermanfaat jika aku mengutipkan kata-kata Veronica A. Shoffstall

Setelah beberapa lama, kau akan mengerti perbedaan tipis

antara menggandeng tangan dan membelenggu jiwa,

Dan kau akan mengerti bahwa cinta bukan berarti bersandar

  dan teman bukan berarti aman,

Dan kau mulai mengerti bahwa ciuman bukanlah kontrak

dan hadiah bukanlah janji,

Dan kau mulai menerima kekalahanmu sambil mengangkat kepala

 dan membuka mata, dengan kelapangan dada seorang dewasa,

bukan kesedihan seorang anak,

Dan kau belajar membangun semua jalanmu hari ini

 karena tanah hari esok sangat tak pasti, sulit direncanakan.

Setelah beberapa lama kau mengerti bahwa sinar mentari pun

akan membakarmu kalau berlebihan.

Jadi, tanamilah kebunmu dan hiasilah jiwamu,

jangan menunggu orang  lain membawa bunga untukmu.

Dan kau mengerti bahwa kau bisa bertahan…

Bahwa kau sebenarnya kuat,

Dan kau sebenarnya berharga.                            

Novi, nampaknya kau berbakat sekali untuk menjadi pengarang. Perasaanmu halus, lembut dan peka. Kau juga peduli terhadap orang lain, di samping memiliki prinsip. Itulah kekuatan-kekuatan yang kau miliki, Nov. Jika kekuatan-kekuatan itu kau pertahankan atau bahkan kau tingkatkan, niscaya kau pasti akan dapat menjadi pengarang terkenal.

Sukses ya Nov.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun