Mohon tunggu...
Ferri Melson Tafzi
Ferri Melson Tafzi Mohon Tunggu... -

Menulis dan membaca adalah memperkaya khasanah hidup dan memberi nuansa buat kehidupan itu sendiri. Pengalaman adalah langkah nyata dalam menisik jalan kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Eksistensi Keminangan, Robohnya Rumah Gadang?

2 Agustus 2018   20:09 Diperbarui: 2 Agustus 2018   20:33 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dari bukit Marapalam kembali ia dikobarkan, setelah capek berbunuh-bunuhan. Cikal bakal datangnya kesadaran, yang tumbuh sehabis peperangan.

Sebuah traktat baru dibangun dipagari dengan kukuh. Ia menjadi kebanggaan. Tak ada yang dimenangkan dan tak ada pula yang dikalahkan. Keduanya sama merasakan antara kalah dan menang.

Waktu berjalan, generasi baru pun datang. Tampilannya jelas tak sama. Generasi pasca perang yang trauma mencari jalan, memformat dalam kesamaan pandangan agar tak lekang dan lapuk ditelan zaman. Tapi kini, jauh setelah masa itu, apakah telah terjadi pelunturan akibat dimakan waktu. Suatu indikasi persiapan akan kehilangan, lenyap ditelan waktu?

Traktat Marapalam, patut disadari, ia kembali membangkitkan batang terandam, sebuah nama yang mencerminkan laku yang ditata, yang menspiriti sebagai pemenang. Dan kebanggaan itu dijaga dengan dua kata: Minang dan Kabau.

Filosopi kata yang mudah, sederhana dan tak sulit dibaca. Ketika minangnya hilang maka yang tinggal adalah kabau. Ketika kabaunya hilang, maka minang menjadi tak ada?

Dua kata itu, mencerminkan spirit penjagaan akan luhak, sebuah wilayah yang telah ditandai yang mengikat tata laku yang disebut adat.

Mereka membangun spirit sebagai pemenang, yang dipertahankan dengan taktik yang tak serampangan, menjaga homogenitas bukan kebhinekaan. Tapi anehnya dari rahimnya keindonesiaan turut diperjuangkan, mengikat berbagai Nusa. Putra-putrinya tak mengucapkan sumpah palapa, tapi sumpah pemuda mereka terima dengan lapang dada.

Ia berada di salah satu nusa diantara nusa yang lainnya. Dan ia tak menolak untuk menyebut dirinya sebagai bagian dari Nusantara. Ia telah mencerminkan kenusantaraan itu sendiri. Ia kobarkan semangat melalui cendikia, spiritnya termasuk pendorong lahirnya Pancasila.

Adat bersandi syarat, syarat bersendikan kitabullah. Kalau cermat dibaca, itulah rangkuman dari Pancasila

Melalui semangatnya Indonesia menjadi ada. Sejarah mencatat dan tak bisa dilupa.

Selentingan terdengar, ketika semangat typologi dikumandangkan terjadi perbedaan pandangan. Bisa dipahami itu terjadi. Sumbernya adalah masalah alkuturasi. Minangkabau tetap menjaga dikotomi, menempatkan secara paralel sambil melakukan evaluasi. Sementara ditempat lain yang terjadi adalah asimilasi, penyusupan sambil melakukan sterilisasi, yang asli tetap dijaga, kuman yang dirasa tak baik dihilangkan, diberi vaksin yang menyehatkan.

Orang minang bertahan dengan kemenangannya sementara yang lain dijaga harkatnya. Keduanya sama mendapatkannya, ranah nusantara yang ditegakkan menjadi Indonesia. Apa yang didapat? Madaniah Al-Wathan di garis khatulistiwa.

Ketika derap langkah keindonesiaan kembali dikobarkan. Belati kecil tak perlu disiapkan untuk diletakkan di ujung tanduk, karena pada dasarnya kita telah diikat dengan persaudaraan keindonesiaan, yang dinaungi dibawah keagamaan. Semua kita adalah pemenang.

Perbedaan pendapat itu sah saja tapi semangat Marapalam tetap perlu kita gadang-gadang. Agar beberapa kemungkinan yang akan datang bisa dihadang dengan persiapan matang.

Persepsi timbul akibat serapan informasi. "Kulli min thayibati maa razaqtana". Bangsa yang 'thayib', yang diberkahi lahir dari energi yang baik dan akan mengeluarkan pula energi yang baik. Hukum kekekalan mengatakan ia tak bisa diciptakan tapi bisa ditransfer dan ditransformasikan.

Kenapa kabau yang jadi sandaran atas pijakan, tak lain karena ia cerminan atas pengelolaan. Sebuah konsep managemen kehidupan yang dipatrikan. Tata kelola laku dan antar laku.

Minangkabau tidak mengenal konsep hirarkis, semuanya disusun atas nama kesetaraan, yang diperlambangkan empat tungku sajorong. Tak ada nominasi yang adalah kompromi. Keputusan lahir atas azas kemusyawarahan yang dimufakatkan.

Bundo kanduang adalah symbol penghargaan atas harkat kewanitaan. Mereka dapat tempat yang sangat layak di rumah gadang. Sedangkan para lelaki adalah pelindung dan pengayom yang memagari rumah, agar para wanitanya bisa menjadi tenang.

Penjagaan ini dibuat dengan elok, harta pusaka yang diwariskan nenek moyang selalu dijaga supaya tak lari kemana. Para laki atau menantu tak punya kuasa dalam rumah gadang, tapi mereka mendapati penghormatan seperti raja.

Kabau bisa saja dilambangkan sebagai energi yang memiliki potensi kebaikan, bila bisa dikelola dengan arif, ia akan menjadi bergerak dan berkarya menuju yang positif untuk membantu roda kehidupan. Bila sebaliknya terjadi, potensinya tidak dikelola dengan baik, akan menjadi sia-sia dan bisa juga jadi perusak yang melantakan. Bila itu terjadi, tak ada pematang yang jadi hambatan semuanya dilabrak, merusak tatanan menjadikannya jadi centang perenang.

Tata kelola yang dimodelkan jadi pakem ini adalah bentuk managemen kehidupan yang baik, yang bisa membawa kepada kemenangan. Maka dari itu, mereka para penjaga luhak ini disebut pemenang atau orang Minang. Sebuah indikasi yang dipopulerkan sebagai tanda adalah kemenangan atas penjagaan luhak, wilayah atau tanah mereka dari rongrongan pihak luar.

Bukit Marapalam adalah antitesis. Sebuah pelajaran yang layak direnungkan, bagaimana urang Minangkabau menempatkan ranah mereka diatas keagamaan, terutama Islam. Mereka bertahan sekaligus menerima dengan terbuka karena prinsip keduanya bisa sejalan. Hubungan ini dibina dengan harmonis dan mutualisma. Adat dijaga dan agama dijadikankan acuan. Adat basandi syarak, syarak basandikan kitabullah.

Keminangan terpelihara karena Islam dijaga. Itulah yang kita baca dari sebuah semangat peradaban yang ditimba.

Kesepakatan bukit Marapalam adalah representasi eksistensi dari dua kata itu.
Bila Minang adalah suatu pencapaian dan kabau itu adalah tata kelola, maka Islam adalah rujukan yang dijadikan acuan untuk meraih kemenangan.

Minang dan Islam adalah suatu pasangan yang tak dapat dipisahkan dan saling mendukung. Sebuah alkuturasi dan kompromi.

Keminangan bisalah dipahami sebagai penjagaan atas Luhak, dengan filosofi yang sederhana tapi sarat makna, yang pencapaian dilalui melalui alam terbentang dijadikan guru. Hidup dengan akal agar bisa mati dalam keadaan beriman. Agama mengatakan adat memakainya. Islam mensyariatkan mereka menerapkan dan Luhak pun terjaga. Anak dipangku kemenakan dibimbing.

Semangat mereka termasuk revolusioner, makanya tak heran ketika turun gunung mereka tak merasa dikalahkan. Mereka bebotoh tapi bukan Bonek. Kalau di bulan bisa hidup, maka mereka akan berjualan. Jadi kalau ada trotoar nganggur mereka akan manfaatkan. Kalau dikasih jalan mereka akan senang hati berjualan. Itu karena mereka hidup berkali-kali dan matematik jadi makan sehari-hari.

Tapi apakah penjaga luhak itu masih bereksistensi? Klaim tak lapuk dimakan waktu patut dipertanyakan. Mereka menolak Islam Nusantara tapi mereka menyebut Islam itu sebagai syarak. Bukankah syarak ini tafsir keislaman dalam konteks lokal. Islam tak membumi-hanguskan tapi lebih memperkaya kearifan lokal. Dan mereka bergandengan menuju kemenangan.

Ketika Luhak tak dijaga, maka wilayah akan tersita. Bila wilayah tak ada maka negara akan hilang. Bila negara hilang maka 'Al-Balad' tak akan ada. Islam bukan 'demolisasi' tapi penguat keanekaragaman, memperkaya khasanah, karena pada dasarnya semua itu berada dalam satu kesatuan utuh. Bermacam-macam itu bisa jadi satu tapi satu itu tidak bermacam-macam. Itu filosofi dasar yang harus diikat dan diikuti.

Ketika Minangnya hilang, maka yang tinggal adalah kabau. Dan bagi kabau tak ada namanya pematang. Orang Minang bertahan menjaga ranahnya. Bila tidak maka pusakanya akan hilang. Akibatnya garis keturunan pun akan ikut berubah dari matrilinial menjadi patrilinial dan tak akan ada lagi konsep 'bundo kanduang' dalam tafsiran budaya dan ia akan berubah ke ranah lokal sebagai orang tua belaka. Artinya rumah gadang sudah tak diperlukan, ia akan menjadi rumah biasa atau rumah tunggal, konsep kebudayaannya hilang. 

Rumah gadang hanya bisa berdiri bila ada pusaka tuo yang mengikati. Kalau semuanya sudah berubah menjadi harta gono-gini, ranah mana lagi yang akan dijaga? Harta gono-gini mengikat kepemilikan atas nama dan bersama menatu. Karena ranah yang dijaga sudah habis, maka tak akan ada lagi pematang seperti yang digariskan oleh budaya. Konsep rumah tangga menjadi biasa seperti umumnya dan mamak rumah hanya menjadi symbol, atau penghibur saja, tidak sebagai subjek yang diberi kedudukan. Begitu pula dengan kemanakan, ia seperti anak burung yang dilepas dari sangkar, dibiarkan bertarung dialam bebas sendirian, tanpa patron dan bimbingan.

Bila disimpulkan dalam satu kata, namanya akan hilang!

Dalam konteks ini, penolakan MUI- Sumbar terhadap konsep terminologi Islam Nusantara bisalah dimaklumi, tapi hendaknya ada catatan khusus yang mengarifi mengacu kepada kesepakatan bukit Marapalam, karena itu juga sebuah typologi yang diamini. Kalau tidak, sudah siapkah kita mengatakan, say goodbye to "Minangkabau"? Ia cukup menjadi nama sebuah airport.

#EksistensiKeminangan#MuiSumbar#RobohnyaRumahGadang
-imagebygoogle

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun