Dalam konsep Total Quality Management disebutkan bahwa salah satu parameter yang bisa digunakan untuk mengetahui kualitas manajemen suatu institusi bisa dilihat dari kondisi toiletnya. Ketika toiletnya bersih dan tidak bau, maka baguslah manajemen di dalam institusi tersebut.Â
Meski terkesan remeh, namun mau tidak mau harus diakui bahwa toilet juga menjadi bagian siklus keseharian manusia-manusia yang ada di dalam suatu institusi.
Selama menjalankan pekerjaannya sehari-hari, orang-orang yang ada di dalam institusi tersebut pasti akan melakukan aktivitas sanitasi. Dengan demikian, toilet pun masuk menjadi bagian yang harus diperhatikan agar iklim kerja yang ada dalam institusi tersebut bisa lebih nyaman dan kondusif.Â
Jika sebuah institusi mampu mengelola dengan baik bagian-bagian kecil dalam siklus kerjanya sehari-hari, seperti toilet, maka bisa diasumsikan bahwa institusi tersebut juga akan lebih baik dalam mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar.
Demikian pula jika ingin melihat kualitas manajemen suatu sekolah, kita bisa melihatnya dari kondisi toilet siswa. Ingat, toilet siswa. Bukan toilet guru. Toilet guru biasanya cenderung sudah bersih dan teratur, karena secara kuantitas penggunaan tak semasif toilet siswa.Â
Namun, lain cerita jika berkaitan dengan toilet siswa. Kebanyakan toilet siswa jauh lebih tidak terurus dibandingkan toilet guru. Â Jika sekolah mampu mengelola hal-hal kecil, semacam toilet siswa, maka besar kemungkinan untuk hal-hal yang lebih besar di dalam sekolah tersebut bisa dikerjakan dengan baik.
Belakangan, saya menambahkan satu parameter lagi untuk melihat kualitas sebuah sekolah. Pada akhirnya, saya menganggap bahwa sekolah tak hanya melulu urusan manajemen sebuah institusi.Â
Lebih dari itu, sebagai sebuah institusi sumber daya manusia yang sering diasumsikan sebagai sarang ilmu pengetahuan, di setiap sekolah seharusnya juga tertanam iklim pembelajaran yang begitu kental.
 Sebagai sebuah tempat yang didalamnya kita bisa meng-eksplore berbagai macam ilmu pengetahuan. Maka, tak berlebihan kiranya jika kita  juga harus mengharapkan bahwa orang-orang yang ada di dalam sekolah adalah orang-orang yang yang selalu menggilai ilmu pengetahuan.Â
Jika pusat kebugaran adalah tempat berkumpulnya orang-orang yang memang gandrung berolahraga, dan pusat perbelanjaan adalah tempat berkumpulnya orang-orang yang gandrung belanja.
Maka sungguh sangat ganjil jika kita melihat sekolah ---yang konon---adalah pusat ilmu pengetahuan, namun di dalamnya tidak diisi oleh orang-orang yang juga gandrung ilmu pengetahuan.Â
Dan salah satu tempat yang bisa mencerminkan iklim gila ilmu pengetahuan dalam sebuah sekolah tersebut adalah perpustakaan.Apabila kita sepakat memandang bahwa buku adalah sumber ilmu pengetahuan.
Maka perpustakaan sebagai tempat bersemayamnya buku-buku adalah gudang yang menyimpan berbagai stok ilmu pengetahuan tersebut. Layaknya pusat-pusat berbelanjaan yang memiliki gudang besar guna menampung stok barang-barang untuk konsumennya.
Maka sangatlah wajar jika sekolah sebagai pusat pembelajaran juga harus menyediakan stok ilmu pengetahuan  yang dibutuhkan oleh siswa-siswanya.
Jika sebuah toilet siswa yang bersih dan nyaman bisa dijadikan sebagai parameter manajamen sekolah yang baik, maka tersedianya perpustakaan yang keren di dalam sekolah juga bisa dijadikan penanda bahwa sekolah tersebut memang serius dalam memberikan asupan ilmu pengetahuan yang berlimpah bagi siswa-siswanya.Â
Sekolah tersebut tidak hanya sekadar sekolah yang bagus --karena dikelola dengan sistem manajemen yang sangat baik---tapi juga merupan sekolah yang cemerlang, karena hakikat sekolah sebagai sarang ilmu pengetahuan tertanam kuat dalam iklim sekolah tersebut.
Lalu, pertanyaannya, bagaimana cara menilai kualitas perpustakaan sekolah yang keren ? Apakah sekolah yang tidak memiliki bangunan perpustakaan yang luas diak bisa menjadi sekolah yang cemerlang ?Â
Ah, dari dulu saya lebih suka memandang sebuah perpustakaan bukan masalah bangunan dan berbagai logistik yang di dalamnya.Â
Lebih dari itu, perpustakaan adalah sebuah ekosistem yang dengan aktif melakukan kerja-kerja literasi untuk orang-orang yang berada di sekitarnya. Dalam kacamata saya pribadi, sebuah perpustakaan sekolah bisa dikatakan baik jika memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut :
Kuantitas pengunjung dan sirkulasi buku yang kondusif
Pada hakikatnya, sebuah buku diciptakan untuk dibaca. Bukan dipajang saja. Jadi, ketika bertemu sebuah ruangan di sekolah yang bertuliskan "Perpustakaan" di atas kusen pintunya.
