Bang, Kamu Lahir Prematur loh…
Pengalaman Merupakan Guru
Pengalaman merupakan guru yang baik. Mungkin itulah sebabnya peneliti kualitatif non mainstream menggunakan metode berperan serta, dimana si peneliti hidup bersama tineliti, dan mengalami pengalaman mereka. Tujuannya agar dia bisa belajar dari masyarakat yang ditelitinya.
Dulu semasa remaja dan sampai lajang tua, seringkali merasa kesal melihat sikap orang tua kepada anak-anaknya. Ya anak-anaknya, karena lebih dari satu. Anak-anak bermacam karakter, ada yang patuh baik-baik saja, ada juga yang senang memberontak, ada yang senang melamun menulis-nulis, ada yang banyak akal menghindari pekerjaan, dan lain-lain. Pergesekan diantara saudara tak bisa dihindarkan, karena masing-masing punya keinginan yang berbeda. Peran orang tua terlihat disana. Kata orang tua, jika anaknya tiga, maka dia harus memiliki tiga hati, kalau tiga-tiganya sudah menikah, hatinya menjadi berlipat dua, harus jadi enam. Kalau sudah punya cucu, ya harus tambah lagi hatinya.
Menjadi Ayah, Berbagi Hati
Pengalaman istri menjadi ibu, menurut pengakuannya, saat melahirkan dia langsung ingat ibunya. Air matanya meleleh setelah mulai hilang pengaruh anestesi sehabis operasi cesar. Dia ingat ibu yang melahirkannya. Perjuangan dan keberanian untuk melahirkan dia. Saya tentu tak akan bisa mengalami itu, tetapi saya bisa merasakan apa yang dirasakan istri saya saat itu.
Kini anak saya sudah dua. Yang besar laki-laki umurnya 5 tahun kurang, sedang yang kecil perempuan umurnya 2 tahun lebih. Keduanya memiliki karakter yang berbeda. Selera makannya pun berbeda. Si sulung hanya memakan jenis makanan tertentu sesuai pilihannya, sedangkan si bungsu bisa dan mau memakan berbagai jenis makanan, mulai dari kerupuk sampai bakso, yang manis sampai yang bersambal pedas, dia suka makan. Si sulung lebih manja daripada si bungsu. Terkadang mereka berlomba mendapat perhatian, dua-duanya ingin didengar. Malah kadang bersaing juga dengan ibunya, semua bercerita pengalaman hari ini dan saya harus mendengarnya. Begitulah ternyata menjadi ayah dari dua anak, kini hatiku harus ada tiga, buat ibunya, dan buat anak-anak kami.
Persoalan si Sulung dan Ibunya
Si sulung itu memang agak manja. Maklum anak pertama banyak yang memperhatikan. Opungnya, tulangnya, tantenya, bapaudanya, semua memberi perhatian. Walaupun begitu, sebenarnya dia diam-diam memperhatikan juga saran-saran yang saya berikan, kemudian meniru apa-apa yang saya kerjakan. Dia membolak-balik buku seolah sudah bisa membaca, dia membersihkan meja katanya banyak debu. Mengingatkanku untuk mengerjakan tugas kuliah. Dia mendoakan adiknya, dan semua yang telah memperhatikan dia disebut satu persatu.
Persoalan timbul kalau permintaannya tidak dipenuhi. Seperti tadi malam, dia minta permen vitamin C, yang tidak dipenuhi oleh ibunya. Karena seharian dia sudah makan dua permennya. Lalu mereka pun bersoal karena channel tivi. Ibunya mau menonton FoxCrime, anaknya mau nonton ”para-para” film kartun. Si sulung marah-marah kepada ibunya.
Si Abang Sebelas Duabelas dengan Bapaknya
Melihat hal itu, saya coba membujuk anak hasianku itu. Biasanya kalau kupeluk dia menjadi tenang. Sudah waktunya juga memberi tahu kepadanya agar tidak marah-marah kepada orang tua, harus sayang, harus sopan.
“Bang, kamu tidak boleh marah-marah sama mama, kan mama sayang abang. Abang dulu lahir prematur lho”
Dia diam memperhatikan, sambil senyum-senyum sedikit. Lagi pula manalah dia mengerti prematur, tapi nanti saya jelaskan.
“Abang tau kan yang di foto itu, waktu abang masih kecil?”
“Yang mana pa”
“Itu yang di ruang tengah, ayo kita lihat, sini bapak gendong”
“Abang jalan aja” dia menolak kugendong.
Saya menunjukkan foto-fotonya baru lahir di dalam incubator karena lahirnya prematur, saat digendong ibunya, saat diberikan ulos oleh opungnya setelah dibabtis, saat berfoto di kampung.
“Itu bang, abang dua hari disitu, diinfus. Setelah dua hari baru bisa ketemu mama, itu langsung mama peluk terus kamu dikasih nenen sama mama”
Kami melanjutkan melihat foto-foto kami di handphone sewaktu dia masih kecil banget, lalu foto-foto adiknya. Setiap foto saya berikan narasi, sedikit dramatisasi. Matanya mulai berkaca-kaca.
“Waktu abang lahir, mama dioperasi lho, sama kayak waktu dedek lahir itu bang, kita nungguin mama dioperasi kan”
Waktu adiknya mau lahir, dia ikut menunggu di luar ruang operasi. Dia terlihat cemas saat mendengar penjelasan dokter, entah dia mengerti apa yang disampaikan oleh dokter ke saya.
Sejurus kemudian dia sibuk memberikan ciuman kepada ibunya, saya dan adiknya dengan mata berkaca-kaca. Tak lama dia pun tidur memeluk ibunya. Yach anakku sebelas duabelas juga dengan bapaknya, agak perasa. Hehehe, kata temanku muka Rambo hati Rinto, mau maccam mana lagi kan?
---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H