Mohon tunggu...
Sufi PMII Purwokerto
Sufi PMII Purwokerto Mohon Tunggu... -

Tan Hana Wighna Tan Sirna! Tidak ada rintangan yang tidak bisa dilewati RAden Agung Khalifatullah Fil Ard Sufi Putra Lintang Brhe Kertabumi XXI 5C901E45

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Di Balik Fenomena Demo Ahok/Aksi Bela Islam II

4 November 2016   16:10 Diperbarui: 4 Juli 2018   17:50 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fenomena demo Ahok/Aksi Bela Islam II merupakan keniscayaan dalam kacamata teori benturan peradaban. Segolongan umat Islam tersebut seperti menemukan momentumnya. Dikatakan segolongan karena golongan umat Islam yang mayoritas di Indonesia (NU), tidak begitu reaksioner terhadap pernyataan Ahok terkait QS. Al-Maidah:51. Bahkan mengambil sikap tengah-tengah demi menghindari perpecahan umat.

            Ahok dianggap telah melakukan penistaan agama (Islam) atas pernyataannya: “dibohongi lagi pakai Al-Maidah:51”. Pernyataan tersebut mendapat tentangan keras dari MUI dan kelompok umat Islam Radikal di Indonesia (Salafi-Wahabi, FPI, KAMMI, HTI). Peristiwa itu kemudian menjadi polemik utamanya di media massa. Menindaklanjuti hal tersebut, kelompok Islam Radikal segera melakukan konsolidasi di berbagai daerah untuk melakukan Demo Ahok/Aksi Bela Islam II 4 November 2016. Tujuannya adalah memenjarakan Ahok, atau dalam bahasa politiknya “melengserkan Ahok dari jabatannya sebagai Gubernur Jakarta.

            Ahok seorang warga negara Indonesia keturunan Tionghoa beragama Kristen adalah fakta. Tetapi dengan mengatakan bahwa Ahok adalah Pemimpin Kafir/Non Muslim apalagi ditambahi Laknatullah, itu berlebihan. Kita sedang berada dalam dimensi berbangsa dan bernegara di negara Indonesia yang multikultural. Dan jika kita memandang fenomena tersebut hanya sebagai Isu SARA atau Politik PILKADA DKI, hemat saya itu terlalu sederhana. “Pembacaan terhadap peta politik global merupakan langkah yang bijaksana untuk menelaah akar masalah sebenarnya.” Hendaknya ada analisis terhadap dinamika di Jakarta secara runtut, misalnya kontroversi Reklamasi Teluk Jakarta yang mana para investor dan dananya berasal dari Jepang atau China. Serta peristiwa lain yang mengikuti fenomena hari ini sebagai kajian empiris-historis sehingga akan menghasilkan penelaahan yang objektif, bukan subjektif.

            Reklamasi Teluk Jakarta adalah pertarungan peradaban Barat-China/Jepang dalam memberikan pengaruh di Indonesia. Atau sah saja menyebut persaingan modal, motifnya tentu ekonomi. Tapi tidak satupun yang membicarakan apa sikap Barat terhadap kasus Reklamasi. Dustidak pernah muncul kontroversi atau demo ketika Barat menanamkan modalnya di Indonesia. Kalau kita mau jujur, ratusan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam Indonesia mulai dari emas, batubara, minyak, gas bumi dan intan kebanyakan dilakukan dan dimodali oleh perusahaan asal Amerika dan sekutu (Inggris, Kanada, Austrlia, Malaysia dll.)

 Tapi tidak ada demo, tidak ada kontroversi. Sebagai komparasi, sah saja kita kaji keterlibatan Barat (Amerika dan sekutu) dalam berbagai dinamika sosial-politik di Indonesia. Atau menyelidiki kemungkinan keterlibatan CIA. Meneliti dan mengakses dokumen-dokumen rahasia sebagai kajian ilmiah yang bisa dipertanggung jawabkan.

Mirip Malari 1974

            Pada 14 Januari 1974, Mr. Tanaka, Perdana Menteri Jepang berkunjung ke Indonesia untuk bertemu Presiden Soeharto. Pertemuan tersebut hendak membicarakan investasi-investasi Jepang di Indonesia. Pada hari yang sama, aksi demonstrasi mahasiswa (Hariman Siregar, DMUI) di Bandara Halim Perdana Kusuma dan di tempat-tempat strategis lain di Jakarta tak terkendali dan anarkis. Mahasiswa menolak investasi pihak asing (Jepang) yang begitu besar masuk Indonesia. Keesokan harinya, aksi terus berlanjut hingga jatuh korban 11 orang meninggal, 300 luka-luka, dan 775 orang ditahan. Sebanyak 807 mobil dan 187 sepeda motor rusak. 144 bangunan dibakar dan 160 kg emas dirampok dari toko-toko perhiasan.[1] Isu yang berkembang waktu itu adalah keterlibatan Masyumi/PNI (politik lokal), mendirikan negara Islam, Isu SARA dan kudeta oleh Jenderal Ali Moertopo atau Jenderal Soemitro. Berbeda sekali dengan buku Jelias Poer yang menemukan fakta keterlibatan CIA di sana.

            Da kalau boleh lebih jujur lagi, latar belakang aksi 4 November 2016 mirip peristiwa MALARI 1974. Adalah bermotif ekonomi, tetapi Isu SARA yang dimunculkan di permukaan. Sesungguhnya pertarungan antara peradaban Barat (AS & sekutu),  peadaban Jepang dan peradaban China (Konfusianisme). Senjatanya adalah umat Islam Radikal yang In-toleran. Serta medannya adalah Negara Indonesia yang kaya akan keberagaman dan kaya akan sumber daya alam.

Samuel P. Huntington dalam bukunya The Clash of Civilization (Benturan Peradaban) menyatakan dunia pasca Perang Dingin adalah sebuah dunia dengan tujuh atau delapan peradaban besar. Huntington menuturkan bahwa ikatan sekelompok masyarakat modern semakin ditentukan oleh warisan agama, bahasa, sejarah, dan tradisi yang mereka miliki bersama atau yang disebut sebagai peradaban. Diantara tujuh atau delapan peradaban besar tersebut ialah peradaban Barat, Konfusius, Jepang, Islam, Kristen Ortodoks, Hindu, Amerika Latin, dan mungkin “Afrika”.

 Dalam pada itu, Kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan kultural (suatu peradaban) membentuk kepentingan-kepentingan, antagonisme-antagonisme, serta asosiasi-asosiasi antarnegara.[2] Terdapat latar belakang ekonomi, politik dan terkuat “agama” sebagai yang paling berperan dalam konflik antarperadaban. Bahkan oleh karena interpretasi subjektif terhadap agama sehingga memunculkan klaim kebenaran untuk membunuh dan berperang atas nama Tuhan dan kitab suci.

            Perang peradaban mungkin telah dimulai sejak IMF menerapkan kebijakan privatisasi dan dikte ekonomi di era Gorbachev memerintah Rusia. Atau jauh sebelumnya ketika Reagen dan Tatcher mengadopsi gagasan Mont Pelerin Societyuntuk menjadikan Globalisasi sebagai kendaraan eksekutif bagi Neoliberalisme.[3] Atau dalam dimensi lain, munculnya gerakan Islam Transnasional seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Wahabi-salafi.[4]  Kenyataannya, kasus terorisme semakin meningkat, anggota pejuang mujahidin ISIS terus bertambah dan berperang.

Propaganda takfiri, TBC (toghut, bid’ah, khurafat), dan sipilis(sekulerisme, liberalisme, pluralisme) cukup membuat beragam kontroversi di masyarakat dan di internet (gerakan cybernet). Sementara Fenomena demo Ahok/Aksi Bela Islam II seperti menggenapkan ramalan Huntington. Sebab ia berpendapat bahwa perang peradaban akan terjadi oleh tiga hal:

  • Arogansi Barat
  • In-toleransi Islam, dan
  • Fanatisme Konfusianisme.

 Berikut adalah beberapa sisi yang bisa ditinjau bahwa Perang Peradaban tengah terjadi di Indonesia:

Pada 1993, presiden suharto telah intens menghimbau untuk meningkatkan kompetensi dan SDM supaya survive dan memenangi pasar bebas, sebab kapitalisme sudah tidak bisa dihadang.

Indonesia telah lama menjalin hubungan dan memiliki sejarah bersama ICMI,IGGI, IMF dan World Bank, menerapkan kebijakan Privatisasi BUMN, bahkan menjual beberapa aset negara.

Islam radikal tumbuh subur di Indonesia pasca reformasi.

Data intelijen menyebutkan ribuan tentara ISIS berasal dari Indonesia.

Pesatnya gerakan muwahidin/ Islam puritan yang diikuti propaganda takfiri, tbc, dan sipilis.

Media internet juga masif oleh pemikiran-pemikiran radikal, liberal, humanisme dll.

Jika memang layak diklaim, atau setidaknya memiliki kultur sama, etnis tionghoa tengah berkembang pesat di Indonesia.

Saran

            Secara mengejutkan Intelkam Polri Brigjend. Pol. Djoko Mulyono menyatakan bahwa “Pada 2030, dunia akan mengalami krisis pangan dan energi. Indonesia akan diburu oleh negara-negara dunia karena kekayaan alamnya”.[5] Jika memang demikian, akan semakin rumit dan kabur dalam mencari keterkaitan terhadap perang peradaban. Apa sesungguhnya motif dibalik semua itu? Agama politik atau ekonomi? Perang peradaban  atau perang investasi?

            Dalam pada itu, Indonesia memiliki NU sebagai benteng NKRI yang telah menegaskan Islam Nusantara sebagai inspirasi peradaban dunia. Islam yang ramah, menghargai perbedaan dan mampu berdialog dengan perkembangan zaman.[6] Sehingga dalam kepungan Ideologi dunia, Nusantara tetap eksis dalam perdamaian dan terhindar dari perang saudara atau agama. Setidaknya ini bisa dijadikan modal mengkonsolidir segenap elemen kekuatan bangsa guna melindungi tujuan dan nilai-nilai pancasila. Fenomena demo Ahok/Aksi Bela Islam II harus kita sikapi dengan cerdas dan bijak. Bahwasanya hal itu hanyalah ujian dalam berbangsa dan bernegara. Seandainya pun perang peradaban suatu keniscayaan, orang-orang hanya perlu memilih medan dan senjata yang digunakan. Sebagai bangsa yang beradab, senjata kita adalah pikiran, karya dan kontribusi positif demi kemajuan Indonesia.

Akhirnya, nalar kita kembali terusik, menari bagai kupu-kupu di tengah badai. “Argumentasi munculnya perang peradaban mendapat dukungan penting dari fenomena – fenomena empiris yang terjadi di berbagai belahan dunia.Meskipun sedikit disangsikan apakah fenomena tersebut terjadi secara alami atau sengaja direkayasa?”[7]

[1] Pahma herawati. Malapetaka 15 Januari 1974. Warta-sejarah@blogspot.com.

[2]  P. Huntington, Samuel. 1996.  The Clash Of Civilization. New York: Simon and Schuster.www.Journal.uny.ac.id.

[3] Husain Pontoh, Coen. 2005.  Malapetaka Demokrasi Pasar. Yogyakarta: Resist Book. menyebutkan bahwa kebijakan reformasi dan restrukturasi Gorbachev bermakna ganda. Pertama, liberalisasi dan restrukturisasi sistem politik yang dikuasai birokrasi partai. Kedua, liberalisasi dan restrukturasi ekonomi dengan menghancurkan hambatan-hambatan bagi beroperasinya mekanisme pasar (bebas).

[4] Di Indonesia, IM menjelma sebagai PKS dan HT sebagai HTI yang mempropagandakan Khilafah Islam. Namun belakangan mulai berbeda pandang. Sedang salafi-wahabi lekat dengan puritanisme, takfiri, tbc, sipilis.

[5] Kabagntelkampolri, jakarta 2016.

[6]www.nu-online.or.id.  

[7] Hasil wawancara dengan Kun, Antropolog Unsoed yang tengah menempuh studi S3 di Jerman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun