Mohon tunggu...
Suer@nywhere
Suer@nywhere Mohon Tunggu... Konsultan - Mencoba membaca, memahami, dan menikmati ciptaanNya di muka bumi. Action to move forward because word is not enough. Twitter/Instagram: @suerdirantau

Mencoba membaca, memahami, dan menikmati ciptaanNya di muka bumi. Action to move forward because word is not enough. Twitter/Instagram: @suerdirantau

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Suvenir yang Tertukar

8 Februari 2021   13:42 Diperbarui: 17 Maret 2021   12:10 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ukiran kayu masyarakat Papua New Guinea

Ini bukan suvenir sembarangan. Ini ukiran asli dari lembaran kayu keras, bukan kaleng-kaleng, bukan tempelan. Terukir halus seperti diorama di candi-candi. Mengisahkan interaksi masyarakat lokal dengan alam. Menombak ikan, menombak buaya, bahkan mengejar buaya yang sedang mengigit anjing. Ukiran berdimensi 75cm x 45 cm dan tebal 7 cm itu rumit dan ramai. Beratnya 5 kg saja.

Ini bukan sembarangan suvenir. Ukiran ini berusia lebih dari 20 tahun, dibeli di Port Moresby, ibukota Papua New Guinea. Ukiran ini sempat melantai belasan tahun di gudang karena ibu saya bilang, "kayak penyembah berhala".  

Saya tidak tahu berapa harganya, karena boss saya yang beli. No, no.....dia bukan beli untuk saya. Lha kok ada di rumah saya? Nah, itulah masalahnya.

Once upon a time, di sela-sela rapat kerja regional lembaga tempat kami bekerja, disediakan waktu untuk menyatroni pasar di Port Moresby. Semacam pusat kerajinan tangan. Entah apa nama pasarnya, dulu sulit diingat dan sekarang pun lupa. Lumayan ramai dengan wisatawan asing.

Menyadari kapasitas muatan bagasi, saya hanya membeli tiga ukiran kayu yang berukuran kecil dan ringan alias tentengable. Kebanyakan teman saya membeli lukisan, ukiran, patung, kaos, gantungan kunci, pernak-pernik perhiasan leher, tangan, dan telinga. Namun ada juga yang membeli suvenir berukuran besar dan berat. Bos saya termasuk golongan yang terakhir ini.

Sore hari membeli suvenir, malamnya panitia rapat mengumumkan agar semua suvenir berbahan dasar kayu difumigasi. "Terutama bagi yang penerbangannya transit dan menginap di Sydney". Saat itu saya kok merasa kena jebakan batman ya?

Terpaksalah, barang-barang suvenir dikumpulkan untuk difumigasi selama 24 jam. Staf lokal yang ada di lembaga kami membantu proses ini, sehingga sebelum tanggal keberangkatan, semua barang suvenir dan sertifikat fumigasi dikembalikan kepada pemiliknya. Saat itulah drama ukiran kayu dimulai.

Boss yang melihat betapa ringan dan kecilnya barang bawaan saya, dengan serta merta mengajukan usulan yang kesannya baik hati. "Wer, suvenir kamu saya bawain sini".

Deg, saya terkejut dong. Sebuah penawaran yang sangat langka....dari boss.

"Tapi tolong bawaain punya saya ya, kegedean nih, nggak muat dikoper," lanjutnya sambil ngeloyor, menenteng suvenir milik saya. Nah, kan... Sungguh proses barter yang singkat, tak seimbang, tanpa negosiasi. Gak jelas ini perintah, amanah, atau minta tolong sih?

Belakangan saya baru tahu, ternyata rute dan jadwal penerbangan beliau beda dengan saya. Maka terjadilah, saya tenteng ukiran kayu itu selama perjalanan. Makin lama makin berat. Apalagi ketika berhadapan dengan petugas bea cukai dan karantina bandara Sydney. Apa jadinya kalau ukiran itu ditahan sama petugas, atau saya yang ditahan karena memasukkan benda yang berpotensi menyebarkan mikroorganisme asing ke benua Australia?.

Masalahnya sederhana. Ketika melintasi jalur merah, saya serahkan ukiran dan sertifikat fumigasi. Petugas pertama hanya membaca sertifikat, lalu memanggil seorang kawannya. Menunggu sambil celingak-celinguk. Petugas kedua datang, memegang dan mencium-cium kayu ukiran. Lalu memanggil lagi petugas lain lewat walkie talkie. Menunggu lagi. Petugas ketiga datang dengan koper berisi alat-alat. Ia mencutik-cutik bagian kayu, mengendusnya, lalu dimasukkan ke dalam tabung. Diperhatikannya dengan seksama. Barulah dia mengangguk-angguk. "Beres nih...," pikir saya

Ternyata petugas yang pertama masih penasaran. Ia meminta saya membuka koper saya. Walah...,"what's wrong sir?", tanya saya heran.

Dia melotot dan berkata singkat, "just open it".

Maka terbongkarlah aib berupa baju, celana kotor dan daleman yg sudah dilipat paksa. Tak ada yang mencurigakan. Saya boleh pergi, tapi butuh waktu untuk mengembalikan isi koper yang terhambur. Satu jam terbuang percuma gegara ukiran kayu ini.

Teman perjalanan saya sudah habis segelas kopinya untuk menunggu saya. Menyemburlah omelannya, "Gila lu ya? ngapain aja sih, lama bbangett! Boker lu ya?".  Speechless. 

Akhirnya ukiran keramat itu sampai di Bogor dengan selamat. Tak berlama-lama, saya segera evakuasi ukiran kayu itu ke kantor untuk serah-terima. "Mana suvenir punya saya pak,?", pinta saya ketika jumpa si bos di kantor.

Beliau diam sejenak, lalu "oooh..iya, ketinggalan di rumah," jawabnya. "Punya saya mana?", lanjutnya.

Hmm...alamat gak beres nih. Bisa terjadi penyerahan suvenir satu arah nih. Saya pun jawab sekenanya, "udah ada di mobil, tapi sekarang mobilnya di bengkel".

Seminggu lewat. Dua minggu berlalu. Pertukaran suvenir itu tak pernah terjadi. Saya kembali ke pangkalan di Jayapura sedangkan beliau tetap di Jakarta. Perlahan tapi pasti, kedua pihak melupakan pertukaran suvenir keramat itu akibat kesibukan duniawi.

Waktu pun melenggang, hingga dua dekade. Saya dan beliau sudah tidak bekerja di tempat yang sama. Kami jarang berjumpa, namun tetap berada di grup whatsapp alumni lembaga yang dulu beliau pimpin.

Masa-masa pandemi Covid19 yang terjadi sepanjang tahun 2020, memungkinkan saya menjenguk dan merapikan gudang di rumah. Muncullah ukiran keramat itu dengan kondisi berdebu, berpasir, berjaring laba-laba diantara tumpukan barang. Saya cuci, bersihkan, lalu saya gantung di ruang kerja.

Setiap melihatnya, saya mulai teringat peristiwa dua dekade itu. Sebelah hati saya menghasut untuk mempertahankan, " Ukiran itu bagus lho, nyentrik. Lagian, pasti bos sudah lupa". Lalu sebelah hati saya  mengingatkan, "mau sebagus apapun, ukiran itu bukan milikmu". Kegundahan itu makin menguat dan terus menguat belakangan ini. Saya takut ada tuduhan mencuri di hari perhitungan kelak.

Saya bertekad mengembalikan ukiran itu tanpa merisaukan milik saya yang ada padanya. Saya masih mencari alasan "kenapa baru mengembalikan setelah dua puluh tahun?".  Nanti saya akan update memori ini, jika saya sudah mengembalikan ukiran yang terlupakan ini.

Untuk memenuhi janji saya di atas, akhirnya suvenir ukiran yang tertukar itu telah dikembalikan kepada pemiliknya pada tanggal 15 Maret 2021. Tentu dengan diiringi permohonan maaf bertubi-tubi untuk mewakili dua dekade kelalaian saya.

Sesuai dugaan, beliau pun sudah lupa dgn peristiwa pertukaran suvenir itu. Wajarlah, dua puluh tahun bro n sis…! Saya bisa mengingat ukiran itu bukan milik saya karena ada beberapa kejengkelan tak terlupakan. Sementara itu,  saya justru tak ingat seperti apa suvenir ukiran saya yang dipertukarkan…hahahaha. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun