Mohon tunggu...
Suci Yaliyani Arsyillah
Suci Yaliyani Arsyillah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Alumni Universitas Negeri Semarang

Penyuka Drama Korea, China, Thailand, Indonesia dan drama rumah tangga. Hobinya berkhayal dan sering overthingking sama masa depan.

Selanjutnya

Tutup

KKN Pilihan

Jangan Suka Sama Dia!

25 Juni 2024   12:33 Diperbarui: 25 Juni 2024   12:45 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Gimana? Bagus pemandangannya?"

Shania mengangguk, senyumnya tidak luntur sedikit pun. Pemandangan ini akan menjadi salah satu sunrise terindah yang pernah dia lihat.

Shania menggosokkan dua telapak tangannya. Kemudian merapatkan kembali cardigan rajut yang dia pakai. Kabut tipis membuat suhu di sekitar mereka terasa dingin meskipun sinar merah kekuningan sudah mengintip dari balik gunung di depan mereka.

"Besok mau lihat sunrise lagi? Atau ... sunset?"

Pertanyaan itu membuat bibir Shania semakin melengkung. Kepalanya menoleh seketika, menatap lelaki di sebelahnya dengan penuh kegembiraan. Sunset dan sunrise adalah fenomena alam yang paling dicintainya.

"Di sini lagi?" tanya Shania memastikan.

Lelaki berkulit sawo matang itu mengangguk. "Besok aku tunggu di sini jam 5 sore ya?"

Shania mengangguk lagi, kali ini lebih antusias dari sebelumnya. Dia sangat setuju dengan tawaran ini. Besok, matanya akan kembali dimanjakan oleh eloknya mentari di sore hari.

***

Intan mengajak Shania ke warung Mbok Iyem malam harinya. Mereka berniat mengerjakan laporan mingguan yang harus diunggah besok. Lokasi KKN mereka berada di desa yang cukup terpencil, jauh dari perkotaan tapi dekat dengan kaki gunung. Jaringan internet di tempat ini lumayan labil.

Warung Mbok Iyem menjadi satu-satunya tempat yang menyediakan WiFi gratis. Mereka cukup memesan minimal segelas es teh untuk menggunakan WiFi sepuasnya. Jadi, tidak heran apabila warung perempuan paruh baya ini menjadi tempat favorit remaja desa, termasuk Shania dan teman-temannya.

"Mbok Iyem, pesan es teh dua ya?" teriak Intan ketika memasuki warung sederhana berdinding kayu dan beralas tanah. Dia mengajak Shania duduk meja yang masih kosong.

"Ndak sekalian pisang gorengnya ta? Masih anget ini," tawar Mbok Iyem dari balik lemari kaca. Perempuan itu sedang sibuk dengan alat perangnya. Tangan lihainya membolak-balik adonan bakwan dalam minyak panas.

"Mendoan saja, Mbok," putus Shania kemudian. Aroma bawang putih, ketumbar, daun bawang dan tempe yang digoreng membuat lidahnya ingin mencicipi menu andalan warung Mbok Iyem.

Setelah memesan minum dan makanan, Shania membuka file laporan yang belum selesai dikerjakan. Jari dan otaknya segera bekerja, targetnya laporan itu harus tuntas malam ini juga.

"Ada Azriel," bisik Intan sambil menyenggol bahu Shania.

Shania segera mengangkat kepala. Azriel berdiri di depan pintu, menatap meja pengunjung yang terisi semua. Pandangan Azriel berhenti pada tempat duduk Shania. Mereka sempat beradu pandang sebentar, sebelum Shania memutus kontak mata dan pura-pura menatap layar laptop.

"Boleh gabung?" tanya Azriel dengan suara baritonnya.

"B-boleh. Silakan duduk saja," jawab Intan dengan cepat. Lelaki itu berterima kasih, kemudian duduk di kursi depan Shania. Aroma khas parfum pria menguar seketika.

Shania terus mengaduh dalam hati. Azriel muncul di waktu yang tidak tepat, membuat fokusnya terpecah. Otaknya menjadi blank sejak lelaki itu duduk di depannya. Dia merasa diawasi dan selalu gatal untuk mengawasi.

"Shan." Suara merdu Azriel membuat jantungnya meletup. Getarannya sampai ke perut, membuat kupu-kupunya terbang bebas.

"I-iya?"

Shania terus merutuki dirinya. Kenapa dia jadi segugup ini?

"Besok ada rapat sama perangkat desa. Gue tunggu di ruang tamu jam 1 siang."

Shania ingat. Besok jadwal rapat membahas rencana perbaikan saluran irigasi desa. Meskipun dekat dengan sungai, beberapa sawah tidak mendapat aliran air. Mahasiswa KKN memanfaatkan masalah tersebut menjadi program kerja kelompok. Rapat tersebut dihadiri oleh perangkat desa, perwakilan kelompok tani dan perwakilan mahasiswa.

Shania menggangguk sambil mengacungkan jempol. Bibirnya terangkat sedikit, membentuk bulan sabit yang tidak sempurna. Dari sudut matanya, Shania bisa melihat senyum tipis Intan yang penuh arti. Gadis itu pasti akan meledeknya habis-habisan setelah ini.

***

"Kamu duluan aja. Aku mampir ke rumah Pak Lurah dulu." Akhirnya Azriel menyudahi puasa bicaranya. Mereka berdua saling diam sepanjang perjalanan menuju posko KKN. Koordinator KKN ini memang terkenal irit bicara. Suaranya hanya keluar di waktu tertentu saja.

Shania tak menjawab, balasannya hanya berupa anggukan kecil yang belum tentu dilihat oleh Azriel. Gadis itu segera membuka pagar rumah kayu yang sudah dua minggu mereka huni.

Rumah ini adalah milik Mbok Iyem. Perempuan tua itu mengizinkan mahasiswa KKN tinggal secara gratis di rumahnya. Mbok Iyem yang tinggal sendirian memutuskan untuk tinggal di rumah adiknya sementara waktu.

 Sebelum menginjak lantai kayu Shania melepas alas kakinya. Kemudian melangkah masuk dan bergabung dengan empat rekan KKN-nya yang lain. Intan, Rara, Puji dan Karina duduk sambil mengobrol santai.

Shania duduk di samping Intan. Obrolan mereka berempat terhenti sebentar. Rara melempar plastik berisi pisang goreng kepada Shania, mempersilakannya untuk makan selagi hangat.

"Eh, Ra? Terus gimana abis kamu bales chat-nya?" tanya Puji penasaran.

Kali ini semua mata tertuju pada Rara. Telinga mereka dibuka lebar-lebar, siap menerima lanjutan gosip yang sempat tertunda oleh kedatangan Shania.

"Dia ... sempet ngajak ketemu berdua."

"Hah? Serius? Mau ngapain?" Intan berdecak sambil menggelengan kepala, terlihat syok berat.

Rara menggeleng, tak tahu jawabannya. Puji, Intan dan Karina mengelus dada berulang kali. Wajah mereka berempat terlihat kecewa, kaget dan tidak menyangka. Shania yang tidak tahu apapun menatap datar mereka berempat. Sepertinya dia ketinggalan banyak informasi selama rapat di balai desa.

"Fano juga pernah chat kamu kan, Shan?" tanya Intan tiba-tiba. Suanya terdengar lebih kecil ketika menyebut nama salah satu rekan KKN mereka. Fano, si anak olahraga yang polos nan kalem.

Intan memang tahu kalau Fano pernah mengajaknya bertemu. Shania terpancing untuk bercerita gara-gara cerita kedekatan Intan dengan Zuhri, anak ilmu politik yang sangat kritis. Dia juga paling alim di antara mereka berdelapan. Hal itu sempat membuat Shania berpikir, kenapa bukan Zuhri yang menjadi koordinator KKN mereka?

"I-iya," jawab Shania gelagapan. "Kenapa?"

"Dia tuh buaya! Buaya rawa yang sok kegantengan!" jawab Karina ketus. Gadis itu sangat kesal dengan Fano. "Masa dia deketin semua cewek di grub KKN kita," tambahnya lagi semakin sebal.

***

Matahari hampir tenggelam sepenuhnya. Warna merahnya tinggal tersisa sedikit. Namun orang yang mengajaknya kemari belum juga datang, tanpa konfirmasi apapun.

Shania menghela napas, kecewa berat dengan kondisi ini. Sudah hampir satu jam dia duduk sendiri di gubuk kecil pinggir sawah, menunggu Azriel datang menemuinya. Kemarin mereka berjanji untuk bertemu di sini, melihat matahari turun ke peraduan.

Sudah puluhan chat yang Shania kirimkan. Belasan panggilan juga sudah tersambung ke nomor Azriel. Akan tetapi, lelaki itu tak menjawabnya sama sekali. Chat-nya masih centang dua dan panggilannya diabaikan begitu saja.

***

Tok ... tok ... tok ...

Seseorang mengetuk pintu kamar, membuat Shania membuka mata lagi.

"Shania, keluar bentar. Gue mau ngomong."

Deg.

Suara Azriel terdengar sangat jelas. Lelaki itu meminta Shania menemuinya. Dia memaksakan diri untuk keluar kamar. Padahal matanya sudah ngantuk berat. Kegiatan hari ini membuatnya ingin segera berlayar di alam mimpi.

Shania tidak menemukan siapa pun di ruang tengah maupun ruang tamu. Matanya tertuju pada pintu depan yang terbuka lebar. Azriel pasti menunggunya di luar.

"Ada apa, Zriel?" tanya Shania pada sosok lelaki berkacamata yang duduk di kursi teras.

Gadis itu menatapnya dengan pandangan penuh kemarahan, merasa sangat kesal. Alasannya ada dua. Pertama, tidurnya jadi tertunda beberapa saat. Kedua, cowok itu membiarkannya menunggu lama di sawah tanpa memberi konfirmasi apapun.

Azriel menoleh, diikuti sosok lain yang berdiri di sampingnya. Sosok itu tersenyum cerah, berkebalikan dengan Azriel yang terlihat dingin.

"Shania udah datang, tugas gue selesai. Sekarang bicara dan tuntaskan masalah kalian berdua," kata Azriel dingin. Kemudian masuk ke dalam rumah, meninggalkan Shania bersama sosok yang sangat ingin dihindari.

"Aku baru tahu, ternyata kamu marah karena gosip yang disebar anak-anak ya? Kalau Zuhri enggak cerita, mungkin kesalahpahaman kita akan berlanjut sampai hari kiyamat," ujarnya membuka percakapan.

Shania tak peduli darimana cowok buaya ini mendengar kabar itu. Dia semakin yakin bahwa anak jurusan olahraga tidak dapat dipercaya soal cinta.

"Shan, kamu harus percaya sama aku," pintanya dengan nada memelas.

Shania menepis tangan yang hendak menyentuh pundaknya. Dia tidak suka bersentuhan dengan lawan jenis.

"Aku enggak ada niat mempermainkan cewek-cewek di grub kita. Aku punya alasan kenapa deketin mereka," katanya sambil membetulkan posisi duduk. Tubuh atletisnya semakin mendekati Shania, membuat gadis itu risih dan bergeser beberapa inci.

"Aku dekat sama Rara karena ... dia ketua kelompok kita. Terus Karina? Ya ... karena satu kota dengan aku. Jadi, lebih mudah tukar info setelah lulus nanti. Kalau Puji ... karena dia sie perlengkapan, satu bidang dengan aku." jelasnya cukup panjang.

Shania masih bungkam. Otaknya sudah terlanjur menilai jelek tingkah lelaki di sampingnya. Lihat saja! Dia mendekati teman-temannya karena ada niat lain yang menguntungkan dirinya sendiri.

Lelaki itu melajutkan kalimatnya lagi karena tidak ada respon dari Shania. "Kalau kamu? Kamu beda, Shan. Dari awal kamu paling beda. Makanya aku mau deketin kamu."

Hati kecil Shania cukup tersentil mendengar kata 'beda' yang diulang berkali-kali.

"Beda gimana?" tanyanya penasaran.

Lelaki itu tersenyum cerah. Matanya menatap dalam wajah Shania yang bersinar di bawah cahaya lampu. Gadis itu membuang muka, matanya menatap gugusan bintang yang sedang menemani bulan.

"Ya, beda. Aku deketin kamu karena suka, bukan karena maksud lain."

***

Azriel menjadil lebih dingin dari biasanya. Selama rapat tidak mengajaknya bicara sama sekali. Bahkan pergi ke balai desa lebih dulu, tidak menunggunya.

Cowok berkacamata ini memang terkenal paling diam. Shania tahu itu. Namun kemarin Azriel tidak sedingin ini. Meski jarang bicara setidaknya dia tidak akan membiarkan Shania berangkat sendiri.

"Kenapa enggak bilang kalau mau berangkat sendiri?" tanya Shania dengan nada cukup ketus. Dia masih kesal karena sudah menunggu hampir satu jam, tapi ternyata anak ini sudah berangkat lebih dulu, sengaja menghindarinya.

Azriel tak menjawab, hanya melirik Shania sekilas dan memberi kode untuk menyimak informasi yang disampaikan perwakilan omah tani.

Shania semakin kesal, tapi tidak bisa berkomentar apapun. Seharusnya dia yang marah kan? Seharusnya dia yang mendiamkan Azriel? Laki-laki itu yang tidak menetapi janji, membuatnya menunggu

***

Lagi-lagi Azriel meninggalkannya. Tiba-tiba duduk di jok belakang motor Surya, salah satu pengurus karang taruna desa. Shania dibiarkan berjalan sendiri di bawah terik matahari siang.

Shania tidak bisa mencegah atau memaksa Azriel untuk menemaninya berjalan. Lagipula kalau mereka jalan bersama pun hanya saling diam. Azriel jarang mengajaknya bicara. Shania juga sama, tidak pandai mempertahankan percakapan.

"Shania, kamu kok jalan sendiri? Azriel mana?" Seorang pengendara motor berhenti di sebelahnya. Ternyata Fano.

Shania tidak menjawab, hanya memandang sekilas kemudian melanjutkan perjalanan. Dia harus menjaga jarak.

"Shania. Shan, tunggu bentar." Fano berusaha menghalangi langkah kakinya, membuat Shania semakin kesal.

Gadis itu menatap Fano. "Mau apa lagi? Kamu kan marah sama aku."

Fano marah dan sempat memblokir nomor Shania. Cowok itu tidak terima karena cintanya ditolak. Dia merasa rugi karena sudah mengeluarkan uang untuk mentraktir Shania. Dia menganggap bahwa Shania tidak menghargai usaha dan waktunya.

Sejak awal kedekatan mereka Shania tidak pernah menganggap hubungan mereka serius. Shania hanya menganggap mereka sebagai teman. Ada nama lain yang saat ini sedang mencuri perhatiannya.

"Maaf, kemarin aku kelewatan banget. Kamu pasti ilfeel banget sama aku kan?"

"Enggak. Aku memang enggak mau sama kamu. Aku merasa kita tidak akan cocok menjadi pasangan."

Fano diam, menatap Shania penuh kepasrahan. Gadis di depannya memang sulit untuk ditaklukan.

"Kamu suka sama siapa?"

Deg

Jantung Shania berdetak lebih cepat. Pertanyaan ini sulit untuk dijawab. Lebih sulit daripada menjawab pertanyaan 'kamu suka aku?'.

"Aku saranin, jangan suka sama Azriel."

***

Butuh waktu 30 menit untuk sampai di penginapan. Dari jarak sekitar 20 meter, Shania bisa melihat Azriel duduk di teras rumah. Dia sedang berbincang, entah dengan siapa.

Shania memberanikan diri untuk mendekat. Semakin dekat, sosok itu semakin jelas. Seorang gadis berperawakan tinggi, kulit putih, mata bulat dengan senyum memikat. Mereka berdua saling melempar tawa, terasa hangat dan tanpa kecanggungan. Sifat kaku Azriel luruh begitu saja. Dia menjadi sosok yang sangat berbeda dari biasanya.

"Hai, Mbak." Gadis itu melambai ke arahnya. Senyum mautnya sungguh sangat memikat. Shania membalasnya dengan senyum kaku. Matanya sedikit melirik Azriel yang terlihat enggan bertatapan dengannya.

"Dari mana, Mbak?"

"Rapat," jawab Shania singkat.

Gadis itu mengangguk kecil, kemudian menoleh pada Azriel di sampingnya. "Oh, ini temen yang kamu ceritain tadi ya, Beb?"

Beb? 

Rasanya jantung Shania berhenti saat itu juga.

Shania pamit untuk masuk ke dalam rumah lebih dulu. Dia harus menjernihkan pikirannya. Barangkali tadi salah dengar kan?

"Mama udah nyariin kamu," kata gadis itu lagi dengan nada bicara manja. 

Shania masih bisa mendengar obrolan mereka samar-samar. Bahkan berusaha memelankan langkah kakinya demi menguping pembicaraan mereka.

"Oh ya?" tanya Azriel terdengar antusias.

"Kangen sama calon menantu katanya."

Tawa keduanya pecah setelah mendengar penuturan Si Gadis. Azriel tertawa bahagia, tidak ada kecanggungan, rasa kaku dan sikap dingin yang terpancar. 

Shania merasakan pandangannya kabur. Ada kabut tipis menghalangi penglihatannya. Perlahan, dia merasakan butiran bening menuruni kelopak mata. Tetesannya semakin sering hingga membuat pipinya basah.

***

Semarang, 24 Juni 2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten KKN Selengkapnya
Lihat KKN Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun