Mohon tunggu...
Suaib Prawono
Suaib Prawono Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja sosial di jaringan GUSDURian

Bukan siapa-siapa, hanya penikmat kopi dan makanan khas Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Ramadan

Jihad Akbar dan Takbir Kemenangan

3 April 2024   05:06 Diperbarui: 10 April 2024   08:42 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tebar Hikmah Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Pahala puasa tidak bergantung pada seberapa lama seorang hamba menahan lapar dan haus, sebab jika sekiranya hal itu menjadi patokan, maka bisa jadi kita tidak dianjurkan untuk segera berbuka  dan mengakhirkan santap sahur. Justru dengan mengsegerakan berbuka dan mengakhirkan santap sahur masuk kategori sunah, yang tentu saja ganjarannya adalah pahala.

Jika demikian, lalu apa yang menjadi esensi ibadah puasa? Tiada lain untuk mengendalikan hawa nafsu agar manusia tidak mudah lupa diri, sebab  penyakit lupa diri tidak hanya berdampak bagi diri pribadi, tetapi juga pada orang lain.

Karena itu, menahan dalam prosesi ritual ibadah puasa sekaligus menjadi isyarat bahwasanya salah satu pekerjaan terberat bagi manusia adalah menahan. Bahkan, konon Nabi Adam beserta istrinya dikeluarkan dari Surga karena tidak mampu menahan diri dari godaan setan.

Olehnya itu, perkara menahan tidak semudah yang dibayangkan. Mungkin karena itu pula, seruan berpuasa dalam Islam hanya ditujukan kepada mereka orang-orang beriman, sebagaimana pandangan Imam Ibnu Abbas, salah seorang sahabat Nabi, apabila ada seruan yang dikhususkan hanya kepada orang-orang beriman, maka bisa dipastikan perintah itu berat dilaksanakan, dan hanya mereka yang punya keimanan yang kuat mampu menunaikannya.

Jihad Akbar

Suatu ketika Nabi Muhammad pernah berkata "kita baru saja pulang dari jihad kecil menuju jihad akbar". Mendengar itu, para sahabatnya tentu saja kaget, apalagi mereka baru saja pulang dari peperangan pisik. Karena penasaran, salah seorang sahabat bertanya, perang besar apa lagi yang harus dihadapi kedepannya wahai rasul Allah? Nabi menjawab jihad atau perang melawan hawa nafsu.

Dari hadis tersebut, kita bisa menyimpulkan beberapa hal, pertama; jihad melawan hawa nafsu bukanlah sembarang jihad. Disebut demikian karena musuh yang dihadapinya tidak tampak, tidak bisa dipetakan, dikalkulasi, bahkan dicari tahu kelemahannya (Ulil Hadrawi, NU Online).

Kedua, hadis di atas menyampaikan pesan tersirat, bahwasanya musuh terbesar manusia, bukanlah orang lain, melainkan diri mereka sendiri; atau dengan kata lain, nafsu keserakahan dan kesombongan yang bersemayam dalam diri, kerap membuat manusia lupa diri.

Ketiga, jihad melawan hawa nafsu tentu saja menjadi hal penting untuk direfleksikan, sebab hampir semua kerusakan yang terjadi di muka bumi selalu bermula dari ketidakmampuan manusia mengendalikan (menahan) diri. Mungkin karena itu pula, Ramadan juga sering kali disebut sebagai syahru tarbiah (bulan pendidikan) yang bertujuan mendidik manusia agar tidak terjebak dalam perilaku destruktif; perilaku yang kerap menciptakan kesengsaraan jasmani, rohani dan sosial.

Takbir Kemenangan

Setelah orang-orang beriman dinyatakan berhasil berjihad melawan hawa nafsu selama sebulan penuh, tibalah saatnya mereka merayakan kemenangan. Disebut kemenangan, karena selain berhasil melawan dorongan hawa nafsu, juga karena mereka dikembalikan ke asalnya sebagai manusia suci, sebagaimana arti Idulfitri yang berasal dari kata, ied  dan fitri. Ied artinya kembali, sementara fitri artinya suci, bagaikan bayi yang terlahir tanpa dosa.

Selain itu, hari kemenangan atau Idulfitri juga sering kali dimaknai sebagai hari pembebasan; yaitu pembebasan diri dari belenggu dosa akibat kebencian, dendam dan keserakahan. Karena itulah, momentum lebaran atau hari kemenangan sering kali dijadikan sebagai wahana untuk menyambung silaturahmi dan sekaligus melebur dosa antar sesama manusia, sebab seseorang belum dikatakan beridulfitri jika dalam hati dan pikiran mereka masih menyimpan perasaan dendam dan kebencian.

Pada akhirnya, takbir dan tahmid yang dilantunkan di hari kemenangan tentu tidak hanya sekadar bermakna menganggungkan dan memuji kebesaran Allah Swt, tetapi juga bagian dari ekspresi kemenangan pribadi,  bukan karena berhasil merampas, membenci, menyakiti, apalagi membunuh manusia, melainkan karena berhasil berperang melawan dorongan hawa nafsu, sifat keserakahan dan kesombongan yang kerap mengundang permusuhan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun