Mohon tunggu...
Suer@nywhere
Suer@nywhere Mohon Tunggu... Konsultan - Mencoba membaca, memahami, dan menikmati ciptaanNya di muka bumi. Action to move forward because word is not enough. Twitter/Instagram: @suerdirantau

Mencoba membaca, memahami, dan menikmati ciptaanNya di muka bumi. Action to move forward because word is not enough. Twitter/Instagram: @suerdirantau

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Pet Detective van Java

26 April 2016   10:21 Diperbarui: 26 April 2016   18:30 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbekal daftar satwa yang yang dilaporkan masyarakat ke BKSDA Jawa Barat dan Jawa Tengah, pet detective mulai beraksi. Rute perjalanan dari kota ke kota disusun berdasarkan alamat para pemelihara Owa Jawa.

Bakal banyak sampel nih, pikir saya penuh harap dan keyakinan. “Wah, haduh, pemburu berdarah owa nih kita,” kata Roso, teman perjalanan saya. Mobil Jimni biru tahun 1984 menjadi saksi bisu perjalanan berdarah ini.

Dua puluh alamat target telah kita telusuri, tujuh ratus kilometer telah kita jalani. Rasa frustrasi saya itu tergambarkan sempurna pada lagunya Ayu Tingting, Alamat Palsu. “Ke mana, ke mana, ke mana... Kuharus mencari ke mana...” Gimana gak palsu coba, Ketua RT-nya saja tidak tahu alamat yang kita sodorkan. Arghh....

Ketika alamat berhasil ditemukan, eh.... satwanya sudah mati. Apakah masyarakat lapor ke BKSDA setelah satwanya mati? Jiaaah...ujan bekelir deh kalo mereka lapor....

Di beberapa alamat juga ditemukan jenis satwa yang berbeda dengan yang dilaporkan ke BKSDA. Lapornya Owa Jawa, ternyata pelihara siamang. Apakah masyarakat tidak tahu jenis satwa yang dipelihara ATAU pegawai BKSDA tidak memverifikasi jenis yang dilaporkan? Saya yakin kita semua tahu jawabannya. Yang pasti bukan ATAU....

Saya salah. Seharusnya saya berharap pada Tuhan, bukan pada sebuah daftar buatan manusia. Sigh...!!!

Dengan kondisi seperti itu, bagaimana pihak berwenang memonitor kesehatan satwa-satwa dilindungi yang katanya “milik negara” itu? Apakah surat penitipan satwa itu diperpanjang para pemelihara satwa? Tentu tidak.

Bukankah surat itu dapat disalah artikan dan disalah gunakan pemelihara satwa sebagai bukti kepemilikan? Bagaimana kita tahu bahwa satwa yang “dititipkan” itu tidak dijual beserta surat penitipan itu? Ah, lebih baik kita tanya pada yang berenang saja, karena yang berwenang juga kemungkinan tidak tahu.

Sudah kadung berkelana, perburuan Owa Jawa harus dikombinasi dengan metode tanya sana-sini secara acak di setiap kota. Itu jelas bukan random sampling method. Itu metode kepepet random. Tanya pemilik hotel, warung makan, bengkel mobil, tukang tambal ban, bahkan supir truk dan mobil boks yang sedang rehat. Hasilnya lumayan. Kita menemukan Owa Jawa yang dipelihara di kampung dan di kota, dan tidak terdeteksi pihak berwenang.

Girangnya kami saat menemukan Owa Jawa yang dipelihara itu seperti Archimedes, cuma kita tidak teriak-teriak Eureka..Eureka..! Cukup senyum bahagia, lalu melancarkan jurus bujuk rayu agar kita diizinkan mencabut beberapa helai rambut sampai ke akarnya atau sedot darah.

Kebanyakan Owa Jawa dipelihara di kandang yang sempit, sekitar 1 x 1 x 1,5 m. Itu lebih tepat disebut penjara daripada kandang. Jarang ada kandang yang memungkinkan owa bergelantungan dan bergerak bebas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun