"Pak Kyai, mengapa Allah tak sayang sama Budi? Pertama Allah mengambil ayah, yang Budi sayangi. Yang kedua mengapa Allah memberikan cobaan yang begitu berat kepada keluarga Budi. Kadang Budi tak makan, karena sampah yang dikumpulkan ibu tak cukup untuk membeli beras?" pak Kyai terdiam sejenak. Ia memikirkan kata-kata yang pantas untuk keluarkan agar di tengah kemiskinan yang dialami tak lantas membuat Budi lupa kepada sang Khalid.
"Sebenarnya Allah sangat sayang kepada semua makhluknya. Karena sayangnya Allah kepada Budi makanya Budi di uji supaya iman yang Budi miliki bertambah kuat apa nggak? Ntar kalau Budi lulus ujian ini, Allah akan memberikan hadiah yang tak disangka-sangka. Makanya Budi tak boleh berburuk sangka sama Allah. Harusnya Budi bersyukur sudah diberi nikmat. Nikmat itu tidak selalu berupa uang. Nikmat itu bisa berupa kesehatan, bisa menghirup udara sehat dan lain-lain. Coba Budi bayangkan kalau orang kaya tapi sakit. Apa yang dia rasakan? Walaupun banyak uang namun hidupnya tak bahagia karena sakit. Sekarang kamu mulai mengerti, Budi?"
"Makasih pak Kyai. Sekarang Budi mulai paham mengapa Allah menguji kesabaran keluarga Budi? Semoga kelak Budi dapat memetik buah manis dari cobaan ini. Saya pamit dulu ya pak Kyai, takutnya ibu mencari Budi."
"Oh..ya tunggu sebentar dulu. Ini ada selebaran yang Bapak dapatkan dari Irma masjid kampung. Isi selebaran ini adalah perlombaan membaca Alquran. Bapak berharap engkau dapat mengikutinya. Bapak yakin engkau dapat memenangkan lomba ini. Hadiahnya lumayan besar nak. Coba Budi ikut?"
"Apakah Budi sanggup ikut lomba itu pak Kyai, sedangkan Budi merasa kemampuan mengaji Budi masih harus banyak belajar."
"Itulah yang Bapak senang darimu. Engkau tak pernah sombong apa yang engkau dapat sehingga engkau terus belajar dari kekuranganmu. Pikirkan baik-baik, tidak hari ini, bisa-bisa besok engkau berubah pikiran dan berkenan mengikuti lomba tersebut. Lomba tersebut akan diadakan dua minggu lagi."
Budi hanya mengangguk dan mencium tangan pak kyai. Sesampai di rumah didapatinya ibunya yang sibuk memasak malam. Ia membantu ibunya mencuci piring. Meskipun pekerjaan tak seberapa Budi tetap lakukan. Hal itulah yang membuat ibunya bangga. Ia merasa kasihan sama ibunya. Ia memandang wajah cantik ibunya. Ibunya masih muda  karena nasib yang membuatnya harus bekerja keras.
Budi bersyukur masih diberikan ibu yang sehat yang bisa menyiapkan segala keperluannya. Keterbatasan ekonomi tidak lantas melupakan sang Khalik justru membuatnya semakin dekat dengan pencipta karena masih diberi nikmat yang tiada dapat dihitung. Hari-hari yang Budi lakukan sebagai pelajar dan sekaligus sebagai pemulung sampah tak pernah membuatnya malu justru ia sangat berterima kasih kepada Allah masih diberi kesempatan untuk berbakti kepada ibunya dan menuntut ilmu.
Pagi yang cerah, suara burung memanggil handil taulan yang masih asyik dengan indahnya mimpi fatamorgana. Sejak Subuh tidak dilihatnya ibunya sibuk di dapur, Budi juga tak mau mengganggu. Budi bergegas  menggantikan posisi ibunya untuk memasak meskipun hasil masakannya belum maksimal. Pengalaman pertama Budi lakukan. Dilihatnya ibunya di kamar, kemudian dirabanya keningnya. Ia kaget seketika ternyata ibunya sakit. Budi bingung mau berbuat apa, mau beli obat tidak punya uang sedangkan uang yang didapat kemarin sudah habis untuk membeli beras dan lauk. Oh Tuhan apa yang harus Budi lakukan?
Budi mengambilkan nasi dan ikan asin yang telah dibuatnya Subuh. Disuapkan nasi tersebut ke ibunya. Tiba-tiba ibunya muntah yang isinya terkeluar darah. Panik, mau berbuat apa. Di tengah kegelisahan Budi pergi ke sekolah. Pikirannya tak karauan hingga tak sadar Budi berjalan di tengah jalan. Hampir saja Budi tertabrak sepeda motor, untung saja sepeda motor tersebut tidak laju sehingga tidak menimbulkan luka. Sesampai di sekolah Budi tak dapat konsentrasi belajar sehingga Budi mendapat teguran dari Bu Ida Wali kelasnya. Hari ini Budi tak dapat belajar dengan baik.
Sesampainya di rumah, mulut ibunya penuh dengan darah. Ia bergegas keluar untuk meminta bantuan. Untung suaranya terdengar tetangga sehingga beberapa orang datang menghampiri dan membawa ibu Budi ke rumah sakit. Setelah diperiksa ternyata ibu Budi menderita menderita kanker dan harus dioperasi. Budi tak mau kehilangan ibunya seperti ayahnya yang telah pergi dahulu meninggalkan dirinya.