Di sebuah kafe dalam mal yang hits banget, dengan atap tinggi dihiasi ornamen-ornamen Instagrammable dan lampu-lampu terang, suasana cerah dan ramai. Orang-orang mondar-mandir menikmati harinya. Di salah satu meja, ada Juminten, seorang wanita karir yang sibuk menyelesaikan presentasi penting untuk proyek besar di kantornya. Dengan pendidikan manajemen, Juminten dikenal sebagai pribadi yang ulet, tekun, dan kerja keras. Meskipun begitu, dia punya keinginan kuat untuk mencapai sesuatu yang lebih dalam hidupnya.
Hari itu, Juminten berusaha keras menyelesaikan pekerjaannya sambil menyeruput kopinya. Layar laptopnya penuh dengan grafik dan angka, menunjukkan betapa seriusnya dia dalam pekerjaannya. Di tengah kesibukan itu, terlihat jelas bagaimana dia berusaha mencapai apa yang diinginkannya dalam karir dan kehidupan pribadinya.
Sementara itu, Jumarno, seorang pria yang handal dan cekatan, juga ada di kafe yang sama. Dengan sifat riang dan ceria, dia berusaha mencari tempat duduk. Saat dia salah duduk di meja yang sudah dipesan orang lain, dia nggak sengaja mendekati meja Juminten.
"Maaf, ini tempat udah ada yang punya?" tanyanya sambil senyum ramah.
Dalam batinnya, Jumarno berpikir, "Waduh, kok bisa salah duduk gini. Semoga aja dia nggak marah. Tapi dia keliatan ramah, mungkin bisa ngobrol asyik nih."
Juminten mengangguk sambil tersenyum, "Belum, kamu bisa duduk di sini." Percakapan pun dimulai, dari ngobrol santai sampai bahas pekerjaan.
"Nama kamu siapa?" tanya Juminten dengan penasaran.
"Aku Jumarno. Kamu sendiri?"
"Aku Juminten. Senang bertemu denganmu," jawabnya dengan senyum.
Jumarno, dalam hati, merasa lega. "Untunglah, dia ramah. Bisa jadi teman ngobrol yang asyik ini."
Hari demi hari, mereka sering ketemu di kafe yang sama. Tapi, Juminten sering membawa masalah pribadinya ke pekerjaan, membuatnya gampang marah dan bete. Di sisi lain, Jumarno, meski ceria, agak susah bergaul dan sedikit tertutup.
Masalah pribadi sering kali terbawa oleh Juminten ke dalam pekerjaan, membuatnya cepat marah dan menjemukan. Suatu hari, ia berdebat dengan Jumarno karena kesalahan kecil dalam laporan. Namun, Jumarno tetap tenang dan memberi solusi dengan sabar.
"Mungkin kita perlu istirahat sejenak. Kita bisa membahas ini nanti dengan kepala dingin," sarannya.
Malam harinya, mereka bertemu kembali di kafe.
"Kenapa kamu selalu bisa sabar, Jumarno?" tanya Juminten.
"Aku belajar untuk memisahkan masalah pribadi dan pekerjaan. Dengan begitu, kita bisa lebih fokus dan tubuh juga bisa beristirahat dengan baik," jawab Jumarno bijak.
Kata-kata Jumarno terngiang di benak Juminten. Ia mulai belajar untuk memisahkan antara masalah pribadi dan pekerjaan. Setiap kali merasa tertekan, ia akan mengingat saran Jumarno dan mencoba untuk tetap tenang. Lambat laun, perubahan itu terlihat. Juminten menjadi lebih produktif dan suasana hatinya lebih baik.
Setiap kali merasa stres, Juminten mempraktikkan saran Jumarno. Dia mulai bisa memisahkan masalah pribadi dari pekerjaan, sehingga hidupnya terasa lebih ringan. Perubahan itu tidak hanya membuatnya lebih produktif, tetapi juga membuat suasana hatinya lebih baik.
Di akhir pekan, mereka kembali bertemu di kafe yang sama, duduk di meja yang sama, mengenang pertemuan pertama mereka. Matahari mulai terbenam, menciptakan suasana romantis.
"Terima kasih sudah membantuku, Jumarno. Aku belajar banyak dari kamu," kata Juminten sambil menatap matahari yang perlahan menghilang di balik cakrawala.
"Kita belajar dari satu sama lain. Yang penting adalah bagaimana kita mengatur diri dan tidak membiarkan satu aspek kehidupan menghancurkan yang lainnya," jawab Jumarno.
Juminten tersenyum, merasa lebih ringan dan bahagia. "Kamu benar. Sekarang aku bisa melihat semuanya dengan lebih jelas."
Mereka berbincang hingga malam, semakin mengenal satu sama lain. Pertemuan tak sengaja di kafe itu menjadi awal dari hubungan yang lebih serius. Mereka menyadari bahwa dalam era digital yang sibuk ini, penting untuk menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.
"Siapa sangka, ya, pertemuan tak sengaja ini bisa membawa kita sejauh ini?" tanya Juminten sambil tersenyum manis.
"Iya, kadang yang nggak direncanain malah jadi yang terbaik," jawab Jumarno.
Mereka saling berpandangan, merasakan kehangatan yang tumbuh di antara mereka. Pertemuan yang tidak disengaja di kafe itu mengajarkan mereka pentingnya membuka diri dan saling mengerti. Hidup mereka menjadi lebih indah tanpa dihantui rasa cemas dan khawatir, dan benih-benih cinta pun tumbuh dengan subur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H