Pahala puasa tidak bergantung pada seberapa lama seorang hamba menahan lapar dan haus, sebab jika sekiranya hal itu menjadi patokan, maka bisa jadi kita tidak dianjurkan untuk segera berbuka  dan mengakhirkan santap sahur. Justru dengan mengsegerakan berbuka dan mengakhirkan santap sahur masuk kategori sunah, yang tentu saja ganjarannya adalah pahala.
Jika demikian, lalu apa yang menjadi esensi ibadah puasa? Tiada lain untuk mengendalikan hawa nafsu agar manusia tidak mudah lupa diri, sebab  penyakit lupa diri tidak hanya berdampak bagi diri pribadi, tetapi juga pada orang lain.
Karena itu, menahan dalam prosesi ritual ibadah puasa sekaligus menjadi isyarat bahwasanya salah satu pekerjaan terberat bagi manusia adalah menahan. Bahkan, konon Nabi Adam beserta istrinya dikeluarkan dari Surga karena tidak mampu menahan diri dari godaan setan.
Olehnya itu, perkara menahan tidak semudah yang dibayangkan. Mungkin karena itu pula, seruan berpuasa dalam Islam hanya ditujukan kepada mereka orang-orang beriman, sebagaimana pandangan Imam Ibnu Abbas, salah seorang sahabat Nabi, apabila ada seruan yang dikhususkan hanya kepada orang-orang beriman, maka bisa dipastikan perintah itu berat dilaksanakan, dan hanya mereka yang punya keimanan yang kuat mampu menunaikannya.
Jihad Akbar
Suatu ketika Nabi Muhammad pernah berkata "kita baru saja pulang dari jihad kecil menuju jihad akbar". Mendengar itu, para sahabatnya tentu saja kaget, apalagi mereka baru saja pulang dari peperangan pisik. Karena penasaran, salah seorang sahabat bertanya, perang besar apa lagi yang harus dihadapi kedepannya wahai rasul Allah? Nabi menjawab jihad atau perang melawan hawa nafsu.
Dari hadis tersebut, kita bisa menyimpulkan beberapa hal, pertama; jihad melawan hawa nafsu bukanlah sembarang jihad. Disebut demikian karena musuh yang dihadapinya tidak tampak, tidak bisa dipetakan, dikalkulasi, bahkan dicari tahu kelemahannya (Ulil Hadrawi, NU Online).
Kedua, hadis di atas menyampaikan pesan tersirat, bahwasanya musuh terbesar manusia, bukanlah orang lain, melainkan diri mereka sendiri; atau dengan kata lain, nafsu keserakahan dan kesombongan yang bersemayam dalam diri, kerap membuat manusia lupa diri.
Ketiga, jihad melawan hawa nafsu tentu saja menjadi hal penting untuk direfleksikan, sebab hampir semua kerusakan yang terjadi di muka bumi selalu bermula dari ketidakmampuan manusia mengendalikan (menahan) diri. Mungkin karena itu pula, Ramadan juga sering kali disebut sebagai syahru tarbiah (bulan pendidikan) yang bertujuan mendidik manusia agar tidak terjebak dalam perilaku destruktif; perilaku yang kerap menciptakan kesengsaraan jasmani, rohani dan sosial.
Takbir Kemenangan
Setelah orang-orang beriman dinyatakan berhasil berjihad melawan hawa nafsu selama sebulan penuh, tibalah saatnya mereka merayakan kemenangan. Disebut kemenangan, karena selain berhasil melawan dorongan hawa nafsu, juga karena mereka dikembalikan ke asalnya sebagai manusia suci, sebagaimana arti Idulfitri yang berasal dari kata, ied dan fitri. Ied artinya kembali, sementara fitri artinya suci, bagaikan bayi yang terlahir tanpa dosa.