Fenomena demo Ahok/Aksi Bela Islam II merupakan keniscayaan dalam kacamata teori benturan peradaban. Segolongan umat Islam tersebut seperti menemukan momentumnya. Dikatakan segolongan karena golongan umat Islam yang mayoritas di Indonesia (NU), tidak begitu reaksioner terhadap pernyataan Ahok terkait QS. Al-Maidah:51. Bahkan mengambil sikap tengah-tengah demi menghindari perpecahan umat.
Ahok dianggap telah melakukan penistaan agama (Islam) atas pernyataannya: “dibohongi lagi pakai Al-Maidah:51”. Pernyataan tersebut mendapat tentangan keras dari MUI dan kelompok umat Islam Radikal di Indonesia (Salafi-Wahabi, FPI, KAMMI, HTI). Peristiwa itu kemudian menjadi polemik utamanya di media massa. Menindaklanjuti hal tersebut, kelompok Islam Radikal segera melakukan konsolidasi di berbagai daerah untuk melakukan Demo Ahok/Aksi Bela Islam II 4 November 2016. Tujuannya adalah memenjarakan Ahok, atau dalam bahasa politiknya “melengserkan Ahok dari jabatannya sebagai Gubernur Jakarta.
Ahok seorang warga negara Indonesia keturunan Tionghoa beragama Kristen adalah fakta. Tetapi dengan mengatakan bahwa Ahok adalah Pemimpin Kafir/Non Muslim apalagi ditambahi Laknatullah, itu berlebihan. Kita sedang berada dalam dimensi berbangsa dan bernegara di negara Indonesia yang multikultural. Dan jika kita memandang fenomena tersebut hanya sebagai Isu SARA atau Politik PILKADA DKI, hemat saya itu terlalu sederhana. “Pembacaan terhadap peta politik global merupakan langkah yang bijaksana untuk menelaah akar masalah sebenarnya.” Hendaknya ada analisis terhadap dinamika di Jakarta secara runtut, misalnya kontroversi Reklamasi Teluk Jakarta yang mana para investor dan dananya berasal dari Jepang atau China. Serta peristiwa lain yang mengikuti fenomena hari ini sebagai kajian empiris-historis sehingga akan menghasilkan penelaahan yang objektif, bukan subjektif.
Reklamasi Teluk Jakarta adalah pertarungan peradaban Barat-China/Jepang dalam memberikan pengaruh di Indonesia. Atau sah saja menyebut persaingan modal, motifnya tentu ekonomi. Tapi tidak satupun yang membicarakan apa sikap Barat terhadap kasus Reklamasi. Dustidak pernah muncul kontroversi atau demo ketika Barat menanamkan modalnya di Indonesia. Kalau kita mau jujur, ratusan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam Indonesia mulai dari emas, batubara, minyak, gas bumi dan intan kebanyakan dilakukan dan dimodali oleh perusahaan asal Amerika dan sekutu (Inggris, Kanada, Austrlia, Malaysia dll.)
Tapi tidak ada demo, tidak ada kontroversi. Sebagai komparasi, sah saja kita kaji keterlibatan Barat (Amerika dan sekutu) dalam berbagai dinamika sosial-politik di Indonesia. Atau menyelidiki kemungkinan keterlibatan CIA. Meneliti dan mengakses dokumen-dokumen rahasia sebagai kajian ilmiah yang bisa dipertanggung jawabkan.
Mirip Malari 1974
Pada 14 Januari 1974, Mr. Tanaka, Perdana Menteri Jepang berkunjung ke Indonesia untuk bertemu Presiden Soeharto. Pertemuan tersebut hendak membicarakan investasi-investasi Jepang di Indonesia. Pada hari yang sama, aksi demonstrasi mahasiswa (Hariman Siregar, DMUI) di Bandara Halim Perdana Kusuma dan di tempat-tempat strategis lain di Jakarta tak terkendali dan anarkis. Mahasiswa menolak investasi pihak asing (Jepang) yang begitu besar masuk Indonesia. Keesokan harinya, aksi terus berlanjut hingga jatuh korban 11 orang meninggal, 300 luka-luka, dan 775 orang ditahan. Sebanyak 807 mobil dan 187 sepeda motor rusak. 144 bangunan dibakar dan 160 kg emas dirampok dari toko-toko perhiasan.[1] Isu yang berkembang waktu itu adalah keterlibatan Masyumi/PNI (politik lokal), mendirikan negara Islam, Isu SARA dan kudeta oleh Jenderal Ali Moertopo atau Jenderal Soemitro. Berbeda sekali dengan buku Jelias Poer yang menemukan fakta keterlibatan CIA di sana.
Da kalau boleh lebih jujur lagi, latar belakang aksi 4 November 2016 mirip peristiwa MALARI 1974. Adalah bermotif ekonomi, tetapi Isu SARA yang dimunculkan di permukaan. Sesungguhnya pertarungan antara peradaban Barat (AS & sekutu), peadaban Jepang dan peradaban China (Konfusianisme). Senjatanya adalah umat Islam Radikal yang In-toleran. Serta medannya adalah Negara Indonesia yang kaya akan keberagaman dan kaya akan sumber daya alam.
Samuel P. Huntington dalam bukunya The Clash of Civilization (Benturan Peradaban) menyatakan dunia pasca Perang Dingin adalah sebuah dunia dengan tujuh atau delapan peradaban besar. Huntington menuturkan bahwa ikatan sekelompok masyarakat modern semakin ditentukan oleh warisan agama, bahasa, sejarah, dan tradisi yang mereka miliki bersama atau yang disebut sebagai peradaban. Diantara tujuh atau delapan peradaban besar tersebut ialah peradaban Barat, Konfusius, Jepang, Islam, Kristen Ortodoks, Hindu, Amerika Latin, dan mungkin “Afrika”.
Dalam pada itu, Kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan kultural (suatu peradaban) membentuk kepentingan-kepentingan, antagonisme-antagonisme, serta asosiasi-asosiasi antarnegara.[2] Terdapat latar belakang ekonomi, politik dan terkuat “agama” sebagai yang paling berperan dalam konflik antarperadaban. Bahkan oleh karena interpretasi subjektif terhadap agama sehingga memunculkan klaim kebenaran untuk membunuh dan berperang atas nama Tuhan dan kitab suci.
Perang peradaban mungkin telah dimulai sejak IMF menerapkan kebijakan privatisasi dan dikte ekonomi di era Gorbachev memerintah Rusia. Atau jauh sebelumnya ketika Reagen dan Tatcher mengadopsi gagasan Mont Pelerin Societyuntuk menjadikan Globalisasi sebagai kendaraan eksekutif bagi Neoliberalisme.[3] Atau dalam dimensi lain, munculnya gerakan Islam Transnasional seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Wahabi-salafi.[4] Kenyataannya, kasus terorisme semakin meningkat, anggota pejuang mujahidin ISIS terus bertambah dan berperang.