Bukan karena aku tidak mau, tetapi karena memang masih ada wadah lain yang menjadi rumah bagi tulisan terkait komunitas. Namun, aku berjanji akan menindaklanjuti permintaanmu. Agar ke depannya ada catatan kiprah komunitas dalam menjadi agen transformasi pendidikan. Tolong ingatkan aku untuk hal itu.Â
Pria Berhati Hangat,Â
Sekali lagi aku minta maaf karena belum bisa menjadi seperti dirimu. Aku masih harus banyak belajar darimu. Banyak hal tentang keikhlasan dan kegigihan. Tentangmu adalah keikhlasan setulusnya. Tentangmu adalah kegigihan sesungguhnya. Terlebih di usiamu yang senja semakin membuatku merasa dini di dunia literasi.Â
Namun, percayalah. Aku tidak akan berkecil hati untuk terus berjuang. Aku tidak akan tinggi hati saat nanti tiba waktunya menggantikanmu terbang.Â
Pria Berhati Hangat,Â
Maaf juga untuk belum bisa memberikan dan menjadi yang terbaik bagimu di senjamu. Aku hanya bisa melukis senjamu dengan karya-karyaku. Aku hanya mampu menggoreskan jejak terbaik di ujung senjamu. Jejak terbaik bagi diri dan kemajuan dunia literasi. Belum sepadan denganmu. Bahkan jauh dari jejak-jejak terbaikmu selama 70 tahun. Namun, setidaknya kelak waktu yang akan membawa kita pada sebuah titik bernama temu. Titik temu yang akan hangat dengan perbincangan seputar buku dan aroma-aroma sedap di balik proses penerbitannya. Aku percaya itu.Â
Pria Berhati Hangat,Â
Saat ini aku tidak meminta apa pun darimu. Sebab aku tak mau membebani senjamu dengan permintaan-permintaan. Aku hanya bisa mengirimkan doa dan harapan agar banyak yang mengikuti jejakmu, termasuk aku.Â
Akhir kata, selamat menikmati senja dengan segala keindahan literasi di semestanya. Semua berkatmu, Pria Berhati Hangat, H. Thamrin Dahlan, ayah literasiku.
Salam hormat,Â
Anak literasimu yang belum bisa membahagiakanmu