Dalam catatan sejarah, Datuak Parpatiah Nan Sabatang, hidup pada waktu pemerintahan Adityawarman, pada awal abad ke-14 (1315 M). Dalam salah satu versi sejarah disebutkan keberadaan Adityawarman menjadi raja di Kerajaan Pagaruyung, tercatat Datuk Parpatiah Nan Sabatang selaku patih kerajaan. Sudah berapa lama riwayat etnis Minangkabau terbentang, sekian banyak pula para ahli sejarah mencari tahu dimana makamnya, namun sedikit ahli sejarah yang dapat mengemukakan kehidupan beliau.
Nah, sebagai tokoh panutan dalam masyarakat Minangkabau, Datuk Parpatiah Nan Sabatang, mempunyai kesukaan mengembara, tidak saja di Minangkabau, tapi sampai ke tanah Jawa. Dalam pengembaraannya, beliau selalu menimba berbagai ilmu dari negeri-negeri yang dikunjunginya. Apakah dia sempat mengunjungi Kalimantan? Patih Sebatang saya dapati menjadi tokoh lokal pada beberapa suku di Indonesia yang karakternya disesuaikan dengan setting setempat. Herwiq dan Zahorka meyakini bahwa memang ada benang merah antara suku Minangkabau di Sumatera Barat dan Dayak Tomun di Kalimantan. Benang merahnya itu adalah Patih Sebatang.
Laksamana Cheng Ho versus Sampuraga
Tokoh ini begitu terkenal. Saya tidak perlu mengomentarinya lagi. Tapi sebagaimana cerita lain, tokoh legendaris ini muncul dalam beberapa tempat di Indonesia. Izinkan saya menyampaikan satu fakta saja: Cheng Ho atau Zheng He disebut juga Dampu Awang atau Dampo Awang. Artinya, Dang atau Sang Puhawang yang menurut Mira Sidharta adalah nakhoda kapal.
Cerita tentang Dampu Awang terdengar baik di Lampung maupun Palembang. Di Lampung menyebut Dampu Awang sebagai Pangeran Sebatang. (Atau Patih Sebatang? Entahlah) Raja Iskandar, sang ayah, membuang Pangeran Sebatang ke laut. Bayi mungil itu terapung-apung, lalu diselamatkan burung garuda. Setelah besar, raja menyesal, lalu memberi Pangeran Sebatang sebuah kapal, lengkap dengan kelasi dan peralatannya. Dengan kapal itu, ia berlayar ke Majapahit dan diberi gelar Raden Puhawang atau Dang Puhawang atau Dampu Awang.
Apa hubungannya Laksamana Cheng Ho dengan kisah Sampuraga ya? Dengar baik-baik: Dalam cerita rakyat Palembang, Dampu Awang diceritakan sebagai anak durhaka. Dampu Awang dikisahkan pergi merantau, dan setelah berhasil pulang ke Palembang dia tidak mengakui ibunya. Ia dikutuk sehingga kapal besarnya berubah menjadi batu. Di muara sungai, ada daerah bernama Batu Ampar. Daerah itulah yang oleh penduduk sekitar disebut bekas kapal Dampu Awang. Betapa mirip dengan kisah Sampuraga, eh Malin Kundang, bukan? Silahkan baca dalam :
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2005/08/29/SEL/mbm.20050829.SEL116437.id.html
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana tokoh sekelas Laksamana Cheng Ho membatu seperti Sampuraga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H