Mohon tunggu...
Suciati Lia
Suciati Lia Mohon Tunggu... Guru - Guru

Belajar mengungkapkan sebuah kata agar bermanfaat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Buah Manis dari Kesabaran

28 Desember 2023   05:05 Diperbarui: 28 Desember 2023   05:09 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sesampai di sekolah Budi menuju ruang kelas 1. Semua mata tertuju kepadanya. Pakaian Budi kenakan agak kekuningan, tas, dan sepatu  yang ia pakai sudah hampir sobek. Sorakan dan teriakan yang membuatnya malu tak dihiraukan. Budi ingat pesan ibunya supaya tidak meladeni tingkah anak-anak yang ingin mengoloknya. Budi hanya diam sambil tersenyum ramah menuju bangku yang tinggal satu tersisa di belakang. Semua teman-teman barunya tak ada yang mau duduk bersamanya. Mereka malu punya teman yang pakaiannya kayak gembel.

Bel tanda masuk berbunyi. Ibu Ida wali kelas 1 memasuki kelas dan menyapa satu persatu anak didiknya. Di saat ia menyapa Budi, Ibu Ida terdiam. Dilihatnya pakaian yang dikenakan Budi jauh dari kata layak. Ia pun meminta Budi ntuk menemuinya di kantor. Rasa penasaran Ibu Ida ingin mengetahui lebih dalam apa yang sebenarnya dialami oleh anak didiknya? Perkenalan telah selesai, semua anak maju ke depan untuk memperkenalkan diri. Pelajaran selanjutnya yaitu PKN. Ibu guru menjelaskan pentingnya kita sebagai umat manusia saling menghormati sesama supaya tercipta kerukunan antarhidup sesama. Supaya anak didiknya dapat menghormati temannya yang kurang mampu dan tidak mengejeknya serta tidak membedakan status sosialnya.

Bel istirahat berbunyi tanda istirahat. Bu Ida menuju ke kantor dengan diiringi oleh Budi di belakangnya. Sesampainya di meja kerjanya. Ibu guru meminta Budi duduk di sebelahnya.

"Masuk sekolah ini, apa Budi tidak dibelikan perlengkapan dan peralatan baru?" Budi hanya menunduk diam. Ia tak mampu berkata. Mau jujur ia tak mau orang mengasihaninya. Kalau tidak dijawab mungkin gurunya akan marah.

"Maaf Bu. Mungkin saya membuat ibu guru malu mempunyai murid seperti saya. Dari tadi temen-temen mengejek saya karena melihat apa yang saya pakai. Budi bisa bersekolah saja sudah bersyukur. Budi pengen bu, jadi orang pintar yang nantinya bisa membahagiakan ibu Budi."  Mendengar ucapan anak seusia Budi rasanya Ibu Ida tak percaya. Anak kecil yang sudah mulai berpikir layaknya dewasa. Rasa penasaran terus mengelayuti pikirannya.

"Budi tinggal di mana, kerja orang tua Budi apa?"

"Budi tinggal di daerah dekat pembuangan sampah. Budi dan Ibu bekerja mengumpulkan sampah untuk dijual guna memenuhi kebutuhan hidup, Bu. Pakaian maupun alat sekolah Budi dapatkan dari orang lain karena Ibu tak sanggup untuk membeli. Apa Budi tidak pantas sekolah di sini karena membuat Ibu Guru malu punya murid seperti Budi."

Derai air mata Ibu Ida tak tertahan. Ia memeluk anak didiknya dan memberi semangat pentingnya mengenyam pendidikan. Beliau sangat bangga di tengah keterbatasannya ia tetap semangat untuk belajar meskipun semua teman-temannya mengejeknya.

Pulang sekolah tak lantas membuat Budi bermain dengan teman sebayanya. Ia lepaskan pakaian dan meletakan tas pada dinding rumah. Di lihatnya ibunya belum pulang mengumpulkan sampah. Budi mulai membuka tempat nasi. Nasi yang dimasak ibunya tinggal sedikit. Budi sisakan sedikit untuk ibunya. Rasanya tak tega ia harus menghabiskan nasi padahal ibunya sudah susah payah bekerja keras. Seusai makan, Budi pergi mengumpulkan sampah di setiap tempat sampah. Harapan setiap langkah ia dapat mengumpulkan banyak sampah hari ini. Ia bersyukur sampai adzan Asar ia dapat mengumpulkan satu karung sampah yang ditarik dengan gerobaknya.

Budi pulang dengan perasaan senang. Uang yang didapat dari mengumpulkan sampah ia belikan beras, minyak goreng, dan ikan asing. Agar nanti malam ia dapat makan enak dengan ibunya. Setelah sampai di rumah ia mandi dan bergegas pergi mengaji yang tempatnya tak jauh dari rumahnya. Meskipun usianya masih 7 tahun ia sudah hatam Al quran. Hal itulah yang membuat bangga pak kyai yang mengajari Budi mengaji. Meskipun anaknya tak mampu tak membuatnya lupa untuk belajar mengaji dan sholat. Rasa bangga pak kyai terhadap anak didiknya. Hal itulah beliau meminta tolong Budi untuk membantu mengajari anak-anak yang masih belajar mengenal huruf Hijaiyah. Pak kyai bersyukur di usianya yang sudah tua, masih ada anak seusia Budi yang akan bisa meneruskan perjuangannya untuk mengajari membaca Al quran.

Seusai belajar mengaji Budi selalu bertanya tentang makna hidup yang terkadang membuat pak Kyai sulit untuk menjelaskan. Karena bahasa yang disampaikan tentunya disesuaikan dengan pemahaman Budi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun