Mohon tunggu...
Ferri Melson Tafzi
Ferri Melson Tafzi Mohon Tunggu... -

Menulis dan membaca adalah memperkaya khasanah hidup dan memberi nuansa buat kehidupan itu sendiri. Pengalaman adalah langkah nyata dalam menisik jalan kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Eksistensi Keminangan, Robohnya Rumah Gadang?

2 Agustus 2018   20:09 Diperbarui: 2 Agustus 2018   20:33 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Keminangan terpelihara karena Islam dijaga. Itulah yang kita baca dari sebuah semangat peradaban yang ditimba.

Kesepakatan bukit Marapalam adalah representasi eksistensi dari dua kata itu.
Bila Minang adalah suatu pencapaian dan kabau itu adalah tata kelola, maka Islam adalah rujukan yang dijadikan acuan untuk meraih kemenangan.

Minang dan Islam adalah suatu pasangan yang tak dapat dipisahkan dan saling mendukung. Sebuah alkuturasi dan kompromi.

Keminangan bisalah dipahami sebagai penjagaan atas Luhak, dengan filosofi yang sederhana tapi sarat makna, yang pencapaian dilalui melalui alam terbentang dijadikan guru. Hidup dengan akal agar bisa mati dalam keadaan beriman. Agama mengatakan adat memakainya. Islam mensyariatkan mereka menerapkan dan Luhak pun terjaga. Anak dipangku kemenakan dibimbing.

Semangat mereka termasuk revolusioner, makanya tak heran ketika turun gunung mereka tak merasa dikalahkan. Mereka bebotoh tapi bukan Bonek. Kalau di bulan bisa hidup, maka mereka akan berjualan. Jadi kalau ada trotoar nganggur mereka akan manfaatkan. Kalau dikasih jalan mereka akan senang hati berjualan. Itu karena mereka hidup berkali-kali dan matematik jadi makan sehari-hari.

Tapi apakah penjaga luhak itu masih bereksistensi? Klaim tak lapuk dimakan waktu patut dipertanyakan. Mereka menolak Islam Nusantara tapi mereka menyebut Islam itu sebagai syarak. Bukankah syarak ini tafsir keislaman dalam konteks lokal. Islam tak membumi-hanguskan tapi lebih memperkaya kearifan lokal. Dan mereka bergandengan menuju kemenangan.

Ketika Luhak tak dijaga, maka wilayah akan tersita. Bila wilayah tak ada maka negara akan hilang. Bila negara hilang maka 'Al-Balad' tak akan ada. Islam bukan 'demolisasi' tapi penguat keanekaragaman, memperkaya khasanah, karena pada dasarnya semua itu berada dalam satu kesatuan utuh. Bermacam-macam itu bisa jadi satu tapi satu itu tidak bermacam-macam. Itu filosofi dasar yang harus diikat dan diikuti.

Ketika Minangnya hilang, maka yang tinggal adalah kabau. Dan bagi kabau tak ada namanya pematang. Orang Minang bertahan menjaga ranahnya. Bila tidak maka pusakanya akan hilang. Akibatnya garis keturunan pun akan ikut berubah dari matrilinial menjadi patrilinial dan tak akan ada lagi konsep 'bundo kanduang' dalam tafsiran budaya dan ia akan berubah ke ranah lokal sebagai orang tua belaka. Artinya rumah gadang sudah tak diperlukan, ia akan menjadi rumah biasa atau rumah tunggal, konsep kebudayaannya hilang. 

Rumah gadang hanya bisa berdiri bila ada pusaka tuo yang mengikati. Kalau semuanya sudah berubah menjadi harta gono-gini, ranah mana lagi yang akan dijaga? Harta gono-gini mengikat kepemilikan atas nama dan bersama menatu. Karena ranah yang dijaga sudah habis, maka tak akan ada lagi pematang seperti yang digariskan oleh budaya. Konsep rumah tangga menjadi biasa seperti umumnya dan mamak rumah hanya menjadi symbol, atau penghibur saja, tidak sebagai subjek yang diberi kedudukan. Begitu pula dengan kemanakan, ia seperti anak burung yang dilepas dari sangkar, dibiarkan bertarung dialam bebas sendirian, tanpa patron dan bimbingan.

Bila disimpulkan dalam satu kata, namanya akan hilang!

Dalam konteks ini, penolakan MUI- Sumbar terhadap konsep terminologi Islam Nusantara bisalah dimaklumi, tapi hendaknya ada catatan khusus yang mengarifi mengacu kepada kesepakatan bukit Marapalam, karena itu juga sebuah typologi yang diamini. Kalau tidak, sudah siapkah kita mengatakan, say goodbye to "Minangkabau"? Ia cukup menjadi nama sebuah airport.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun