Mohon tunggu...
Sufira Rahmi
Sufira Rahmi Mohon Tunggu... Lainnya - Pascassarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh

tertarik dalam dunia ilmu al-Quran dan tafsir

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penerapan Teori Double Movement Fazlur Rahman dalam Problematika Isu-Isu Kontemporer

16 Desember 2023   15:03 Diperbarui: 16 Desember 2023   15:05 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh karena itu, seorang penafsir harus mengetahui bukan aspek tekstual al-Quran saja, tetapi juga situasi kekinian. Dengan begitu, penafsir akan menerapkan yang universal ke dalam partikularitas kekinian maka dia tidak akan menemui jalan buntu.[11]Rahman meyakini bahwa dengan mengemukakan teori double movement yang dirancang dapat mengatasi problem-problem kehidupan umat manusia. [12]

  • Aplikasi Teori Double Movement dalam Isu-Isu Kontemporer
  • Isu Poligami 

 

Praktik penerapan teori ini dalam mencari jawaban terhadap isu-isu kontemporer dapat dilihat pada contoh praktik poligami yang dianggap sebagai hal yang wajar bahkan sangat dianjurkan dalam islam, hal ini perlu dikaji terlebih dahulu terhadap tektual dan kontekstual dari surah al-Nisa' ayat 3 yang menjadi rujukan terhadap praktik poligami. Rahman dengan teorinya mencoba kembali menelaah teks ini dengan double movement nya, gerakan pertama atau first move, Rahman mencoba menelusuri sosio-hitstoris dari ayat ini dengan merujuk kepada asbab al-nuzul dari ayat tersebut, ditemukan bahwa ayat ini diturunkan untuk merespon kejadiaan banyaknya laki-laki memperbudak perempuan pada zaman itu, menikahi seorang janda dan menjadi wali dari anak yatim tersebut, namun tidak adil dalam melaksanakan tanggungjawabnya terhadap janda dan anak yatim yang ditinggal tersebut. Jika dicermati lebih dalam, dalam ayat ini juga terdapat penggalan yang bermakna, "jika tidak mampu berlaku adil maka menikahlah dengan satu wanita saja". Dapat disimpulkan dari segi sosio-historisnya bahwa poligami merupakan pilihan yang bias dipilih ketika ingin melindungi kaum lemah seperti janda atau anak yatim. Namun jika ia khawatir tidak dapat berlaku adil ketika berpoligami terhadap anak kandungnya atau istrinya maka Allah memberikan jawaban dalam al-Quran dengan cukup satu saja dan dikhawatirkan dapat menelantarkan salah satu pihak dalam artian lebih baik untuk tidak melakukan praktik poligami tersebut.

 

Second move dalam teori ini yaitu setelah mengetahui pesan soiso historis dari sebuah ayat, maka penafsir mencoba mengkontekstualkan teks dengan kondisi zaman ini. Seiring berkembangnya zaman, praktik awal poligami yang awalnya untuk melindungi dan menyelamatkan kaum lemah dan dengan syarat harus berlaku adil di antara keduanya menjadi hanya tinggal pemahaman teksnya saja. Dalam praktiknya di era ini, poligami yang hanya dipahami secara teks akan boleh menikahi perempuan yang disukai dua, tiga sampai empat tidak lagi bertujuan untuk melindungi kaum lemah seperti janda dan anak-anak yatim, tapi sudah merambah kepada banyak praktik poligami di era ini lelaki menikahi perempuan-perempuan yang berkecukupan, belum menikah dan masih di bawah naungan orang tuanya, dan lainnya, yang apabila dilihat mereka tidak masuk dalam kriteria wanita-wanita lemah yang berhk=ak untuk dilindungi.  Dari sinilah praktik poligami mengalami pergeseran dan tentunya akan membawa beberapa dampak terhadap kaum wanita terutama ekonomi, sosiologis, psikologis dan ketidakadilan. Maka dengan teori ini dapat disimpulkan bahwa praktik poligami di zaman ini mendapat banyak penolakan bukan karena enggan menerima ayat tersebut, akan tetapi karena mengantisipasi kezaliman, dikarenakan juga pergeseran antara praktik klasik dengan praktik di era kontemporer ini.

Dapat kita simpulkan bahwa maksud dari teori gerakan ganda adalah Rahman meyakini bahwa ijtihad dapat ditingkatkan kembali dengan gerakan tersebut ketika menafsirkan teks  Al-Quran hingga dapat mengaktualkan nilai-nilai al-Quran dapat hidup dan efektif kembali di kurun waktu ini.  Langkah ini mencakup relevansi teks Alquran dengan konteks saat ini, khususnya dalam reformulasi hukum Alquran.

Penting juga untuk dicatat  bahwa  metode hermeneutika gerakan ganda tidak berarti bahwa pendekatan linguistik seperti Nahwu, Sharaf, filologi, dan Balaghah dapat diabaikan. Menurut Rahman, meskipun pendekatan linguistik tetap penting, pendekatan ini harus bersifat sekunder, dan  ayat-ayat Al-Quran tetap harus dinilai berdasarkan pemahaman terhadap Al-Quran itu sendiri. Pendekatan sosio-historis Fazlur Rahman  sebenarnya merupakan kelanjutan dan penyempurnaan dari pendekatan Asbabun Nuzul yang sudah ada sebelumnya.[13]dalam artian bahwa pendekatan linguistic baru dapat dipakai setelah memahami teks al-Quran secara utuh terlebih dahulu.

 

  • Isu Pembagian Warisan 2:1
  • Pembagian warisan dalam al-Quran telah ditetapkan secara jelas, bahkan beberapa peneliti tafsir menganggap bahwa ketentuan yang Sudha Allah tetapkan dalam bentuk jumlah maupun angka kuantitatif, maka hal itu mutlak dilaksanakan hukumnya tanpa ada jalan ijtihad sekalipun, karena Allah yang lebih mengetahui jumlah dan ketentuan yang bermanfaat bagi ummat manusia. Adapun Fazlur Rahman dengan teorinya ia melihat bahwa pembagian warisan antara laki-laki dengan perempuan berdasarkan kadar 2:1 dapat diinterpretasikan menjadi 1:1 yaitu pembagian yang sama antara laki-laki dan perempuan hal ini berdasarkan peran-peran perempuan yang sudaj banyak bergeser dari zaman klasik ke sekarang bahkan menduduki peran yang lebih tinggi daripada laki-laki. Penerapan teroi Fazlur Rahman dalam isu ini dapat dijajaki dengan cara yaitu, gerakan pertama, yaitu mempertimbangkan situasi sosio-historis masyarakat Arab saat itu, yaitu sampai pada kesimpulan bahwa negara Arab dulunya menganut sistem patriarki, yang mana laki-laki memiliki otoritas atas perempuan, dan selalu menganggap laki-laki memiliki kedudukan dan hak yang lebih besar daripada perempuan.  Hal ini juga berdampak pada pembagian warisan, dimana bagian yang lebih besar diberikan kepada laki-laki. Hal lainnya juga sangat dipengaruhi oleh faktor situsional di negara-negara Arab. Apalagi pada masa Nabi, mencari nafkah diwajibkan hanya kepada laki-laki, namun perempuan (istri) tidak mempunyai kewajiban tersebut. Karena itu beban yang diberikan kepada laki-laki sebagai kepala keluarga. Dalam keluarga,  perempuan mempunyai hak untuk mendapat nafkah dari suaminya jika ia sudah menikah, dan bahkan dari wali jika ia belum menikah. Masuk kepada gerakan kedua dengan melihat kondisi yang terjadi di saat ini dimana perempuan sekarang sudah mempunyai indepedensi yang besar dalam melakukan aktifitasnya juga dalam mencari nafkah, banyak perempuan sekarang meniti jalan untuk mencari nafkah dan menjalani karir sesuai profesi mereka bahkan tidak jarang lebih mahir dari laki-laki. Berdasarkan hal ini, maka di era sekarang yang keluar mencari nafkah dan menjadi kepala keluarga tidak hanya laki-laki saja, tetapi perempuan juga sudah mengambil peran dalam mencari nafkah, bahkan tidak sedikit dari perempuan yang menjadi tumpuan keluarganya dalam rangka mencukupi kepentingan keluarganya, ia menjadi tempat bergantung dan penompang keluarganya dalam kehidupan. Maka tidak jarang ditemuka para laki-laki maupun wali yang mendapat bagian 2:1 dengan tujuan menafkahi para perempuan/istri yang ditinggalkan tidak bertanggung jawab terhadap harta yang didapatnya, hingga akhirnya perempuan keluar dalam tujuan mencari nafkah untuk kebutuhan hidupnya.[14] Oleh karena itu,  untuk menjaga nilai-nilai asli Al-Qur'an yaitu keadilan dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan maka dibutuhkan penafsiran ulang terhadap ayat-ayat waris tersebut. Karena perempuan pada masa ini berbeda dengan masa lalu, dalam hal tugas dan fungsin serta tanggung jawab yang diembannya, maka timbul penafsiran bahwa bagian warisan antara perempuan dengan laki-laki memiliki kedudukan yang sama, yaitu 1:1.[15]
  • Isu Kesaksian Perempuan

 

Isu ini muncul ketika para penafsir moder kembali melihat dan mencoba menafsirkan kembali makna kesaksian seorang laki-laki sebanding dengan dua orang perempuan sebagaimana dalam al-Quran suah al-Baqarah ayat 282, Para penafsir seperti Wahbah al-Zuhaili dalam kitab tafsirnya al-Munir mengisyarakan bahwa adanya Batasan saksi satu laki-laki sebanding dengan dua perempuan dikarenakan cara bepikir perempuan yang lamban dan mudah terdistraksi oleh hal lain sehingga melupakan perihal kesakisan, oleh karena itu disayaratkannya dua saksi agar satu lagi berfungsi sebagai pengingat. Factor lainnya juga dipengaruhi oleh sebab perempuan di zaman dulu tidak banyak memiliki pengetahuan akan bidang muamalah dan juga aktifitas sehari-hari mereka yang terbatas.[16]hal ini juga setara dengan salah satu syarat yang disimpulkan oleh al-Razi dalam tafsinya ialah bahwa saksi mempunyai pengetahuan terhadap apa yang disaksikan.[17]

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun