Tilana tak bisa lagi menyembunyikan kegundahannya. Aki Dayat seolah mengetahui semua gerak-geriknya. Baru setengahnya ia bertutur, Ki Dayat menghentikannya, seolah mengetahui semuanya.
"Ada yang begitu bersimpati dan menaruh perhatian padamu meskipun sebenarnya mustahil!"
"Puteri Aki Dayat kah?" tanya Tilana sedikit penasaran.
"Bukan. Waktu mungkin sanggup menunggu sebuah kesetiaan, namun tidak dengan tubuh rapuh kita ini!. Termasuk dirimu. Jika kau sanggup membalut tubuh rapuhmu dengan kerinduan hingga waktu menghentikannya, aku tak akan melanjutkan, namun jika pikiranmu berubah, jalan menuju pondok tinggalku tak banyak berubah dan akan selalu terbuka untukmu Tilana."
***
Waktu terus berlalu hingga Tilana akhirnya bertutur pada dirinya sendiri juga untuk Ranti yang entah di mana tiada kabar berita.
"Maafkan tentang rasa rindu yang terpaksa harus kutinggalkan!"
***
"Drek... drek... drek...!" Suara derap langkah yang begitu berat menaiki 3 undakan anak tangga dari kayu yang telah berumur.
"Masuk dan duduklah dulu, akan kubuatkan teh hangat untukmu!"
Pandangan Tilana menyapu seisi ruangan pondokan Aki Dayat, begitu kosong namun terlihat terawat, diterangi lampu minyak pada salasatu tiang kayu bagian tengah.