Mohon tunggu...
Suci Amalia
Suci Amalia Mohon Tunggu... Relawan - Student of Islamic Studies Faculty UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

I'm Learner

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Seratus Hari, Guru T'lah Kembali ke Pangkuan Ilahi

15 Februari 2021   23:40 Diperbarui: 16 Februari 2021   00:01 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua Bulan Sebelum November

Pembuatan bahs -sebutan makalah berbahasa Arab- sudah menjadi ritual sejak dahulu bagi kelas tiga Madrasah Aliyah Program Keagamaan Al-Hikmah 02. Bahs ini menjadi syarat pengambilan ijazah. Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok yang terdiri dari dua atau tiga orang. Setiap kelompok dibimbing salah seorang pembina -- mungkin ibaratnya dosen pembimbing kalau diperkuliahan.

Kaget bukan main, tertulis di selembaran kertas yang ditempel di tembok kelas nama Suci Amalia dan Ayuni dalam sebuah kolom dengan pembimbing K.H. Mukhlas Hasyim, M.A., kepala madrasah. Pengumuman ini membuatku agak takut. Rasanya, untuk menemui beliau saja tidak sanggup karena malu akan minimnya pengetahuan. Takut juga kalau-kalau lidah ini belibet ketika berbicara dengan beliau.

Namun, saya akui hal ini merupakan rezeki nomplok yang jarang-jarang bisa didapatkan. Bahs bisa dijadikan wasilah untuk lebih dekat lagi dengan beliau. Wasilah agar saya mendapatkan ilmu dari beliau.

Langsung saja. Saya sowan beberapa kali ke Abah sebelum menulis bahs. Sowan pertama, kami menyetorkan dua judul. Kemudian beliau menyarankan untuk mengambil judul ' Min Akhthooil Mushollin'. Judul ini kami ambil karena Abah lumayan sering menyinggung pembahasan ini di pengajian.

Sowan kedua, saya menyerahkan rancangan isi makalah. Setelah beliau setuju dan memberi arahan, saya langsung pergi ke Cirebon sendirian untuk mengerjakan bahs bersama partner saya yang tinggal di sana, Ayuni.

Perjalanan kali ini adalah pengalaman pertama ke Cirebon dengan menggunakan bus, sendirian. Bermodalkan uang Rp. 65.000, kouta whatsapp, dan keberanian, akhirnya saya melihat Ayuni menjemput saya di samping jalan raya. Alhamdulillah, tidak tersesat.

Tiga hari kami menghabiskan waktu bersama di satu kamar sembari menulis bahs. Membuka beberapa referensi, corat-coret sana sini. Untuk masalah kepenulisan, Ayuni memang jagonya, tulisan tangannya sangat rapi. Jadi, kupasrahkan penulisan padanya.

Sowan ketiga, Ayuni yang menemui Abah. Ia ke pondok sembari menunggu berkas-berkas sekolah yang harus disiapkan untuk melanjutkan studinya ke Turki. Hasil sowan ini kami mendapatkan revisian dari Abah. Kata beliau, poin-poinnya harus ditambah, beberapa mufrodat redaksinya harus diubah. Sowan ini terjadi bulan Agustus 2019.

Setelah mendapat revisian, penggarapan bahspun terjeda karena Ayuni sudah pergi ke Turki dan saya pun sudah aktif kuliah di UIN Jakarta. Revisian baru kami rampungkan ketika liburan semester dua, walaupun komunkasi  Indonesia-Turki hanya sebatas chat whatssapp. Bahs ditulis ulang. Kali ini diketik rapi di microsoft word. Siasat kalau-kalau mendapatkan revisi lagi tidak perlu ditulis ulang.

Semuanya siap di awal September. Tanggal 9 september 2020, saya pergi ke pondok untuk menemui Abah. Di Rabu siang, beliau mempunyai jadwal ngasto. Saya kembali ke kamar santri dan berencana menemui beliau di sore hari. Alhamdulllah beliau mengizinkan saya masuk ke ndalem baru beliau dengan ditemani salah seorang adik kelas.

Beliau mempersilahkan kami duduk di atas kursi. Aslinya, saya sedikit merasa tidak enakan. Saya lebih suka di atas karpet sejujurnya. Setelah dengar-dengar dari alumni lain, beliau memang selalu mempersilahkan alumni untuk duduk di sofa.

Saya langsung menyerahkan lembaran bahs ke tangan beliau sekaligus menyodorkan pulpen b'lieve. Beliau mencoret beberapa bagian sambil menjelaskan apa saja yang harus direvisi, sedikit lagi.

Dimulai dari cover, ada tiga coretan di sana.  diubah menjadi saja dan bubuhan kalimat sebelum menuliskan nama.  Di bagian beliau mencoret-coret lumayan banyak, juga mengoreksi tulisan yang masih saltik, menjadi contohnya.

"Kalau sudah, nanti tinggal taruh di meja saya saja di ma'had aly." Begitulah jawaban beliau ketika saya menanyakan apakah saya harus menemui beliau lagi seusai menyelesaikan revisian terakhir atau tidak.

Beliau menutup pertemuan Rabu sore itu. Kamipun pamit dan segera kembali ke kamar. Saya melanjutkan revisian di malam hari. Kemudian mengeprint bahs esok paginya. Jam 10 pagi saya ke kantor beliau dan menaruhnya di atas meja. Selesai. Ijazah bisa diambil setelah mendapat memo khusus dari Ustadz Lutfi, waka kurikulum MAK.

Saya berharap ketika pandemi berakhir bisa menemui beliau lagi tanpa syarat peraturan protokol kesehatan ketat dari pondok, bisa mengaji tafsir Jalalain di Masjid An-Nur ketika liburan semester perkuliahan, dan sowan di ndalem lagi.

Ternyata kabar duka tiba-tiba lewat di grup whatsapp alumni.

"Innalillahi wa inna ilaihi rojiun

Abah  seda 11.40"

Pesan singkat ini lewat di grup MAK CIPUTAT ISTIMEWA, grup alumni MA-Al-Hikmah yang studi di Ciputat pada pukul 11.55 WIB, 14 November 2020.

Tanpa sadar, air mata bercucuran sangat deras dari kedua bola mata. Tak menyangka. Abah yang selalu kami nantikan pertemuan dengannya, meminta nasihat, dan menimba ilmu langsung di majlis pengajian, kini sudah meninggalkan kami di muka bumi.

Rasanya, alam pun ikut menangis akan kepergian guru kami. Langit mendung, disusul dengan kucuran air hujan deras. Beberapa saat pikiran saya hanya bisa mengingat kenangan manis bersama beliau.

Belajar Ushul Fiqh, Fiqh, Tarjamah, sorogan Fathul Mu'in menjadi kenangan manis di moving class setiap minggunya. Sesekali pergi ke kantor beliau untuk meminta nasihat beliau. Sesekali menjemput beliau di kantor Ma'had Aly ketika beliau tiba-tiba keluar di tengah pelajaran.

Kami tak bisa berbuat apa-apa. Sosok guru abadi kini sudah di liang lahat, dimakamkan di sebelah barat Masjid Jami' Al-Hikmah 01. Makam beliau berjejeran dengan Abah kami juga, Abah Ubed.

Kini sudah 100 hari. Hanya menangisi kepergian makhluk Allah terus-menerus sepertinya bukan juga keinginan Abah. Estafet keilmuan ada di pundak para santrinya. Estafet dakwah keislaman, menebarkan kebaikan, membumikan pemahaman agama masih terus berlanjut kepada para penimba ilmu agama.

Semoga kelak kita dipertemukan di surga dengan sosok guru abadi kita, Abah Mukhlas. Aamiin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun