Sumber: wowshack.com
Tugas yang aneh. Target operasi: Owa Jawa (Hylobates moloch) yang dipelihara masyarakat di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Berasa disuruh nyari jerami ditumpukan jarum gak sih?
Kalau sudah ketemu, mau diapain? Nah ini dia, cuma sedot sedikit darahnya atau cabut beberapa helai rambutnya. Gampang? Bah!! Mana ada Owa Jawa yang ikhlas sukarela jadi pendonor darah atau dicabut rambutnya?
Terus buat apa darah dan helaian rambut itu? Kayak nggak ada kerjaan lain aja. Yeee emang nggak ada.
Sebagaimana yang diketahui masyarakat ilmiah, si Owa Jawa hanya ada di Pulau Jawa, alias endemic. Penyebarannya terbatas di kantung-kantung kawasan konservasi Banten, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Mengingat tempat hidupnya sudah terbelah-belah oleh jalan, perkotaan, pemukiman, dan pertanian sejak lama, maka diduga adanya penurunan keragaman genetik.
Ilustrasinya begini. Keluarga Owa Jawa di Ujung Kulon sudah tak mungkin kawin dengan Owa Jawa di Gunung Pangrango, apalagi dengan populasi di Gunung Slamet. Secara alami mereka kawin dengan individu yang ada toh? Nah, sifat-sifat genetika yang diturunkan menjadi kurang bervariasi. Bandingkan dengan orang Jawa yang kawin dengan berbagai suku bangsa, maka tampilan genetikanya makin beragam kan?
Dengan logika ilmiah seperti itu, Pusat Studi Biodiversitas Universitas Indonesia ingin memastikan apa betul telah terjadi penurunan keragaman genetika Owa Jawa. Dengan bantuan teknologi canggih, kita sudah dapat mengidentifikasi keragaman genetika suatu spesies dari materi genetik berupa darah, feces, dan akar rambut. Maka pada tahun 1995-1996, dibentuklah tim pet detective untuk “berburu” Owa Jawa.
Idealnya materi genetik itu didapatkan dari satwa yang hidup di alam liar. Tapi asal tau aja nih, untuk bisa melihat Owa Jawa di hutan alami itu pekerjaan setengah mati. Apalagi merayu owa untuk turun dari atas pohon, lalu kita ambil darahnya atau cabut bulunya. Serius, itu pekerjaan dua kali setengah mati!!
Owa Jawa hidup dalam norma keluarga kecil bahagia (bapak-ibu dan 1-2 anak) di bagian tengah dan kanopi pohon. Bergeraknya dengan tangan (brakiasi), bergayutan dari pohon ke pohon, mirip akrobat sirkus dengan kecepatan naujubilah. Kita hanya sempat dengar grusak... grusakkk... Beberapa detik kemudian si owa memandang kita dengan tatapan sedih dari kejauhan, “Suck my blood if you can, bro...”
Kalau kita yang lebih dulu melihat owa, lalu mereka kaget, dan kabur terkencing-kencing sambil buang kotoran dari ketinggian. Akibatnya, kotoran padat dan cair itu berhamburan kayak hujan. Di situ kadang saya merasa sedih campur senang menjadi...shit collector!!!
Untuk menyiasati kesulitan itu, kita juga mencari Owa Jawa di kebun binatang dan yang dipelihara masyarakat. Dari masyarakat? Jangan kaget dulu ah, waktu itu Undang-undang Konservasi umurnya masih balita. Peraturan Pemerintahnya juga belum lahir. Sebagai kebijakan transisi, masyarakat yang memelihara satwa liar dilindungi wajib lapor ke BKSDA. Satwanya dianggap milik negara yang “dititipkan” ke masyarakat untuk jangka waktu tertentu. Jika habis jangka waktunya, ya harus lapor lagi. Hebat kan?
Berbekal daftar satwa yang yang dilaporkan masyarakat ke BKSDA Jawa Barat dan Jawa Tengah, pet detective mulai beraksi. Rute perjalanan dari kota ke kota disusun berdasarkan alamat para pemelihara Owa Jawa.
Bakal banyak sampel nih, pikir saya penuh harap dan keyakinan. “Wah, haduh, pemburu berdarah owa nih kita,” kata Roso, teman perjalanan saya. Mobil Jimni biru tahun 1984 menjadi saksi bisu perjalanan berdarah ini.
Dua puluh alamat target telah kita telusuri, tujuh ratus kilometer telah kita jalani. Rasa frustrasi saya itu tergambarkan sempurna pada lagunya Ayu Tingting, Alamat Palsu. “Ke mana, ke mana, ke mana... Kuharus mencari ke mana...” Gimana gak palsu coba, Ketua RT-nya saja tidak tahu alamat yang kita sodorkan. Arghh....
Ketika alamat berhasil ditemukan, eh.... satwanya sudah mati. Apakah masyarakat lapor ke BKSDA setelah satwanya mati? Jiaaah...ujan bekelir deh kalo mereka lapor....
Di beberapa alamat juga ditemukan jenis satwa yang berbeda dengan yang dilaporkan ke BKSDA. Lapornya Owa Jawa, ternyata pelihara siamang. Apakah masyarakat tidak tahu jenis satwa yang dipelihara ATAU pegawai BKSDA tidak memverifikasi jenis yang dilaporkan? Saya yakin kita semua tahu jawabannya. Yang pasti bukan ATAU....
Saya salah. Seharusnya saya berharap pada Tuhan, bukan pada sebuah daftar buatan manusia. Sigh...!!!
Dengan kondisi seperti itu, bagaimana pihak berwenang memonitor kesehatan satwa-satwa dilindungi yang katanya “milik negara” itu? Apakah surat penitipan satwa itu diperpanjang para pemelihara satwa? Tentu tidak.
Bukankah surat itu dapat disalah artikan dan disalah gunakan pemelihara satwa sebagai bukti kepemilikan? Bagaimana kita tahu bahwa satwa yang “dititipkan” itu tidak dijual beserta surat penitipan itu? Ah, lebih baik kita tanya pada yang berenang saja, karena yang berwenang juga kemungkinan tidak tahu.
Sudah kadung berkelana, perburuan Owa Jawa harus dikombinasi dengan metode tanya sana-sini secara acak di setiap kota. Itu jelas bukan random sampling method. Itu metode kepepet random. Tanya pemilik hotel, warung makan, bengkel mobil, tukang tambal ban, bahkan supir truk dan mobil boks yang sedang rehat. Hasilnya lumayan. Kita menemukan Owa Jawa yang dipelihara di kampung dan di kota, dan tidak terdeteksi pihak berwenang.
Girangnya kami saat menemukan Owa Jawa yang dipelihara itu seperti Archimedes, cuma kita tidak teriak-teriak Eureka..Eureka..! Cukup senyum bahagia, lalu melancarkan jurus bujuk rayu agar kita diizinkan mencabut beberapa helai rambut sampai ke akarnya atau sedot darah.
Kebanyakan Owa Jawa dipelihara di kandang yang sempit, sekitar 1 x 1 x 1,5 m. Itu lebih tepat disebut penjara daripada kandang. Jarang ada kandang yang memungkinkan owa bergelantungan dan bergerak bebas.
Makanannya bukan ala carte, tapi ala kadarnya. Beruntung jika ada yang memberinya pisang, pepaya, singkong, ubi, dan nasi sisa pemeliharanya. Ada satu Owa Jawa yang baru mau menjulurkan tangan untuk dicabut bulunya setelah diberi permen. Bukan sembarang permen, musti merek Kopiko! Belagu sih, tapi kasihan kan? Pemiliknya pasti punya hobi ngemut-ngemut.
Lain lagi dengan Wagimin yang tinggal di Tegal. Dia sangat keqi dengan Owa Jawa jantan dewasa yang dipeliharanya. “Galak kalau didekati laki-laki, Mas. Nurutnya cuma sama istri nyong,” kata Wagimin dengan logat Tegalnya yang mirip pelawak Kholiq. Asli lho....
Memang brutal sekali Owa Tegal ini. Dia ogah mengambil pisang yang kita sodorkan, malah 'angop' sambil pamer gigi taring. Kalau kita terlalu dekat, dia akan goyang-goyang kandangnya. Well, demi beberapa helai rambutnya, kita terpaksa nunggu istrinya Wagimin pulang dari pasar. Asemmm!
“Bukan cuma galak mas, binatang ini juga kurang ajar,” jelas Wagimin.
“Kurang ajar gimana pak?” tanya saya penasaran.
“Itu lho, kalau istri nyong ngelus-ngelus tangannya, khewan ini jadi napsu. Jadi berdiri burungnya....”
Hah? Saya nyerah menahan tawa. Udah modulasinya kayak Kholiq, intonasinya pun mellooooow banget.
“Jadi cemburu nih, ceritanya?" ledek saya.
“Walah...mosok inyong cemburu sama monyet.”
“Makanya, Pak, dilepas aja, atau dikawinin,” pancing Roso yang baru kelar ngakaknya.
“Ya kalau ada pasangannya, sini inyong kawinin. Tapi mas kawinnya apa ya? Hahaha....”
Catatan kakiku: Owa Jawa dan satwa liar yang dipelihara juga sama dengan manusia, punya kebutuhan biologis dan perlu kasih sayang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H