Aku berpamitan kepada pak Irwan. Pak Irwan memberiku beberapa uang 100-an namun aku menolaknya. Rasanya tak pantas aku menerimanya sedangkan aku tak melakukan sesuatu yang layak mendapatkan uang tersebut.
Sesampai di rumah aku langsung sholat Asar dan menghampiri ibu Murni yang sedang asyik mengupas pisang yang akan dijadikan kripik pisang. Beliau menanyakan keterlambatanku. Aku menceritakan prihal keterlambatanku. Bukannya beliau bangga apa yang aku lakukan malah beliau mengatakan kata-kata yang tak pantas diucapkan yang membuat hati tersayat.
"Kamu itu orang miskin. Hari gini kamu masih bicara jujur. Coba kamu lihat, keluarga ini sangat membutuhkn banyak uang. Coba kamu ambil uang itu pasti setidaknya dapat meringankan beban ibu. Apalagi kamu tahu berapa banyak uang yang ibu keluarkan untuk makan kamu. Apa kamu nggak pikir itu?"
Kata-kata sederhana namun cukup menusuk sampai ke relung hati. aku hanya menghela nafas panjang. Omongan itu aku jadikan sebagai nasihat saja supaya hatiku tak semakin terluka oleh omongan ibu Murni. Ibu yang selama ini telah menampung aku selama setahun belakangan ini. Aku hanya menelan pahit setiap kata yang terlontar dari mulut ibu Murni. Semua kata-kata yang pedas tak membuatku langsung sakit hati. Aku sadar siapa diriku sebenarnya sehingga dengan berkaca diri aku dapat mengobati rasa sakit yang selama ini aku pendam.
Aku hanya bisa meminta maaf atas apa yang aku lakukan yang tak sepantasnya aku minta maaf karena emang aku tak melakukan kesalahan apa pun. Aku hanya berusaha membuat hati ibu tidak bertambah marah oleh keputusanku. Keputusan yang kuanggap baik akan membawa kebaikanku kelak.
Jeda waktu yang diberikan oleh sekolah hanya tersisa hari ini. Aku berusaha tetap tegar di tengah hempasan masalah yang berkecamuk dipikiranku. Aku hanya berlapang dada menerima keputusan pihak sekolah yang akan dikeluarkan oleh pihak sekolah hari ini. Meskipun aku termasuk anak yang memiliki prestasi yang patut dibanggakan tak bisa mengubah keputusan sekolah yang akan mengeluarkan aku dari sekolah tersebut. Karena sekolah harus menjalankan peraturan yang adil untuk semua siswa yang menempuh pendidikan di sini.
Bel istirahat berbunyi memanggil siswa untuk melepas lelah setelah menerima pembelajaran oleh guru. Aku yang sedang membaca buku di teras kelas tiba-tiba temanku meminta  untuk menemui bapak kepala sekolah. Perasaan was-was tak karuan. Pikiranku terbawa larut oleh pikiran yang sebentar lagi aku akan tak bisa menikmati sekolah lagi. Aku sudah tak mampu berusaha lagi menyakinkan pihak sekolah untuk memberi kesempatan aku bersekolah lagi. Emang susah hidup kalau tak ada biaya.
Aku melangkah kaki ini dengan berat. Pikiranku menerawang jauh memikirkan nasib yang sebentar lagi kurang bersahabat. Rasanya aku tak mampu mendengar berita buruk yang sebentar lagi akan diputuskan oleh kepala sekolah. Â Â
Aku mengetuk pintu, namun debaran jantungku berdegug kencang. Tubuhku seakan lemas tanpa tenaga. Aku lemah tanpa daya seolah staminaku turun dratis. Aku hanya bisa terunduk menghadapi panggilan kepala sekolah. Kepala sekolah yang menyaksikanku malah senyum penuh tanda Tanya.
"Budi, kamu ini kayak mau mendapat musibah besar saja. Ayo jangan tundukan kepalamu. Bapak harap kamu Budi nggak sedih. Bapak nggak ada maksud mau melukai hatimu."
Aku terkejut mendengar ucapab bapak kepala sekolah. Padahal hari ini adalah keput  san yang harus aku terima dengan lapang dada. Ada apa yang sebenarnya? Rasa penasaran menghinggapi pikiranku.