Tidak adil rasanya membicarakan Sampuraga tanpa menyinggung suku yang menuturkannya: Dayak Tomun. Dayak Tomun (Tomon, atau Tumon dalam beberapa tulisan) bukanlah nama diri atau nama suatu suku. Dayak Tomun adalah penamaan untuk sekelompok suku Dayak yang mendiami Daerah Aliran Sungai Lamandau di Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Kata "Tomun' bisa diartikan "berbicara, bermusyawarah, bertemu, adanya perjumpaan untuk saling memahami, mengerti, dan mengetahui benar, serta memaklumi". Tomun artinya kaum yang mudah berhubungan satu sama lain dalam satu rumpun. Walaupun terdiri dari berbagai dialek yang berbeda, mereka masih bisa saling berkomunikasi seakan-akan satu suku. Karena kadang-kadang beda dialek antara desa-desa setetangga hanya pada huruf terakhir, kita tidak harus mempelajari semua dialek. Kalau di desa Tapin Bini bertanya Honak Kamuna artinya Hendak kemana, maka kalimat itu menjadi Honak Kamuno dalam dialek Delang. Begitulah pemahaman makna "Tomun".
Saya menghabiskan satu setengah tahun pengabdian saya di tengah-tengah masyarakat Dayak Tomun. Fenomena yang paling menarik saya bukanlah kuyang, alias hantu terbang yang pernah saya lihat dengan mata kepala sendiri. Tapi fakta bahwa salah satu desa di Kabupaten Lamandau mempunyai benang merah dengan suku Minangkabau di Sumatera Barat. Waktu pertama kali bertugas di Kalimantan, kami disambut dengan pesta adat di desa Kudangan, desa terpencil di Kabupaten Lamandau.
Desa Kudangan yang dihuni oleh suku Dayak Delang yang merupakan rumpun Dayak Tomun. Tapi bentuk rumah mereka mirip rumah gadang dengan atap melengkung sebagai tanduk kerbau seperti di Sumatera Barat. Ada lagi kebiasaan kaum laki-laki di Kudangan mengunyah daun sirih dan sebaliknya wanita mengisap rokok kelintingan buatan sendiri. Bahasa sehari-hari yang dipergunakan adalah bahasa suku Dayak Delang, namun dialek dan sebutan kata-katanya banyak kesamaan dengan bahasa daerah Minangkabau, yang selalu berakhir dengan huruf o dan Ik. Seperti contohnya antara lain duo = dua, sanjo = senja/sore, kepalo = Kepala, takajuik = terkejut dan lain sebagainya.
Penduduk Kudangan meyakini bahwa mereka berasal dari keturunan kerajaan Pagaruyung di Sumatera Barat sejak abad ke 14. Menurut cerita seorang bangsawan dari Kerajaan Pagaruyung yang bernama Malikur Besar Gelar Patih Sebatang Balai Seruang berlayar ke Kalimantan. Memasuki suatu alur sungai, Datuk Malikur Besar itu tertarik dengan suatu daerah dan mendirikan kerajaan kecil yang diberi nama "Kudangan". Rombongan Datuk Malikur Besar ini berbaur dengan penduduk asli setempat.
Bukti kerajaan Kudangan keturunan Pagarruyung itu, yang sekarang menjadi kecamatan Delang adalah adanya sejumlah peninggalan bersejarah antara lain suatu bendera berukuran 3 kali 1,5 meter dan hingga kini disimpan dengan baik di rumah adat Kudangan.
Saya juga memperhatikan bahwa kebanyakan warga suku Dayak Tomun mengakui diri mereka sebagai keturunan Patih Sebatang. Saya percaya bahwa Patih Sebatang yang mereka sebut itu adalah Datuak Parpatiah Nan Sabatang, tokoh terkenal dari Minangkabau.
Datuak Parpatiah Nan Sabatang
Siapa tokoh ini? Datuak Parpatiah Nan Sabatang adalah misteri bagi saya. Apakah dia pernah benar-benar ada dalam sejarah, atau sebagai legenda saja? Suku Minangkabau, dari dahulu hingga sekarang, mempercayai dengan penuh keyakinan, bahwa dia seorang tokoh adat terkenal yang berasal dari Limo Kaum dan dianggap pendiri Adat Koto Piliang dan Adat Bodi Caniago yang sampai sekarang masih hidup subur di dalam masyarakat Minangkabau, baik yang ada di Sumatera Barat sendiri maupun yang ada diperantauan.
Ada petunjuk bagi kita bahwa dia memang merupakan tokoh sejarah Minangkabau. Pitono mengambil kesimpulan bahwa dari bait kedua prasasti pada bagian belakang arca Amogapasa, antara tokoh adat Datuk Perpatih Nan Sabatang dengan tokoh Dewa Tuhan Perpatih yang tertulis pada arca itu adalah satu tokoh yang sama.
Dijelaskan selanjutnya bahwa pada prasasti itu tokoh Dewa Tuhan Perpatih sebagai salah seorang terkemuka dari raja Adityawarman yaitu salah seorang menterinya. Jadi tokoh Dewa Tuhan yang ada pada prasasti yang terdapat di Padang Candi itu adalah sama dengan Datuk Perpatih Nan Sabatang. Demikian kesimpulannya.