Kondisi seperti itu tidak pernah dirasakan selama dirinya menjadi kaum intelektual di era Orde Lama yang menurutnya masih berorientasi untuk memajukan masyarakat.
“Menurut saya, ada banyak perbedaan di tingkat penguasa. Pada zaman Bung Karno, pemerintah mendukung setiap kemajuan pengetahuan dan kebudayaan. Pendidikan ditujukan untuk memajukan bangsa. Karenanya, kaum intelektual bebas berpolemik, mengkritik, selama memiliki tujuan untuk memajukan bangsa,” jawab Pak Soes.
Beliau melanjutkan, “Tapi setelah era Bung Karno, terutama pada rezim Soeharto, pendidikan justru dikomersialkan. Hasilnya, iklim intelektualnya berubah. Tak ada yang berani berpolemik, mengkritik. Kalau polemik dalam suasana intelektual, kan harus dijawab secara intelektual juga. Tapi ketika era Orde Baru tidak, malah dibalas dengan represi. Misalnya, kantor Pramoedya Ananta Toer pernah digranat oleh oknum tak dikenal, artinya apa, intelektual dibalas dengan kekerasan,” tutur beliau.
Dahulu, setiap mahasiswa yang belajar di luar negeri, ada perjanjian ketika selesai kuliah harus pulang ke tanah air, berbakti kepada negara dan rakyat minimal 10 tahun.
Tetapi, ketika Bung Karno turun, banyak dari mahasiswa Indonesia di luar negeri yang tidak mau pulang, menurut Pak Soes alasannya adalah karena tidak mau menuruti kemauan penguasa.
Bahkan setiap mahasiswa yang belajar ke luar negeri dan dianggap “merah”, selalu berada dalam pengawasan intelijen. Puncaknya, Pak Soes pernah dipenjara selama 6 tahun sepulang dari Uni Soviet.
Menurut beliau, seharusnya ilmu tetaplah ilmu, jangan sampai ada yang menyangkut pautkan dengan politik. Inilah yang menyebabkan intelektualitas dan kreatifitas bangsa kita menurun, sebab tidak ada kebebasan bagi masyarakat untuk mengetahui segala pengetahuan, termasuk pengetahuan tentang komunis dan sosialis.
Tidak semua ilmu yang dipelajari harus diterapkan, ada yang sampai pada tahap implementasi namun juga banyak yang hanya sampai di kepala saja. Meminjam istilah yang beliau sampaikan, tindakan seperti itu bisa dikatakan sebagai pemberangusan intelektual.
Dari analisis beliau, banyaknya intelektual Indonesia yang tidak mampu mengurai akar masalah bangsanya sendiri bisa jadi karena pelarangan mempelajari Marxisme, baik sebagai filsafat maupun sebagai perangkat analisis ekonomi, politik dan budaya, sehingga kaca mata analisis kita telah pecah satu.
“Berbicara Marxis itu tidak ada habisnya, dulu itu menjadi mata kuliah wajib saya saat mengambil program doktoral, disertasi saya juga membahas tentang Marxis, lebih tepatnya mengkritik, yang sekarang sudah menjadi buku berjudul Republik Jalan Ketiga,” cerita beliau.
Tidak terasa diskusi yang begitu menarik tersebut telah berjalan hampir tiga jam, dan beliau masih saja bersemangat menuturkan pengalaman-pengalaman hidupnya. Sementara cuaca di luar semakin meredup.