Namun begitu masuk tidak terlihat satu orang pun di dalamnya kecuali seorang yang duduk di meja penjaga, apalagi ketika kita lihat daftar peminjaman bukunya juga masih sepi-sepi saja, entah mengapa saya lebih suka menyebut ruangan itu sebagai gudang penimbunan buku daripada perpustakaan.
Tentu kita semua sepakat bahwa perpustakaan diciptakan memang ditujukan agar orang-orang yang ada di dalam sekolah (bukan siswa saja) bisa membaca buku-buku di sana, supaya wawasannya bisa lebih berkembang.Â
Salah satu parameter apakah tujuan itu tercapai atau tidak, bisa kita lihat dari kuantitas pengunjung dan sirkulasi buku-buku yang dipinjam. Ketika itu tidak tercapai, tentu saja keberadaanya akan jadi mubazir.
Koleksi buku yang bervariasi
Ketika masuk ke dalam perpustakaan dan berjumpa dengan judul-judul buku yang sangat beragam dari berbagai genre, saya tak bisa menahan diri untuk menampakkan ekspresi bahagia. Apalagi jika di antara deretan buku-buku tersebut ada banyak buku-buku cerita dan komik.Â
Bagi saya, buku cerita adalah pintu masuk seseorang untuk mencintai aktivitas membaca buku. Kalau kita simak perjalanan tokoh-tokoh besar yang begitu mencintai ilmu, mereka mengawalinya dari membaca buku-buku cerita.
Albert Einstein mengisi masa kecilnya dengan membaca novel-novel Karl May, yang kemudian mengantarnya menjadi orang yang gila membaca dan mencintai ilmu.Â
Dalam buku yang berjudul Bukuku Kakiku, yang memuat tulisan dari para tokoh-tokoh besar Indonesia, mulai dari cendekiawan, ilmuwan, sastrawan, sampai polotisi hebat.
Semuanya mengaku mengawali kecintaannya terhadap aktivitas membaca dengan diawali dari membaca buku-buku cerita seperti komik Kho Ping Ho, novel detektif Lima Sekawan, sampai buku-buku cerita wayang R.A. Kosasih.
Biasanya, perpustakaan sekolah yang ramai pengunjung adalah yang memiliki banyak buku-buku cerita, bukan perpustakaan yang koleksinya hanya terbatas buku-buku paket pelajaran yang membosankan.Â
Mengenai buku cerita dan komik ini, Hikmat Dharmawan pernah menulisakan artikel yang sangat menarik, yang di dalamnya juga berisi himbauan agar kita tidak perlu terlalu khawatir jika anak-anak begitu menggemari komik, sebab hal itu sangatlah wajar karena memang komik dan buku cerita sangat menarik dan mudah dibaca.Â
Hikmat juga menyampaikan bahwa komik pun bisa jadi media pembelajaran yang menarik. Kalaupun kekhawatiran itu masih belum hilang, saat ini banyak beredar buku-buku cerita yang lebih aman. Buku-buku cerita  yang kental tersurat unsur edukasinya, seperti komik sains atau buku-buku cerita yang mengangkat nilai-nilai edukasi yang kental.
Program-program Literasi yang berkesinambunganan
Sekali lagi, mendirikan perpustakaan sekolah bukan hanya tentang mengisi sebuah ruangan kosong di sekolah dengan tumpukan buku, tapi juga tentang sebuah gerakan literasi yang berkesinambungan dalam lingkungan sekolah itu.
Jika diibaratkan sebuah lapak perniagaan, perpustakaan yang keren hendaknya bukan seperti seorang yang membuka lapak dagangannya, lalu menunggu orang lewat mampir membeli dagangannya.Â
Perpustakaan yang baik, hendaknya seperti pedagang yang pro aktif memasarkan dagangannya ke konsumen dengan berbagai kegiatan yang kreatif dan berkesinambungan.
Ketika menjumpai dirinya sudah mulai sepi pengunjung, maka perpustakaan sekolah hendaknya tidak boleh dibiarkan. Ia harus banyak melakukan program-program yang lebih pro aktif untuk melakukan persuasi ke warga sekolah, misalnya dengan cara mendekatkan buku-buku kepada siswa melalui gerobak baca, tangga baca, sudut baca, kantin baca, dll.Â
Atau juga bisa dengan cara mengadakan berbagai even-even literasi yang bisa melibatkan warga sekolah dengan suka cita, semisal mengadakan kompetisi review buku, storry telling, lomba menyampul buku, dan lain-lain.
Ya, perpustakaan sekolah harus merasa resah jika melihat warga sekolah mulai tak bernafsu dengan kegiatan literasi. Karena sekolah yang diisi oleh manusia-manusia yang gila membaca adalah sekolah yang akan memiliki energi yang berbeda.Â
Energi yang selalu mendorong untuk terus berpikir kritis, terus kreatif, dan terus bertumbuh. Bukan energi yang terlalu cepat puas dengan usaha ala kadarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H