Mohon tunggu...
Hsu
Hsu Mohon Tunggu... Administrasi - Seorang manusia biasa

Somewhere Only We Know

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Sebuah Persimpangan

25 Maret 2014   01:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:32 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13956589361203284361

Di akte kelahiran, namaku tertulis "Hepi", padahal maksud orang tuaku nama itu adalah "Evi". Entah siapa yang salah mendengar pada waktu pembuatan akte lahir itu. Yang jelas ke dua orang tuaku memang tak bisa menulis, jadi begitu akte lahir itu selesai dibuat ya mereka terima saja dan merasa senang karena anaknya sudah ada akte kelahirannya.

Aku sendiri baru mengetahui perihal nama itu ketika akan membuat dan mengajukan pembuatan Kartu Tanda Penduduk. Hal yang sebenarnya tak pernah terpikirkan jika bukan karena terkait kepentingan untuk bekerja. Namanya hidup di desa, memikirkan hal seperti KTP itu entah ada di kepentingan nomor ke berapa, karena yang utama adalah memikirkan bagaimana caranya tetap bertahan hidup dalam segala keterbatasan, atau singkatnya kemiskinan.

Ya... kami di desa memang hidup apa adanya, makan pun sekenanya saja, bisa makan nasi yang bersih dan putih sudah menjadi hal yang luar biasa. Keadaan yang demikian akhirnya benar-benar menguatkan tekadku untuk mengadu nasib di kota besar. Kebetulan juga di Jakarta ada Bibiku yang bersedia menampungku selama aku belum mendapat pekerjaan. Kesulitan yang kurasakan saat akan mencari pekerjaan di Jakarta adalah faktor tingkat pendidikan. Yah aku hanya lulusan Sekolah Dasar, namun tak menjadikanku putus harapan. Bangun pagi, walaupun terkadang tanpa sarapan aku melangkah berjalan tak tentu tujuan, dan setiap ada kerumunan yang memang adalah antrian orang melamar pekerjaan aku pun ikut bergabung. Hingga akhirnya perjalanan dan waktu membawaku menjadi seorang Tenaga Kerja Wanita di luar negeri.

Walaupun jauh dari orang tua, jauh dari tanah kelahiran, dan tanpa sanak saudara di negeri orang, namun banyaknya teman-teman senasib membuatku sedikit terhibur. Telah beberapa tahun kujalani pekerjaan di luar negeri dengan hati senang walaupun pekerjaannya berat, yaitu sebagai pengurus rumah tangga, yang kalau di negeri sendiri disebutnya PRT alias Pembantu Rumah Tangga alias Babu. Apapun itu, hatiku senang, sesenang namaku Hepi, sebahagia namaku Hepi. Yah hatiku memang sangat gembira dan bahagia manakala gaji pertama yang kuterima setelah dipotong biaya sponsor yang memberangkatkanku ke luar negeri kukirimkan sebagian besar untuk keluarga terutama untuk orang tua di kampung halaman. Sedangkan sedikit sisanya kusimpan untuk keperluanku sendiri di negeri orang.

Tahun demi tahun kulalui. Rupiah demi Rupiah kukirimkan ke orang tuaku di kampung. Jumlah yang lumayan besar sebenarnya. Namun tiada pernah terkatakan sebuah kata "cukup" dari ke dua orang tuaku. Dan setelah mencoba mengorek-ngorek dengan sedikit memaksa, ternyata setiap kali aku mengirimkan uang ke kampung, yang menggunakan ternyata bukan hanya ke dua orang tuaku, namun juga tiga orang kakak laki-lakiku dan juga adik laki-laki dan perempuanku. Uang yang sebenarnya kukirimkan agar ke dua orang tuaku bisa mengusahakannya untuk membeli lahan untuk pertanian dan mengembangkannya ternyata terkuras untuk kepentingan saudara-saudara kandungku sendiri.

"Pi... tahun ini kakakmu mau menikahi gadis dari desa tetangga, bapak butuh biaya besar untuk pesta pernikahan kakakmu?!"

"Pi... Sebulan lagi kakak iparmu akan melahirkan... segera kirim uang untuk biaya persalinan?!"

"Pi... tahun depan adik perempuanmu akan di lamar pria dari desa sebelah... bapak bahagia ia bisa menikah... segera kirimkan uang ya... bapak mau menggelar pesta pernikahan besar-besaran?!"

Ingin sekali aku teriak rasanya mendengar permintaan-permintaan yang bukan untuk orang tuaku...

"Kamu harus berani berkata tidak Pi!!!" demikian seorang sahabat yang berusaha menghiburku.

"Awalnya aku berkata tidak ketika kakak atau adikku meminta hal itu! Namun akhirnya mereka menggosok-gosok Bapak dan Ibu agar meminta padaku! itulah serba salahnya aku, jika aku berkata tidak pada Ibu atau Bapak, pasti ucapan sebagai anak tak berbakti akan terlontar dari mulut mereka berdua!"

"hhmm ok jika begitu... tapi coba pikir jika satu waktu kamu tidak bekerja lagi? kepada siapa mereka akan meminta? apakah akan menceraikan isterinya atau pun suaminya atau tak lagi mengurus anaknya jika kamu sudah tak bekerja dan mengirimkan uang? Lantas bagaimana jika satu waktu kamu yang menikah... kamu mau minta tolong siapa Pi?"

"Entahlah... rasanya aku ingin mati saja Sobat!"

"Tidak seperti itu caranya Pi... kamu harus berani berkata tidak!!! Kakak-kakakmu itu kan laki-laki... mereka yang menikah.., mereka yang merasakan enaknya kok kamu yang menanggung biayanya... laki-laki macam apa itu... terus juga adik perempuanmu... kan harusnya calon suaminya yang keluar biaya... masa harus dari kamu juga Pi?"

"Itulah yang membuatku rasanya ingin mati Sobat... harus kuulangi berapa kali?!"

"Ya ya ya sabarlah jika begitu Pi!"

"Memang benar apa katamu Sobat... Memang akan jadi pilihan yang sulit."

Ya memang sangat sulit buatku... Hepi... yang kemudian aku tahu bahwa namaku artinya jika dikaitkan dengan kata berbahasa Inggris Happy artinya adalah bahagia, hanya berbeda huruf namun bunyinya sama. Aku seharusnya sudah bahagia, sudah bisa memiliki usaha di tanah air jika selama ini uang yang aku kirimkan benar-benar dikelola dengan baik oleh orang tuaku seperti ucapan mereka ketika pertama kali menerima uang kirimanku.

Memang benar kata sobatku... kakak-kakak laki-lakiku seharusnya bisa bekerja dan tak melulu bergantung padaku. Aku sendiri bukannya tak memikirkan masa depanku. Usiaku makin bertambah, ada keinginan yang sangat ketika melihat seorang ibu muda yang menggendong anak... aku pun ingin seperti itu.

Kini ku hanya bisa berdoa... berdoa semoga Tuhan bisa membukakan hati saudara-saudara kandungku agar mereka bisa mandiri dan tak melulu menggantungkan nasibnya pada penghasilanku.

Kuputuskan akan tetap bekerja di luar negeri... untuk saat ini biarlah kuikhlaskan jika orang tuaku demikian. Aku terpojok dengan sebuah kata "Bakti" yang sesungguhnya telah terkontaminasi dengan hasutan dari kakak-kakak maupun adik-adikku. Biarlah aku ikhlas dan baru benar-benar bisa akan berkata tidak manakala satu waktu nanti ke dua orang tuaku telah tiada. Mungkin saat itulah aku baru benar-benar bisa merasakan kebahagiaan atas hasil kerja keras dan keringatku sendiri.  Bukan berarti aku ingin agar mereka cepat tiada. Aku tetap sayang pada mereka.

"Ya Tuhan... berikan hambamu ini kekuatan... agar bisa menjalani ujian berat ini."

***

"Sejuk tiupan napas udara pagi mengalir perlahan memasuki ruang tubuhku yang tersandar pada sebatang Pinus Tua yang sedang bersemi…

Langkah kakiku terhenti di ujung persimpangan Jalan Hati bercabang dua…

ke duanya menuju Jalan Kehidupan…

Diriku Gundah…

Jalan sebelah kiri terhalang sebuah Tembok Tinggi Berdinding Tebal…

Jalan sebelah kanan adalah Jalan Berpasir…

Dalam gundah hatiku…

Ku bertanya pada Pinus Tua…

Wahai Pinus Tua yang bijaksana… Berikanlah petunjuk… Jalan manakah yang harus aku lewati???

Pinus Tua itu hanya diam dan menjatuhkan dua pucuk seminya…

Satu semi jatuh di antara Barisan Panjang Semut Hitam Kecil dan satu semi lagi jatuh di antara Rimbun Rumput Liar Berbunga Serbuk…

Pinus Tua seolah berkata… Tanyakanlah pada mereka…

Ku hampiri mereka dan bertanya…

Barisan Panjang Semut Hitam Kecil menjawab serempak… Dengan kesabaran dan ketekunan yang kuat bangunan sekokoh apa pun dapat kami runtuhkan.

Dan Rimbun Rumput Liar Berbunga Serbuk menjawab dengan menggoyangkan

serbuk benihnya ke segala penjuru… Dengan semangat dan kerendahan hati Jalan Berpasir seluas apa pun

dapat kami tutup menjadi padang rumput.

Jawaban yang luar biasa…

Kuhampiri Pinus Tua yang bijaksana…

Kubersimpuh untuk bersujud…

Namun sekali lagi Ia menjatuhkan pucuk seminya…

Tiga pucuk semi Ia jatuhkan di hadapanku seolah ingin berkata…

Aku belum pantas menerima sembah sujud seperti itu… Ada yang sangat pantas menerima sujud syukur yaitu Sang Pujangga Terbesar Alam Semesta Tuhan Yang Maha Esa… Para Nabi Besar pembawa Firman Sang Pujangga Terbesar Alam Semesta… dan Kitab-kitab Suci yang diturunkan oleh Sang Pujangga Terbesar Alam Semesta… Dekatlah dengan ke tiga hal itu… Maka hidupmu akan bahagia.

Pinus Tua…

Kau sungguh Bijaksana…

Demikian kata hatiku"

(Alam Semesta Bernyanyi: Di Sebuah Persimpangan; Adam Heins)

~000OOO000~

~Imajinasi Senja~

Ilustrasi "Sad Woman" dari amazingtruelifestories.com

~Hsu~

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun