Mohon tunggu...
Sudi Pratikno
Sudi Pratikno Mohon Tunggu... Penulis - Menghijaulah bersama tanah Indonesia

Kan ku dayung perahu kertasku sampai jauh

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama FEATURED

Meninjau Santri dan Angkringan dari Kacamata Antropologi

9 Agustus 2018   16:59 Diperbarui: 21 Oktober 2022   18:29 4403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://santrial-luqmaniyyah.blogspot.com

Burjo ini ada agennya yang mereka ini berjaringan tersebar di sudut-sudut kota Jogja. Rata-rata yang menjaga burjo ini adalah orang sunda, berbeda dengan angkringan yang pemiliknya perorangan dan daerah asalnya berbeda-beda. 

Bagi santri, makan di burjo terasa status sosialnya meningkat karena barangkali lebih berkelas dan lebih banyak menu makannya.

Artinya kalau dari sisi strata sosial, santri yang sering ke burjo dengan santri yang sering ke angkringan memiliki kebiasaan dan selera yang berbeda, begitupun strata sosialnya.

Burjo kalau di Jawa Timur itu adalah orang jualan bubur kacang ijo, atau jualan jenang ketan, namun kalau di Jogja ini burjo kebanykan malah jualan gorengan dan macam-macam menu lainnya. 

Maklum lah berbeda tempat berbeda budaya, berbeda pula apa yang ada di dalamnya. Sehingga jangan kaget bagi Anda yang pernah mondok di Jawa Timur kemudian mondok lagi di Jogja atau yang aslinya dari Jawa Timur lalu memutuskan untuk mondok di Jogja pasti menemui budaya dan kondisi sosial yang berbeda. 

Penyesuaian terhadap tempat dimana Anda tinggal merupakan bagian dari kecerdasan emosional (emotional quotient) seseorang dalam menempatkan dirinya pada agen sosial seperti Pesantren.

Keempat, setelah dipikir-pikir dengan berbagai pertimbangan yang rasional, di daerah Krapyak ini selayaknya atau bahkan harus ada pusat studi budaya islam (center of islamic studies), atau terlebih lagi diagendakan untuk pembangunan museum tentang Islam Nusantara. 

Hal tersebut bukan tanpa alasan, karena begitu kayanya di Krapyak ini akan nilai budaya, kebiasaan sosial, serta ilmu-ilmu agama yang dapat dipelajari terutama dari Mbah Kyai Haji M. Moenawwir dan Mbah Kyai Haji Ali Maksum yang begitu populer di Indonesia dan dunia. Fenomena seperti kebiasaan ngangkring  perlu dijadikan objek edukasi bagi para pendatang. 

Field research dan need analysis perlu dilakukan oleh Dinas Sosial dan Dinas Pariwisata Kabupaten Bantul. Perspektif bahwa Jogja adalah kota wisata sedikit demi sedikit dapat digeser bahwa Jogja tidak hanya kota wisata dan kota pelajar yang menonjol, akan tetapi juga kota santri.

Coba kita tengok di Malaysia, di daerah Putrajaya ada masjid Agung Putrajaya yang dijadikan sebagai tempat wisata selain menjadi tempat ibadah. 

Para turis diberikan semacam sarung jika ingin memasuki masjid untuk area berfoto. Artinya pesantren, masjid, dan santri itu juga dapat dijadikan sebagai objek budaya untuk belajar, untuk menambah ilmu, atau bahkan bertukar pikiran, terutama bagi pendatang yang belum pernah berkunjung ke Jogja. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun