Cerita Anak
Namanya Budi. Budi tinggal di daerah kumuh berdekatan dengan tempat pembuangan sampah. Aroma tak sedap sepertinya sudah terbiasa ia cium. Ayahnya sejak lama meninggal dunia karena penyakit TBC yang dideritanya. Tinggallah ia berdua dengan ibunya.Â
Setiap hari Budi selalu membantu ibunya mengumpulkan sampah yang masih bisa dijual sebagai bekal untuk menyambung hidup. Masa kecil bahagia yang harusnya Budi rasakan, kini Budi kubur dalam-dalam agar derita ibunya sedikit terkurang.Â
Melihat temannya bermain dan bercanda, membuatnya iri untuk menikmati. Namun apabila melihat kehidupannya, Budi buang jauh-jauh harapan yang tinggal impian yang tak mungkin Budi gapai.
Hari ini Budi genap berusia 7 tahun. Saatnya mulai masuk sekolah dasar. Ibunya sedih karena tak dapat membelikan pakaian maupun peralatan sekolah yang baru. Rasa sedih itu ia sembunyikan agar tak tampak di depan anaknya.Â
Syukur pada waktu itu ia menemukan sepatu bekas yang masih layak pakai di kompleks perumahan orang elit. Mungkin menurut mereka yang kaya itu, sepatu bekas itu menjadi barang rongsokan yang tak ternilai, lain halnya dengan ibunya Budi. Sepatu itu akan memberikan manfaat untuk anaknya yang sebentar lagi anaknya akan sekolah.
"Ibu, hari ini Budi tak dapat membantu Ibu mengumpulkan sampah. Hari ini Budi mau sekolah. Doakan Budi semoga kelak dapat membahagiakan Ibu." Mendengar ucapan anaknya, sang ibu menangis tersedu-sedu, ada perasaan haru dan bangga menyelimuti kalbu. Rasa sedih tak bisa memberi kebahagiaan kepada anak satu-satunya.
"Ya, Nak. Ibu doakan semoga kelak nanti kamu dapat meraih kesuksesan. Ingat jika teman-temanmu mengejek tentang kekuarangmu, engkau tidak boleh marah. Biarkan saja. Kalau engkau ladeni tidak akan ada untungnya. Kau tidak malu memakai sepatu bekas ini ke sekolah?"
"Nggak Bu. Bisa memakai sepatu bekas ini saja Budi dapat bersekolah. Pesan Ibu akan selalu Budi ingat. Pulang sekolah Budi akan membantu ibu. Mudahan rezeki yang kita dapatkan hari ini bisa cukup untuk makan kita ya Bu."
"Ya, Nak. Mudahan Allah senantiasa mencukupkan rezeki untuk kita. Ayo berangkat, ntar terlambat."
Budi bersalaman dengan ibunya. Ia meninggalkan rumah seperti layaknya gubuk sederhana. Langkahnya penuh semangat, seperti cahaya matahari yang tak pernah berhenti menyinari bumi. Ia percaya suatu saat nanti akan menjadi orang yang sukses. Langkahnya dipercepat agar tidak terlambat masuk sekolah. Budi tak ingin memberi kesan buruk di hari pertama masuk SD.