Mohon tunggu...
Sufira Rahmi
Sufira Rahmi Mohon Tunggu... Lainnya - Pascassarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh

tertarik dalam dunia ilmu al-Quran dan tafsir

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penerapan Teori Double Movement Fazlur Rahman dalam Problematika Isu-Isu Kontemporer

16 Desember 2023   15:03 Diperbarui: 16 Desember 2023   15:05 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pecihitam.org/fazlur-rahman/

PenerapanTeori Double Movement Fazlur Rahman dalam Problematika Isu-Isu Kontemporer

Sufira Rahmi

Abstrak

Seiring berkembangnya zaman dan kebutuhan akan jawaban dari setiap problema-problema yang tumbuh dalam masyarkat serta kebutuhan akan al-Quran sebagai jawaban dari setiap dilema di era ini maka dibutuhkan tafsir sebagai salah satu komponen yang tidak bias dipisahkan dari al-Quran dan sebagai jalan solusi terhadap respon zaman yang berkembang. Namun dalam perjalanannya tafsir klasik dianggap tidak relevan lagi dengan zaman dan keperluan umat islam dalam kurun ini. Di antara banyak terobosan-terobosan baru yan dianggap sebagai kunci dalam merespon keperluan umat dalam kurum waktu ini terutama dalam bidang tafsir ialah hermeneutika, salah satu tokoh yang cukup gencar dalam meyuarakan teori ini adalah Fazlur Rahman, Fazlur Rahman berpendapat bahwa karya-karya para ahli tafsir klasik tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan masa kini karena metode yang  mereka gunakan berada dalam kekurangan, khususnya dalam bidang epistemologi.Fazlur Rahman menawarkan pendekatan hermeneutik untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dengan menggunakan teori gerak ganda atau biasa lebih dikenal dengan teori double movement.

Kata Kunci: Kontemporer, Hermeneutika, Fazlur Rahman, double movement

PENDAHULUAN

Al-Qur'an mengandung berbagai macam makna, dalam menyingkap pesan yang tersembunyi dalam Al-Qur'an diperlukan suatu metodologi penelitian yang menjamin bahwa makna-makna yang diperoleh darinya tidak menyimpang dari ketentuan yang berlaku. Pada dasarnya metode tafsir ini dikembangkan oleh para ulama Salaf dalam upaya berdialog dengan Al-Qur'an. Agar Al-Quran dapat terus menjadi sebagai jalan keluar umat, maka diperlukan metodologi baru untuk menjadikannya tangguh dan fleksibel, dengan mempertimbangkan perkembangan saat ini.

Perkembangan pemikiran Islam beberapa dekade terakhir tidak hanya dari segi perkembangan intelektual umum dan teknologi, namun juga dengan berkembangnya metode penafsiran modern. Di zaman modern ini banyak bermunculan penafsir yang mengkaji hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Quran dan mengaitkannya dengan permasalahan-permasalahan yang baru muncul di kurun ini. Salah satu penggiat reformasi ini adalah tokoh nasional Pakistan yaitu Fazlur Rahman.

Fazlur Rahman merupakan seorang intelektual muslim, ia menawarkan sebuah metodologi baru memahami al-Qur'an denga metodologi al-Qur'an yang mampu menjawab persoalan-persoalan di era kontemporer dengan menarik benang merah antara kondisi masa klasih dengan kondisi dalam kurun waktu sekarang.

Salah satu teori yang menonjol dari gagasan Fazlur Rahman dalam menafsirkan Al-Quran adalah teori gerak ganda (double movement). Jika diamati teori ini merupakan asimilasi antara tradisionalisme Islam dan hermeneutika Barat modern. Teori gerak ganda yang digagasnya memberikan wacana baru untuk menafsirkan ajaran teks-teks sebelumnya. Dalam teori penafsiran ini, penafsir harus menelusuri makna sebuah teks hingga ke cerita pertama di mana teks tersebut  muncul. Lebih lanjut, setelah menelusuri makna teks dari garis awal maka kemudian dilanjutkan secara kontekstual dengan kondisi sekranag agar teks-teksg keagamaan menjadi lebih relevan dalam menjawab segala persoalan publik saat ini.[1]

 

  • Profil Fazlur Rahman

 

Fazlur Rahman merupakan salah satu dari teoretikus muslim yang cukup signifikan di abad 20 ini. Ide pembaharuannya telah didiskusikan dan dikaji tidak hanya oleh pengkaji muslim di Barat saja, namun juga sampai ke Indonesia bahkan Turki. Fazlur Rahman dilahirkan pada tahun 1919 H/1337 M di Hazara, disini Rahman pada usia mudanya sudah menerima pembelajaran tafsir, hadits, teologi, dan juga filosofi. Dia meneruskan pendidikanya ke Universitas Punjab di Lahore dan menerima titel bachelor dan master di universitas yang sama dan mengambil konsenterasi Bahasa dan Sastra Arab. Falur Rahman kemudian melanjutkan studinya ke Oxford untuk mengambil gelar PhD nya dalam konsenterasi Islamic Studies dan menyelesaikan sekolah PhD nya pada tahun 1949 dengan desertasi terkait filosofi Ibn Sina. Karirnya dimulai ketika mengajar di Universitas Durham sebagai dosen dalam bidang filsafat islam sampai tahun 1958 dan kemudian ini menjadi dosen pendamping di Universitas McGill di Kanada.

 

Tahun 1961 presiden Pakistan Muhammad Ayyub Khan mengundang Rahman agar turut berperan aktif dalam menjalankan suatu program modernisasi yang dicanangkan oleh presiden Ayyub Khan pada saat itu, atas dasar ajakan inilah Rahman memutuskan utnuk kembali ke Pakistan dan menduduki jabatan di Lembaga riset islam yang dibangun oleh pemerintah, yang mana Lembaga ini menaungi banyak peneliti muda dalam lapangan studi islam dan melanjutkan studinya dalam kajian islam. Selama di Pakistan Rahman juga mendapat banyak kritikan dan penolakan terlebih lagi dalam opininya menegnai hak-hak perempuan dan meninjau kembali hukum keluarga.[2]

 

Semenjak Ayyub Khan turun dari jabatannya dan dengan banyaknya penolakan rakyat Pakistan terhdapa ide-ide dan gagaan-gagasan reformasi Rahman yang dianggap tabu oleh masyarakat pada saat itu, atas dasar kondisi ini Rahman memutuskan untuk meninggalkan Pakistan pada tahun 1968, ia kemudian beralih ke negara Eropa tepatnya di Chicago, disini ia menduduki jabatan sebagai professor dalam studi islam. Di Chicago inilah Rahman semakin familiran dengan hermeneutikan barat seperti Gadamer dan Betti yang kelak sangat mempengaruhi perkembangan hermeneutik al-Quran yang diusung oleh Fazlur Rahman. Rahman mengajar dan menetap disana hingga wafatnya pada tanggal 26 Juli tahun 1988 karena penyakit kencing manis dan jantung.[3]

 

  • Pemikiran Hermeneutika dalam Teori Double Movement Fazlur Rahman

 

Hermeneutika sejak awal kemunculannya terlebih dalam kajian islam sudah menjadi suatu term yang cukup kontroversial. Hermenutika dianggap sebagai alat bantu untuuk memahami interpretasi ilmiah dan juga sebagai metodologi dalam menerjemahkan teks-teks tradisional bahkan kitab-kitab suci.[4] Dalam kajian ilmu tafsir, hermenutika bukan hanya sebagai "tafsir" akan tetapi ia merupakan sebuah "metode tafsir". Metode hermeneutika juga dikenal sebagai penyambung untuk menyempurnakan kaidah tafsir klasik al-Quran yang telah diterapkan dan dikenal sebagai alat bantu dalam menanngkap pesan-pesan dalam al-Quran selama beberapa kurun lamanya.

 

M. Amin Abdullah, mantan rektor UIN Yogyakarya pernah menulis bahwa metode penafsiran klasik selama ini hanya menitikberatkan relasi antara penafsir dengan teks al-Quran tanpa melibatkan kebutuhan pelaku ibadah terhadap teks al-Quran tersebut, sehingga ia menyimpulkan bahwa permasalahan yang ada di kehidupan umat manusia sekarang tidak bias lagi diselesaikan dengan metode tafsir klasik.

 

Para penganut hermeunitika mempercayai bahwa teks al-Quran memang tidak bias diubah, Ia merupakan tuntunan baku yang diturunkan Allah melalui malaikat Jibril sebagai pedoman, meskipun teksnya tidak bisadiotak-atik, namun jika jalan yang ditempuh dalam menafsirkan sudah berbeda maka produk dan hasil yang dilahirkan juga pasti berbeda. Dengan kata lain, perubahan dalam metode menafsirkan al-Quran inilah yang melahirkan kesimpulan beberapa pernyataan produk hukum yang sangat jauh berbeda dari tafsir klasik seperti pernyataan akan adanya legalitas pernikahan antara perempuan muslim dengan laki-laki yang berbeda agama darinya, adanya iddah bagi laki-laki dan sebagainya. Semua perubahan itu diupayakan para penggiat hermeneutika selalu menggaungkan nama "interpretasi kontekstual" yang dianggap masuk ke dalam tatanan modern.[5] Terlebih lagi para penafsir dengan metode ini umumnya meyakini bahwa tafsir klasik dipengaruhi oleh subjek penafsir sendiri, Amina Wadud seorang penggiat feminis menyatakan "metode penafsiran yang ada tidak ada ditemukan yang objektif semuanya, penafsiran yang ada sangat tergantung kepada subjektivitas penafsirnya" .[6]

 

Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan hermeneutika ialah pada prinsipnya adalah sama dengan tafsir karena keduanya merupakan ilmu yang digunakan sebagai upaya dalam memahami al-Quran. Namun, seiring perjalanan perkembangan keilmuan, hermeneutika dikaitakans sebagai sebuah alat dalam menafsirkan al-Quran yang arah dari penafsiran itu sendiri tidak hanya dilihat dari tinjauan teks saja, melainkan juga dari tinjauan kontekstual, histori bahkan ada yang menambahkan aspek pengkaji serta ihwal social psikologis sang pengkaji ketika mengkaji sesuatu, hal ini dikaitkan dalam ilmu tafsir ialah teks al-Quran tidak hanya dipahami hanya secara teks saja sebagaimana tafsir klasik, akan tetapi juga dipahami sebagai suatu teks yang utuh dalam menelaah keterkaitan teks dengan kondisi yang terjadi di era kontemporer ini. Diharapkan metode hermeneutika ini mampu menjawab persoalan-persoalan yang belum dijabarkan dalam tafsir klasik.

 

Salah satu tokoh yang banyak berbicara mengenai metode tafsir hermeneutika ini ialah Fazlur Rahman. Ia menilik urgensi agar dilakukannya rekonstruksi metodologi penafsiran al-Quran dengan mengusung metode hermeneutika. Adapun hermenutika yang diusulkan oleh Rahman ialah dengan hermenutika double movement (gerak ganda interpretasi), maksudnya dalam proses penafsiran seorang mufassir harus memulai dengan melihat permasalahn yang terjadi di era kontemporer kemudian mengaitkan teks al-Quran dengan keadaan yang sesuai di era kontemporer menuju era al-Quran diturunkan, lalu mengaitkan kembali apa yang sudah ditemuka di klasik kepada masa sekarang untuk ditarik benang merahnya. Dengan adanya penerapan langkah-langkah ini diyakini dapat menghasilkan pemahaman yang kontekstual sehingga melahirkan penafsiran yang tidak digmatis maupun tektualis melainkan harapan yang didapat yaitu jawaban dari problema-problema kekinian. [7] Gerakan ganda yang dimaksud ialah melihat situasi sekarang dan menyambungkannya ke masa al-Quran diturunkan dan kembali lagi ke masa kini.[8] Dalam menafsirkan al-Quran Fazlur Rahman mencoba menggunakan teori double movement, adapun mekanisme Rahman dalam menginterpretasikan al-Quran adalah:

Gerakan Pertama, Memahami makna teks dengan mempertimbangkan situasi dan permasalahan sejarah. Sebelum mengkaji suatu ayat tertentu dalam konteks tertentu, terlebih dahulu kita harus mengkaji konteks masyarakat, agama, dan adat istiadat pada masa Nabi, serta keseluruhan kehidupan Arab pada masa Islam.

Gerakan kedua, realisasi doktrin umum dalam konteks sosio-historis yang konkrit saat ini, nilai-nilai umum yang terdapat dalam teks harus diwujudkan dalam konteks sosio-historis masa kini yang konkrit. Para pengkaji mempelajari situasi saat ini dengan cermat dan menganalisis berbagai perangkatnya sehingga dapat mengubah keadaan jika perlu dan menetapkan aksentuasi baru untuk menerapkan poin-poin yang terdapat dalam al-Quran, dengan Bahasa lain ialah memahami  Al-Quran dengan cara dan sudut pandang baru.

Rahman menganggap bahwa jika kedua "gerakan ganda" tersebut berhasil dipraktikkan, maka pesan-pesan al-Quran akan menyala dan efektif  kembali. Disinilah peran dan urgensi ijtihad, yaitu usaha dalam menganalisa substansi dari teks masa lampau , yaitu mempunyai aturan lewat kejadian mengapa teks itu muncul di masa lampau, dan  memperbarui kaidah tersebut dengan memperlapang, membatasi, atau  menvariasikannya sehingga dapat mencakup situasi baru  dengan  situasi resolusi baru., hasil dari benang merah antara situasi lama dengan situasi baru.[9] 

 Jadi dapat disimpulkan secara garis besar langkah yang digunakan Rahman dalam mengiterpretasikan pesan al-Qur'an ialah dalam dua langkah besar, yaitu pertama, dari segi sosio-historis, dalam langkah ini yang dilakukan adalah membaca teks dan melihat kembali latar belakang sejarahnya. Pesan apa dan kejadian bagaimana yang membuat teks itu diturunkan, dan juga melihat problem historis apa yang menyebabkan teks itu muncul (ilmu asbab al-nuzul), dalam arti al-Quran harus dilihat dalam situasi kelahirannya, tentunya melalui realitas di mana ayat al---Quran turun dan juga sebab ayat al-Quran turun. Poin terhadap langkah pertama ini ialah aktivitas yang memahami teks dan memiliki tujuan umum serta menganalisis konteks historis serta menarik hukum umum dari kejadian tersebut. Kedua, adalah kontekstual, dalam langkah kontekstual ini, ketika sudah melakukan seperti langkah pertama, maka dikontekstualkan dengan zaman atau kondisi yang terjadi saat ini, dengan kata lain bahwa setelah mencari pesan inti pada aktifitas pertama yang melandasi teks itu diturunkan, selanjutnya ialah menarik pesan-pesan tersbeut ke konteks kekinian, yakni dari kerangka berpikir universal kepada kerangka spesifik dan diimplementasikan terhadap umat muslim sekarang ini.[10] 

Oleh karena itu, seorang penafsir harus mengetahui bukan aspek tekstual al-Quran saja, tetapi juga situasi kekinian. Dengan begitu, penafsir akan menerapkan yang universal ke dalam partikularitas kekinian maka dia tidak akan menemui jalan buntu.[11]Rahman meyakini bahwa dengan mengemukakan teori double movement yang dirancang dapat mengatasi problem-problem kehidupan umat manusia. [12]

  • Aplikasi Teori Double Movement dalam Isu-Isu Kontemporer
  • Isu Poligami 

 

Praktik penerapan teori ini dalam mencari jawaban terhadap isu-isu kontemporer dapat dilihat pada contoh praktik poligami yang dianggap sebagai hal yang wajar bahkan sangat dianjurkan dalam islam, hal ini perlu dikaji terlebih dahulu terhadap tektual dan kontekstual dari surah al-Nisa' ayat 3 yang menjadi rujukan terhadap praktik poligami. Rahman dengan teorinya mencoba kembali menelaah teks ini dengan double movement nya, gerakan pertama atau first move, Rahman mencoba menelusuri sosio-hitstoris dari ayat ini dengan merujuk kepada asbab al-nuzul dari ayat tersebut, ditemukan bahwa ayat ini diturunkan untuk merespon kejadiaan banyaknya laki-laki memperbudak perempuan pada zaman itu, menikahi seorang janda dan menjadi wali dari anak yatim tersebut, namun tidak adil dalam melaksanakan tanggungjawabnya terhadap janda dan anak yatim yang ditinggal tersebut. Jika dicermati lebih dalam, dalam ayat ini juga terdapat penggalan yang bermakna, "jika tidak mampu berlaku adil maka menikahlah dengan satu wanita saja". Dapat disimpulkan dari segi sosio-historisnya bahwa poligami merupakan pilihan yang bias dipilih ketika ingin melindungi kaum lemah seperti janda atau anak yatim. Namun jika ia khawatir tidak dapat berlaku adil ketika berpoligami terhadap anak kandungnya atau istrinya maka Allah memberikan jawaban dalam al-Quran dengan cukup satu saja dan dikhawatirkan dapat menelantarkan salah satu pihak dalam artian lebih baik untuk tidak melakukan praktik poligami tersebut.

 

Second move dalam teori ini yaitu setelah mengetahui pesan soiso historis dari sebuah ayat, maka penafsir mencoba mengkontekstualkan teks dengan kondisi zaman ini. Seiring berkembangnya zaman, praktik awal poligami yang awalnya untuk melindungi dan menyelamatkan kaum lemah dan dengan syarat harus berlaku adil di antara keduanya menjadi hanya tinggal pemahaman teksnya saja. Dalam praktiknya di era ini, poligami yang hanya dipahami secara teks akan boleh menikahi perempuan yang disukai dua, tiga sampai empat tidak lagi bertujuan untuk melindungi kaum lemah seperti janda dan anak-anak yatim, tapi sudah merambah kepada banyak praktik poligami di era ini lelaki menikahi perempuan-perempuan yang berkecukupan, belum menikah dan masih di bawah naungan orang tuanya, dan lainnya, yang apabila dilihat mereka tidak masuk dalam kriteria wanita-wanita lemah yang berhk=ak untuk dilindungi.  Dari sinilah praktik poligami mengalami pergeseran dan tentunya akan membawa beberapa dampak terhadap kaum wanita terutama ekonomi, sosiologis, psikologis dan ketidakadilan. Maka dengan teori ini dapat disimpulkan bahwa praktik poligami di zaman ini mendapat banyak penolakan bukan karena enggan menerima ayat tersebut, akan tetapi karena mengantisipasi kezaliman, dikarenakan juga pergeseran antara praktik klasik dengan praktik di era kontemporer ini.

Dapat kita simpulkan bahwa maksud dari teori gerakan ganda adalah Rahman meyakini bahwa ijtihad dapat ditingkatkan kembali dengan gerakan tersebut ketika menafsirkan teks  Al-Quran hingga dapat mengaktualkan nilai-nilai al-Quran dapat hidup dan efektif kembali di kurun waktu ini.  Langkah ini mencakup relevansi teks Alquran dengan konteks saat ini, khususnya dalam reformulasi hukum Alquran.

Penting juga untuk dicatat  bahwa  metode hermeneutika gerakan ganda tidak berarti bahwa pendekatan linguistik seperti Nahwu, Sharaf, filologi, dan Balaghah dapat diabaikan. Menurut Rahman, meskipun pendekatan linguistik tetap penting, pendekatan ini harus bersifat sekunder, dan  ayat-ayat Al-Quran tetap harus dinilai berdasarkan pemahaman terhadap Al-Quran itu sendiri. Pendekatan sosio-historis Fazlur Rahman  sebenarnya merupakan kelanjutan dan penyempurnaan dari pendekatan Asbabun Nuzul yang sudah ada sebelumnya.[13]dalam artian bahwa pendekatan linguistic baru dapat dipakai setelah memahami teks al-Quran secara utuh terlebih dahulu.

 

  • Isu Pembagian Warisan 2:1
  • Pembagian warisan dalam al-Quran telah ditetapkan secara jelas, bahkan beberapa peneliti tafsir menganggap bahwa ketentuan yang Sudha Allah tetapkan dalam bentuk jumlah maupun angka kuantitatif, maka hal itu mutlak dilaksanakan hukumnya tanpa ada jalan ijtihad sekalipun, karena Allah yang lebih mengetahui jumlah dan ketentuan yang bermanfaat bagi ummat manusia. Adapun Fazlur Rahman dengan teorinya ia melihat bahwa pembagian warisan antara laki-laki dengan perempuan berdasarkan kadar 2:1 dapat diinterpretasikan menjadi 1:1 yaitu pembagian yang sama antara laki-laki dan perempuan hal ini berdasarkan peran-peran perempuan yang sudaj banyak bergeser dari zaman klasik ke sekarang bahkan menduduki peran yang lebih tinggi daripada laki-laki. Penerapan teroi Fazlur Rahman dalam isu ini dapat dijajaki dengan cara yaitu, gerakan pertama, yaitu mempertimbangkan situasi sosio-historis masyarakat Arab saat itu, yaitu sampai pada kesimpulan bahwa negara Arab dulunya menganut sistem patriarki, yang mana laki-laki memiliki otoritas atas perempuan, dan selalu menganggap laki-laki memiliki kedudukan dan hak yang lebih besar daripada perempuan.  Hal ini juga berdampak pada pembagian warisan, dimana bagian yang lebih besar diberikan kepada laki-laki. Hal lainnya juga sangat dipengaruhi oleh faktor situsional di negara-negara Arab. Apalagi pada masa Nabi, mencari nafkah diwajibkan hanya kepada laki-laki, namun perempuan (istri) tidak mempunyai kewajiban tersebut. Karena itu beban yang diberikan kepada laki-laki sebagai kepala keluarga. Dalam keluarga,  perempuan mempunyai hak untuk mendapat nafkah dari suaminya jika ia sudah menikah, dan bahkan dari wali jika ia belum menikah. Masuk kepada gerakan kedua dengan melihat kondisi yang terjadi di saat ini dimana perempuan sekarang sudah mempunyai indepedensi yang besar dalam melakukan aktifitasnya juga dalam mencari nafkah, banyak perempuan sekarang meniti jalan untuk mencari nafkah dan menjalani karir sesuai profesi mereka bahkan tidak jarang lebih mahir dari laki-laki. Berdasarkan hal ini, maka di era sekarang yang keluar mencari nafkah dan menjadi kepala keluarga tidak hanya laki-laki saja, tetapi perempuan juga sudah mengambil peran dalam mencari nafkah, bahkan tidak sedikit dari perempuan yang menjadi tumpuan keluarganya dalam rangka mencukupi kepentingan keluarganya, ia menjadi tempat bergantung dan penompang keluarganya dalam kehidupan. Maka tidak jarang ditemuka para laki-laki maupun wali yang mendapat bagian 2:1 dengan tujuan menafkahi para perempuan/istri yang ditinggalkan tidak bertanggung jawab terhadap harta yang didapatnya, hingga akhirnya perempuan keluar dalam tujuan mencari nafkah untuk kebutuhan hidupnya.[14] Oleh karena itu,  untuk menjaga nilai-nilai asli Al-Qur'an yaitu keadilan dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan maka dibutuhkan penafsiran ulang terhadap ayat-ayat waris tersebut. Karena perempuan pada masa ini berbeda dengan masa lalu, dalam hal tugas dan fungsin serta tanggung jawab yang diembannya, maka timbul penafsiran bahwa bagian warisan antara perempuan dengan laki-laki memiliki kedudukan yang sama, yaitu 1:1.[15]
  • Isu Kesaksian Perempuan

 

Isu ini muncul ketika para penafsir moder kembali melihat dan mencoba menafsirkan kembali makna kesaksian seorang laki-laki sebanding dengan dua orang perempuan sebagaimana dalam al-Quran suah al-Baqarah ayat 282, Para penafsir seperti Wahbah al-Zuhaili dalam kitab tafsirnya al-Munir mengisyarakan bahwa adanya Batasan saksi satu laki-laki sebanding dengan dua perempuan dikarenakan cara bepikir perempuan yang lamban dan mudah terdistraksi oleh hal lain sehingga melupakan perihal kesakisan, oleh karena itu disayaratkannya dua saksi agar satu lagi berfungsi sebagai pengingat. Factor lainnya juga dipengaruhi oleh sebab perempuan di zaman dulu tidak banyak memiliki pengetahuan akan bidang muamalah dan juga aktifitas sehari-hari mereka yang terbatas.[16]hal ini juga setara dengan salah satu syarat yang disimpulkan oleh al-Razi dalam tafsinya ialah bahwa saksi mempunyai pengetahuan terhadap apa yang disaksikan.[17]

 

Jika diterapkan dengan metode Fazlur Rahman maka gerakan pertama ialah dengan melihat kondisi sosio historis ketika ayat ini diturunkan, ditemukan bahwa pada zaman dahulu perempuan memiliki keterbatasan untuk beraktifitas di luar rumah terlebih dalam bidang muamalah, oleh karena jarangnya ia beraktifitas dan berperan di luar rumah hal ini mengakibatkan lemahnya akan pengetahuan yang dimilikinya, dan hal ini tentu akan mengaburkan kesaksian karena keterbatasan ilmunya, terlebih lagi dulu posisi perempuan sering ditindas dan diancam oleh laki-laki, jadi fungsi dari adanya dua perempuan sebagai saksi ialah jika satu saksi diancam untuk mengubah kesaksiannya maka ada satu saksi lagi yang menguatkan dan mengingatkan.

 

Gerakan kedua, dengan melihat kondisi social di era kontemporer banyak perempuan yang sudah beraktifitas keluar rumah, dan tidak jarang menempuh Pendidikan hingga ke jenjang yang tinggi dalam ilmu Pendidikan, bahkan juga ada yang menempuh Pendidikan di bidang muamalah dan ilmu terkait lainnya,, hal ini menunjukkan bahwa kapasitas perempuan dalam pengetahuan akan bidang muamalah tentunya sudah berbeda dengan perempuan di zaman klasik. Hal inilah menurut Rahman akan perlu adanya penafsiran ulang terhadap ayat ini dengan melihat konteks kekinian. Fazlur Rahman menambahkan, kesaksian perempuan dianggap tidak terlalu berharga dibandingkan kesaksian laki-laki, tergantung  apakah  perempuan  memiliki  ingatan finansial yang buruk atau tidak. Jika perempuan mempunyai pengetahuan tentang  transaksi keuangan, tidak ada alasan menolak mereka dalam persaksian dan bisa memperlakukan perempuan dan laki-laki secara setara dalam hal persakisan.[18] Hal ini juga bertujuan untuk merealisasikan nilai al-Quran yang mengusung konsep keadilan, sebagaimana Rasyid Ridha berpendapat Pria dan wanita memiliki kemampuan yang sama dalam mengingat dan melupakan sesuatu, dan mereka cenderung melupakan hal-hal yang bukan merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari mereka.[19]

 

Penutup

 

Fazlur Rahman merupakan tokoh modern Pakistan yang berupaya menemukan kembali nilai-nilai Al-Quran dalam segala teorinya agar tetap relevan dalam konteks masa kini. Ia percaya bahwa di era ini tidak boleh menyangkal modernisme dan tidak juga meninggalkan tradisionalisme  Keduanya dapat digabungkan secara bersamaan. Menurut Rahman, hal ini menjadi solusi atas disorientasi ijtihad yang terjadi belakangan ini. Hal inilah yang  dalam pemikiran Rahman dikenal dengan istilah gerakan ganda, dan secara lebih umum istilah gerakan ganda digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada dengan cara mengaitkan latar belakang sosio-historis dengan peristiwa yang terjadi saat ini. Kajian terhadap teori gerak ganda  dianggap memiliki peran penting dalam menerjemahkan kembali al-Quran dalam menjawab permasalahan-permasalahan baru yang belum ditemukan jawabannya secara jelas dalam al-Quran maupun hadis. Oleh karena itu gagasan pemahaman kontekstual terhadap suatu ayat menjadi kunci segar bagi pengmabang penafsiran al-Quran yang tepat dan bias menjawab permasalahan-permasalahan baru di era kontemporer ini.

 

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun