Mohon tunggu...
Media Online
Media Online Mohon Tunggu... Editor - Social Media

Hobi saya menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sosok yang Tak Terlupakan

24 Agustus 2024   04:13 Diperbarui: 24 Agustus 2024   04:21 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di bawah langit yang mendung, hujan rintik-rintik mulai turun, menciptakan irama monoton yang memecah keheningan sore itu. Desir angin membawa aroma tanah basah ke dalam kamar, di mana Nia duduk merenung di atas ranjang. Matanya menatap kosong ke luar jendela, menembus tirai kelabu yang membayangi kenangan yang terus menghantuinya.


Nia, seorang wanita muda berusia 28 tahun, baru saja kehilangan ibunya, Bu Sri, dua minggu yang lalu. Kematian itu datang begitu tiba-tiba, seperti tamparan dingin di tengah kehangatan. Bu Sri adalah segalanya bagi Nia; dia bukan hanya ibu, tapi juga sahabat, penasehat, dan pelindung. Ketika Bu Sri meninggal, dunia Nia runtuh. Rasanya, separuh jiwanya ikut terkubur bersama ibu yang disayanginya.

Meski begitu, bukan rasa kehilangan yang membekukan hati Nia, melainkan rasa bersalah yang menggerogoti setiap sudut jiwanya. Malam itu, sebelum Bu Sri meninggal, mereka sempat bertengkar hebat. "Kenapa Ibu tidak pernah mau mendengarkan aku? Aku juga punya hak atas hidupku!" bentak Nia, suaranya pecah karena amarah dan frustasi.

Bu Sri hanya diam, menatap putrinya dengan tatapan yang begitu dalam, seolah mencoba menembus amarah yang menyelubungi hati Nia. "Ibu hanya ingin yang terbaik untukmu, Nia. Ibu ingin kamu bahagia."

Namun, Nia tak mau mendengarnya. Dengan emosi yang meledak-ledak, dia meninggalkan rumah, membanting pintu di belakangnya. Pagi harinya, Bu Sri ditemukan terkulai di atas lantai dapur, nyawanya tak lagi tertolong.

Kenyataan bahwa itu adalah pertemuan terakhir mereka menghancurkan Nia. Setiap malam, dia terjaga, dihantui oleh bayangan wajah ibunya, suara lembut yang memanggil namanya, dan penyesalan yang tak pernah bisa ia hapus.

***

Suara bel pintu yang tiba-tiba berbunyi membuyarkan lamunan Nia. Dengan langkah gontai, dia menuju pintu depan dan membukanya. Di sana, berdiri seorang pria paruh baya dengan setelan hitam. Pria itu memperkenalkan dirinya sebagai Pak Heru, seorang pengacara yang ditunjuk untuk menangani warisan peninggalan Bu Sri.

"Kami menemukan beberapa barang pribadi yang perlu Anda lihat," kata Pak Heru dengan suara tenang namun tegas.

Nia mengangguk lemah, mempersilakan pria itu masuk ke dalam rumah yang kini terasa begitu sepi dan dingin. Pak Heru menyerahkan sebuah kotak kayu kecil yang terlihat usang kepada Nia.

"Ini ditemukan di antara barang-barang almarhumah. Saya diminta untuk menyerahkannya kepada Anda," jelasnya.

Dengan tangan gemetar, Nia membuka kotak tersebut. Di dalamnya, terdapat beberapa foto lama, sepucuk surat, dan sebuah buku harian. Jantung Nia berdetak lebih kencang saat dia mengeluarkan surat itu dan mulai membacanya.

*"Untuk Nia, putriku tercinta,"* tulis Bu Sri dengan tangan yang tampak sedikit bergetar.

*"Ibu menulis surat ini untuk berjaga-jaga, kalau-kalau Ibu tak sempat mengatakannya secara langsung. Ibu tahu, akhir-akhir ini kita sering tidak sejalan. Ibu tahu kamu merasa Ibu terlalu mengatur hidupmu. Tapi, Nia, semua yang Ibu lakukan adalah karena Ibu mencintaimu."*

Mata Nia mulai berkaca-kaca. Setiap kata terasa seperti belati yang menyayat hatinya.

*"Ibu mungkin tidak sempurna, dan Ibu sadar kadang terlalu keras terhadapmu. Tapi Ibu takut. Takut kamu akan terluka, takut kamu akan memilih jalan yang salah. Maafkan Ibu, Nia. Ibu hanya ingin kamu mendapatkan yang terbaik. Jika suatu saat Ibu tak lagi di sini, ingatlah satu hal: Ibu selalu mencintaimu, dan akan selalu berada di sisimu, meski tidak lagi terlihat."*

Air mata mengalir deras di pipi Nia. Ia terisak, mencoba menahan rasa sakit yang menghantam dadanya.

"Aku menyesal, Bu... Aku menyesal..." bisiknya di tengah isakan, seolah berharap ibunya bisa mendengar.

Malam itu, untuk pertama kalinya sejak kematian Bu Sri, Nia membuka buku harian ibunya. Di dalamnya, terdapat catatan-catatan sederhana tentang kehidupan sehari-hari, termasuk momen-momen kecil yang ternyata berarti besar bagi ibunya. Hal-hal yang dulu Nia anggap sepele, seperti senyum pertamanya, saat ia belajar berjalan, hingga momen-momen ketika Nia tumbuh menjadi remaja yang keras kepala.

Namun, di halaman terakhir, ada sesuatu yang membuat Nia terdiam. Tulisan tangan Bu Sri yang biasanya rapi terlihat kacau, seolah-olah dia menulis dengan tergesa-gesa.

*"Aku merasa ada yang mengikutiku. Sesuatu yang dingin dan gelap. Mungkin hanya perasaanku saja, tapi rasa ini semakin kuat. Nia, jika sesuatu terjadi padaku, tolong jaga dirimu baik-baik. Aku mencintaimu."*

Bulu kuduk Nia meremang. Pikiran-pikiran aneh mulai muncul di benaknya. Apa yang sebenarnya terjadi pada malam itu? Apakah kematian ibunya benar-benar alami, atau ada sesuatu yang lain?

***

Sejak membaca catatan itu, Nia mulai merasa ada sesuatu yang aneh di rumahnya. Bayangan hitam kadang terlihat sekilas di sudut matanya. Suara-suara berbisik yang tak jelas sering terdengar di malam hari, membuat bulu kuduknya meremang.

Nia berusaha untuk tidak memikirkannya, tapi ketakutan mulai merasuk ke dalam pikirannya. Hingga suatu malam, saat ia tengah terlelap, sebuah suara membangunkannya.

"Nia..." suara itu terdengar lembut namun dingin, seperti berbisik di telinga. Nia terbangun, keringat dingin mengucur di dahinya. Dia memandang sekeliling, tetapi tak ada siapa-siapa. Rumah itu sunyi senyap.

Namun, ketika dia menoleh ke arah jendela, dia melihat sosok bayangan gelap berdiri di sana, menatapnya dengan tatapan yang menusuk. Mata Nia terbelalak. Dia berusaha berteriak, tetapi suaranya tercekat di tenggorokan. Bayangan itu perlahan mendekat, semakin dekat, dan semakin dekat.

Tiba-tiba, Nia teringat kata-kata ibunya di surat itu: *"Aku selalu berada di sisimu, meski tidak lagi terlihat."*

Dengan hati yang dipenuhi ketakutan dan kerinduan yang mendalam, Nia akhirnya berani untuk menatap sosok itu lebih dekat. Ketika bayangan itu nyaris menyentuhnya, tiba-tiba wajah Bu Sri muncul di benaknya, penuh dengan kehangatan dan cinta.

"Ibu...?" Nia bergumam pelan.

Bayangan itu berhenti, seolah merespons panggilan Nia. Perlahan-lahan, sosok gelap itu mulai memudar, meninggalkan jejak kehangatan di udara.

Saat cahaya pagi mulai menyelinap melalui tirai, Nia merasa beban di hatinya perlahan terangkat. Meskipun kehilangan itu masih menyakitkan, dia tahu bahwa ibunya tidak pernah benar-benar pergi. Cinta seorang ibu begitu kuat, hingga bisa melampaui kematian.

Malam itu, Nia memutuskan untuk memulai lembaran baru dalam hidupnya, dengan kenangan indah tentang ibunya sebagai pemandu. Dia tahu, selama ia membawa cinta itu dalam hatinya, ibunya akan selalu bersamanya, menjaga dan melindungi, seperti yang selalu dilakukan.

**Akhir**

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun