Mohon tunggu...
Media Online
Media Online Mohon Tunggu... Editor - Social Media

Hobi saya menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Balik Pintu Rumah Kami

24 Agustus 2024   07:30 Diperbarui: 24 Agustus 2024   07:33 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di sebuah desa kecil yang dikelilingi pepohonan hijau dan sawah yang membentang, hiduplah sepasang suami istri, Arif dan Sari. Mereka baru merayakan tahun ke-10 pernikahan mereka dan memiliki dua orang anak: Rani yang berusia delapan tahun dan Iwan yang berusia enam tahun. Kehidupan mereka terlihat sederhana namun bahagia, penuh tawa dan canda di rumah kecil yang mereka huni.

Suatu malam, saat bulan purnama bersinar cerah, Arif pulang dari bekerja di ladang. Dia membawa seikat bunga liar untuk Sari. Begitu memasuki rumah, dia melihat Sari sedang memasak di dapur, aroma rempah yang menggugah selera memenuhi udara.

"Sayang, ini untukmu," kata Arif sambil memberikan bunga itu.

Sari tersenyum lebar, menerima bunga tersebut. "Cantik sekali! Terima kasih, Mas. Malam ini kita akan makan bersama. Rani dan Iwan sudah menunggu," jawab Sari, menatap suaminya dengan penuh kasih.

Setelah mereka makan malam bersama, anak-anak meminta untuk bercerita sebelum tidur. Sari memulai cerita tentang seekor burung kecil yang terbang tinggi, meski banyak rintangan menghadangnya.

"Mama, apa burung itu berhasil terbang tinggi?" tanya Iwan dengan mata berbinar.

"Ya, Iwan. Burung itu belajar dari setiap kegagalan. Dia tidak menyerah," jawab Sari sambil mengelus kepala anaknya.

Tiba-tiba, ketenangan malam itu terganggu oleh suara keras dari luar. Suara pintu yang terbanting dan langkah kaki yang cepat. Arif segera beranjak dari tempat duduknya.

"Ada apa, Mas?" tanya Sari cemas.

"Coba lihat dari jendela," jawab Arif, mengisyaratkan Sari untuk melihat ke luar. 

Saat Sari mengintip, dia melihat sekelompok orang berkerumun di depan rumah tetangga mereka, Pak Hasan. Suara gaduh semakin jelas, dan tampak ada yang berteriak-teriak.

"Ada apa, ya?" bisik Sari.

"Saya akan pergi melihat. Tetap di sini dengan anak-anak," jawab Arif tegas.

Arif bergegas keluar rumah, dan Sari merasa gelisah menunggu di dalam. Suara teriakan semakin keras, dan suasana semakin tegang. Dalam hati, Sari berdoa agar suaminya aman.

Tak lama kemudian, Arif kembali dengan ekspresi serius. "Ada masalah dengan Pak Hasan. Mereka mengatakan rumahnya akan dilelang karena utang," jelasnya.

Sari tertegun. "Tapi... bagaimana nasib keluarganya?"

"Mereka butuh bantuan. Kita harus melakukan sesuatu," kata Arif, meraih tangan Sari. "Kita tidak bisa hanya diam."

Sari mengangguk, merasakan ketegangan di udara. "Apa yang bisa kita lakukan, Mas?"

Arif mengusulkan untuk mengumpulkan sumbangan dari tetangga dan membantu Pak Hasan. Keduanya segera merencanakan penggalangan dana. 

Keesokan harinya, Arif dan Sari pergi dari rumah ke rumah, menjelaskan situasi yang terjadi. Banyak tetangga yang ikut membantu. Rani dan Iwan pun ikut membantu dengan cara mengumpulkan mainan mereka yang sudah tidak terpakai untuk dijual.

Setelah beberapa hari bekerja keras, mereka berhasil mengumpulkan sejumlah uang. Pada malam yang tenang, mereka mengadakan pertemuan dengan seluruh tetangga di rumah mereka.

"Terima kasih atas partisipasi kalian semua," kata Arif, berdiri di depan kerumunan. "Kami berhasil mengumpulkan dana untuk membantu Pak Hasan. Mari kita dukung mereka agar bisa tetap tinggal di rumah."

Sari melanjutkan, "Bersama kita kuat. Kita bisa saling membantu dalam kesulitan."

Suasana menjadi haru, dan semua tetangga setuju untuk membantu. Saat malam semakin larut, mereka merencanakan langkah-langkah selanjutnya.

Keesokan harinya, Arif dan Sari membawa sumbangan ke rumah Pak Hasan. Saat mereka tiba, terlihat Pak Hasan dan keluarganya dengan wajah cemas.

"Pak Hasan, kami datang untuk membantu," kata Arif sambil menyerahkan amplop berisi uang.

Pak Hasan terkejut dan langsung meneteskan air mata. "Terima kasih... saya tidak tahu harus bagaimana tanpa kalian," ujarnya dengan suara bergetar.

"Ini adalah wujud persahabatan. Kami akan membantu sampai semua ini teratasi," tambah Sari.

Mendengar itu, anak-anak Pak Hasan berlari menghampiri Rani dan Iwan. "Terima kasih!" seru mereka.

Selama beberapa minggu ke depan, mereka bekerja sama membangun kembali kehidupan mereka. Arif dan Sari merasa lebih dekat dengan tetangga, dan rasa syukur mereka semakin mendalam.

Pada malam hari, saat anak-anak tertidur, Arif dan Sari duduk di beranda. 

"Saya merasa hidup ini lebih berarti ketika kita saling membantu," kata Arif, menggenggam tangan Sari.

"Benar, Mas. Manisnya rumah tangga bukan hanya dari kebahagiaan kita, tetapi juga dari kebersamaan kita dengan orang lain," balas Sari.

Dengan senyum lebar, mereka menatap bintang-bintang yang berkilau di langit, merasakan kebahagiaan yang lebih dalam dari sebelumnya. Rumah mereka bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga tempat cinta dan kepedulian tumbuh, memperkuat ikatan antar tetangga dan keluarga.

Tamat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun