Suasananya semakin rame meskipun malam itu belum terlalu larut. Bergantian mereka berdatangan sembari menyeret kursi yang tersedia untuk didudukinya. Mereka datang berpasangan, berkelompok, serta ada juga yang sendirian atau menjomblo tetapi bisa dipastikan yang datang itu dengan tujuan yang sama, yaitu untuk menikmati kopi pancong.Â
Sesekali kutatapkan wajah cemasku ke langit tinggi memastikan bintang--bintang masih tetap setia berkedip menampakkan dirinya di celah lampu kota yang bertaburan.
"Ah, bintang masih ada" suara dalam fikiranku.Â
Kupastikan bahwa malam ini tak turun hujan. Meski cemas terkadang menghantui perasaanku juga. Maklum dari sore tadi cuacanya mendung disertai panas dan angin sedikit kencang.
"Percayalah, mendung tak selamanya berarti akan turun hujan". Â
Kuyakinkan perasaanku. Aku bersama Bung Herman seperti mereka yang datang, juga memesan kopi pancong untuk kunikmati dalam mengisi malam itu.
Ngopi bareng bersama teman di suatu tempat tertentu memang merupakan budaya yang sudah lama ada, entah sejak kapan?Â
Aku tak tau secara pasti. Yang jelas aku sudah mewarisi budaya ini secara turun temurun.
Memang banyak manfaat dan nilai kemanusiaan yang terkandung di dalamnya. Diantara manfaatnya adalah ketika ngopi bersama teman akan ada gagasan kreatif yang bermunculan yang bisa dikembangkan sebagai karya untuk mengisi lembaran kehidupan di dunia ini. Di sini akan dirasakan nilai--nilai (value) yang terkandung di dalamnya.
Dengan ngopi bareng bisa mengajarkan empati dan kebersamaan, senasib sepenanggungan, serta meningkatkan kompetensi kesalehan sosial. Ngopi tidak memerlukan modal yang besar, karena harga secawan kopi memang murah atau terjangkau bagi masyarakat kelas menengah hingga ke bawah. Asal punya mau serta mampu menikmati rasa dan aroma kopi, jadilah ia seorang penikmat kopi.
Tiap daerah, memiliki kekhasan kopi tersendiri. Jenis kopi yang terkenal di Indonesia, yaitu jenis kopi Arabika, Robusta, Liberika, Excelsa, dan Luwak atau mungkin masih ada jenis yang lain lagi yang masing--masing memiliki aroma dan rasa yang berbeda.
Â
Kedai kopi pancong di seputaran terminal Siantan memang rame, banyak peminatnya, terutama kaum proletar yang berdomisili di sini yaitu, mereka yang berada pada level golongan kelas menengah ke bawah. Mereka yang bekerja pada bidang swasta, mulai dari pedagang kecil, buruh di perusahaan kayu yang banyak tersebar di pinggiran Kota Pontianak, tentunya aku dan anak--anak muda yang belum berpenghasilan tetap dapat dikategorikan kelompok ini.
Kopi pancong merupakan kopi yang khas di Pontianak kota Khatulistiwa itu. Pancong terambil dari kata pancung yang berarti penggalan atau pemangkasan dari porsi penuh. Jadi kopi pancong berarti kopi setengah gelas, yach ... bisa dibilang kopi minimalis.
Meskipun kopi pancong penyajiannya melalui porsi kecil atau takaran setengah gelas dan harganya lebih murah dari porsi normalnya, namun aroma kopinya lebih terasa.
***
Setelah kopi pancong dihidangkan pemilik kedai, semangatku mulai menggeliat. Lupa mendung, hilang cemas, sirna oleh semerbak aroma kopi yang khas itu.
"Ayo minum Bung" kataku.Â
Bung Herman, memandangku sambil tersenyum.
Setelah menyeruput kopi, tiba--tiba kudengar "Rokoknya mainkan Bung"! Pinta Bung Herman kepadaku disertai dengan tawa yang khas menunjukkan keceriahannya.
Aku pun mengeluarkan bungkusan rokok yang tinggal berapa batang di dalamnya, kemudian kusulut api ujungnya dan perlahan kuhisap begitu fantastik.
***
Tersulut ingatanku akan kisah tadi siang akan ulah kecerdasan anak--anak didikku di sekolah yang tak tersalurkan. Ulahnya bikin gemes, bikin senyum, dan bikin jengkel juga.
Ah, namanya masih anak--anak seusia sekolah es--em--pe. Mereka maunya bermain, senang bergurau, suka usil, pendek kata mereka tak punya rasa susah dan gelisah.
Tiba--tiba ingatanku terhenti ketika Bung Herman perlahan memulai pembicaraannya: "Untuk mengajarkan Nilai--Nilai Agama itu tak perlu banyak, meskipun sedikit yang penting mereka bisa menangkap api yang terkadung di dalamnya, mampu memahaminya, dan bisa menangkap spirit atau semangat pesannya untuk dijadikan prilaku dalam kesehariannya".
Layaknya seorang pakar sedang berfilsafat, kami terlibat diskusi secara serius, bergantian menyampaikan pandapat dengan diikuti logika untuk mendukung argumentasinya masing--masing. Terkadang kami berdua bersefaham, terkadang berseberangan.
Tiada terasa, diskusi kami melebar ke ranah sosial dan politik, peradaban, melebar ke ranah macam--macamlah, tak terkecuali nama seorang dara yang sempat mengganggu konsentrasi kami pun tak luput jadi bagian dari pembahasan.
***
Jika kukenang saat itu, aku akan tersenyum dalam kesendirian (gelik ati kata orang Pontianak).
Betapa tidak? Pesan kopi cuman segelas, itupun terpancung tapi ngobrolnya bisa ber jam--jam. Untung saja gak diusir pemilik kedainya.
Yach ... Pontianak kota kenangan, pingin ke sana lagi sambil menikamti kopi pancong yang khas itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H