Soesilo menyelesaikan pendidikan master di Universitas Patrice Lumumba dan menyabet gelar doktor dari Institut Perekonomian Rakyat Plekhanov di bidang ekonomi dan politik.
Dalam kesempatan tersebut kami mengawali dengan berbincang santai mengenai hobi beliau yang disebut sebagai rektor alias mengorek barang kotor (pemulung), terkadang juga berprofesi sebagai dekan alias dekem ning kandang (beternak).Â
Joke seperti itu membuat suasana menjadi gayeng dengan suara tertawa khasnya masing-masing.Â
Semua tamu yang berkunjung diperlakukan dengan sangat baik dan ramah, jika ada pengunjung yang ingin mencari sumber referensi di perpustakaan, beliau tidak segan-segan untuk membantu.Â
Seringkali mahasiswa mengunjungi perpustakaan Pataba guna menunjang kebutuhan menyelesaikan skripsi, tesis, hingga disertasi.Â
Apabila pengunjung membutuhkan tempat menginap maka disediakan kamar untuk beristirahat. Cerita beliau, kamar tersebut adalah tempat tidur Pram ketika masih kecil.
Sejak kecil Soesilo menganggap Pram sebagai orangtua, saudara, sekaligus rival. Pram sendiri adalah anak pertama dari sembilan bersaudara, dan Soesilo anak yang ke tujuh.Â
Sebagai saudara tertua, Pram selalu memberi perlindungan kepada adik-adiknya. Menurut penuturan Soesilo, Pram pernah memboyong dirinya beserta Koesalah (kakak ke-empat) pindah ke Jakarta, sebab setelah ditinggal kedua orangtuanya keadaan ekonomi di Blora sangat sulit.Â
Melihat Pram bisa dengan mudah mendapatkan uang dari menulis membuat Soesilo termotivasi untuk bisa seperti sang kakak. Jika Pram mulai menulis pada usia 15 tahun, Soesilo sudah memulainya di usia 13 tahun.Â
Soesilo menyebut keluarganya sebagai mafia sastra, sebab diantara sembilan bersaudara, enam diantaranya menjadi sastrawan.Â
Di antara adik-adik Pram, Soesilo pula yang dianggap sebagai saingan terberat karena ia cukup produktif dalam menulis buku dan berpendidikan sangat tinggi, bahkan jauh unggul dibanding Pram yang hanya tamat sekolah dasar.