Oleh: Â Sri Ulfania
English Dept., STKIP Paracendekia NW Sumbawa
Ketika sang surya lelah, sibukkan bayangan senja sembari menyumpahi gerimis, sang awan pun dengan seksama jadi penguasa langit dan mata senja berlinang jingga yang bersetubuh dengan gelap.Â
Rindu menyeruak saat senja menanti malam, geloranya tak padam meski durjana malam datang. Suasana yang kejam tidak menyurutkan niat seorang gadis kecil yang melangkah ke arah dermaga biru.
Aisyah, gadis berkerudung merah nan jelita dengan seikat bunga di tangan kanannya dengan wajah tertunduk menyirat tanya. Bahunya bungkuk menopang asa, selengkung garis bibirnya bicara, menggariskan duka dalam gurat penuh makna.Â
Hilang sudah kerjap kejora, pada matanya kabut luruh tak bersuara, gadis kecil diam tertunduk, gemetar jemari bermain disimpul hijab.
Ia duduk di dermaga biru nan kokoh, sambil terus memandangi lautan yang membiru, desiran ombak yang seakan melambai-lambai memanggil untuk sekedar melepaskan derai, menghempaskan rindu yang berkecamuk.Â
Gemuruh yang senantiasa getarkan dada dan gelombang yang selalu geram memukul dunia seakan membisukan suara tangis si gadis kecil yang lirih.
Ribuan kata tak mampu menuturkan duka yang dialami, jutaan rasa tak akan mampu melukiskan lara hati yang dirasa, ratusan purnama tak akan mampu menggantikan hari-hari yang telah lalu, di mana bahagia pernah menghampiri ketika mereka bersamanya.Â
Bersama menentang badai, bersama menatap matahari, bersama mengintip malam. Luka mampu ia balut, kesedihan ia jadikan rona dalam hidup, derita dan tangis berubah menjadi irama jiwanya, saat bersama mereka.
Gulungan ombak yang datang menghempas kakinya, namun tak membuatnya bergeming. Hembusan angin pantai yang menusuk tulang tak mmbuatnya mengalihkan pandangan ke samudera yang luas.Â
Hari itu langit tak berawan, ia terus memandangi laut biru sampai sang cakrawala mulai kembali ke peraduannya. Ia melihat para nelayan yang tengah menepi membawa hasil tangkapan ikan yang cukup banyak. Dalam pikirannya tersirat kenangan akan ayahnya.
Harapan putih pasir pantai, angin laut berhembus lembut bersenandung merdu menandaskan kisah, keluh kesah pencari nafkah yang berjuang tanpa mengharap sedekah.Â
Menerjang ombak menantang maut demi mendapat sekeranjang harta, harta amis yang berharga sebagai penyambung nyawa keluarga.Â
Rakit berayun sopan diiringi perahu papan dengan nahkoda berpakaian hitam membelah laut menuju harapan. Hujan dan panas menjadi teman setia, gelombang dan angin menjadi hiburan demi harapan yang setumpuk mendapatkan ikan dan udang demi anak istri yang menanti.
Tiba-tiba ia tersadar dari lamunan sesaat akan kenangan tentang ayahnya, tanpa ia sadari setetes air jatuh dari pelupuk matanya, dia menangis sejadi-jadinya, air mata seakan membuka luka lama yang telah susah payah dikuburnya.Â
Terbayang akan wajah-wajah manis yang kini tiada, sebagaimana hujan yang jatuh di padang gersang nampak seperti air mata yang bertuankan rindu.Â
Aisyah mencoba menahan getaran bibirnya yang ingin berteriak, berusaha menopang tubuh dengan kaki kecilnya yang bertumpu pada tangga dermaga, Semua beban seakan dirasakan jua oleh dermaga biru tempat ia duduk.
Laut yang membisu menyimpan surga di kedalamannya, biru bercahaya, kadang tak bersahaja namun pasti tak sengaja, biru yang menenangkan, biru yang mengagumkan, biru yang memanjakan mata, ikan-ikan mutiara ada di rahimmu, kau kandung di akar biru.Â
Ombak pantai menampar karang, angin berhembus membentuk gelombang menambah keindahan, namun kisah tragis yang meninggalkan kenangan pahit terus bergejolak dalam ingatan Aisyah yang membuatnya benci dengan laut.
Dengan suara lirih ia bergumam "aku benci laut serta apa yang ada padanya, laut membuatku sendiri, laut mengambil kebahagiaanku, laut mengambil penyemangat hidupku, jikalah perlu mengapa kau tidak menyeret aku sekalian, kedalam gelombang yang kau ciptakan berbulan-bulan yang lalu, mengapa aku terselamatkan,?". Suara lirih yang disertai isak tangis seakan mengundang senja untuk menepis air mata yang tersingkap di pipi mungil sang gadis kecil.
Jika diceritakan kembali kejadian 4 bulan yang lalu, saat badai di bulan Desember yang merenggut begitu banyak nyawa begitu dramatis. Terombang-ambing di tengah samudra, diterpa badai yang begitu dahsyat tidak akan ada yang dapat menghindar, semua akan berlalu begitu saja.Â
Si ikan besi sudah sedikit rapuh, dipaksakan membawa beban yang melampaui batas maksimal keseimbangan berlayar. Sungguh hal yang sangat disayangkan terjadi, Aisyah menghela nafas panjang mencoba mengingat kembali kejadian saat itu.Â
Saat ia terhempas dari kapal, dengan sepotong papan kayu di sampingnya, sedangakan ayah, ibu, dan adik laki-lakinya masih berada di dalam kapal, hujan badai yang menghujam tubuhnya seakan seperti selimut hangat yang mengantarkannya ke dalam mimpi yang dingin.
Semalaman ia terseret gelombang yang entah mebawanya kemana, ia bermimpi ayah, ibu, dan adiknya pergi tanpa pamit menuju lubang cahaya yang gemilang.Â
Aisyah hanya terpaku menyaksikan satu persatu keluarganya berjalan mendekati cahaya itu, ia berteriak meminta mereka berhenti, hingga suaranya menjadi parau, dan merasa sangat haus di tenggorokannya, ia terbangun dari mimpi aneh yang mengerikan dan mendapati tubuh mungilnya terkapar di tepi pantai pasir putih yang bersih.
Dia mencoba bangun dengan sisa tenaga yang ia punya, lengannya yang lebam, dahinya yang berdarah, dan pandangannya yang kabur membuatnya jatuh terlentang di bawah sang surya yang mulai menampakkan sinarnya.Â
Sesaat ia menatap ke langit dan kembali terlelap dalam tidur palsu. Setengah hidup setengah mati yang ia rasakan, dua hari satu malam ia terkapar di tepi pantai dengan harapan seseorang akan menemukannya di sana.
 Terdengar suara segerumun percakapan yang mendekat, semakin dekat dan tiba-tiba hilang, salah satu diantara mereka berteriak "astagfirullah,! Siapa di sana?" senyum simpul terlihat dari bibir mungil Aisyah, dengan suara yang lirih ia berkata "ternyata tuhan mendengarkan doaku". Setengah sadar ia merasa ada yang mengangkat tubuh kecilnya dengan sangat kuat hingga akhirnya dia tak sadarkan diri.
Yang paling disesalkan adalah hingga saat ini Aisyah tidak pernah melihat kain kafan terbungkus di tubuh yang mulia, bahkan jenazah kedua orang tuanya tak pernah disaksikan, bagaimana mungkin ia percaya bahwa keluarganya telah tiada.Â
Dalam batinnya masih tersisa harapan jika keluarganya akan pulang dan memberikan pelukan yang hangat, sungguh harapan yang tiada ujungnya.
Tapi pada kenyatannya mereka telah pergi bersama angin mengembara, terbang jauh, dan Aisyah tak pernah tahu apakah ada niatnya untuk kembali bersama mengarungi lautan duka dan sungai air mata.Â
Mereka adalah matahari bagi Aisyah, mereka adalah purnama dan mereka adalah lagu jiwanya Aisyah. Tanpa mereka, hidup seakan gelap, hidup seakan kelam, dan hidup seakan hampa.
Gemercik air sudah tak mampu ia dengar, sejuknya angin sudah tak mampu ia rasa, hangatnya mentari sudah tak mampu ia nikmati. Ia buta dalam penglihatan, ia kaku dalam dunia, ia mati dalam jiwa, karena mereka telah pergi menembus malam, menantang matahari, membawa semua cinta, semua asa dan meninggalkan Aisyah seorang diri.Â
Aisyah tak pernah menduga mereka tega meninggalkan tanpa menyisakan seberkas kasih dan mengapa mereka tidak mengajak serta Aisyah untuk menikmati kebahagiaan yang dipenuhi aroma cinta di dunia yang baru.
Aisyah termenung dan berkata "Dulu dewi malam pernah tertunduk malu menatap sinar wajahku, matahari pernah takluk di kakiku menatap pesona jiwaku, burung-burung membisu menyaksikan keceriaanku mengalahkan ribuan syair cinta yang dialunkan seorang bidadari, tapi itu hilang dalam semalam ketika kurasakan mereka meninggalkanku tanpa kata-kata.Â
Mereka benar-benar meninggalkanku, mereka enggan membawaku, mereka campakkan aku kembali ke dunia nyata yang dipenuhi duka, derita dan air mata.Â
Kebahagiaan kurasa bagai sembilu, keceriaanku bagaikan gerhana, tak ada yang dapat kunikmati tanpa mereka, aku adalah orang pertama yang berenang dalam genangan air mataku, dan aku tahu ini tak ada akhir. Bahkan aku ragu apakah tuhanku mampu mengakhiri lukaku, deritaku, tanpa kematian jiwaku".
Dermaga biru menjadi saksi bahwa harapan gadis kecil itu, dititipkan pada lautan yang tidak bertanggung jawab, seolah dermaga biru adalah seorang teman yang setia, yang tidak bisa memalsukan cinta.Â
Di dermaga biru gadis kecil menunggu, tempat ia memapah rindu memetakan rasa pada basah pasir putih dan berharap Tuhan menerima botol-botol doa dan harapan yang ia kirim, di dermaga biru ia termangu memerah debur suci dari ombak, menyaring angin yang mendesah, mencoba menemukan syair-syair penguat di setiap sore datang . Bersandar diantara tepian rindu gemulai kerudung membalut sepi yang enggan beranjak pergi.
Ketika air mata kian berderai setiap waktu, bahkan sampai di penghujung hidupnya, rasa pilu hidup seakan mati tapi mati tak mau cepat menghinggapi, kenangan itu biarlah menjadi lembaran biru, menyaksi hidup yang tak pernah meragu.Â
Kenangan itu pasti karena ia hadir setelah terlewati , jangan resah tentang bagaimana kau hidup saat ini atau bahkan kau berpikir berapa lama hingga rasa sakit itu hilang dari hatimu.Â
Bebaskan !!! hiduplah di masa kini bahkan jika bisa, melupakan, lupakanlah. Namun bila tak bisa, belajarlah!, semua kejadian pasti ada hikmahnya, setiap hari berganti jangan sampai terpuruk pada kisah lalu yang tidak mensejahterai.
Aisyah selamkan beribu rindu pada sampan yang berlabuh, ia tuangkan beribu peluh seumpama senja jingga yang indah, yang sejenak hadir menghantar kepulangan mentari, begitu pula rindu yang hadir di dada sebelah kiri.Â
Gadis kecil berkerudung merah beranjak dari duduknya sembari menghadiahkan seikat bunga yang ia bawa kepada lautan, ia mendongak ke langit melihat burung camar yang lepas, bebas terbang di atas laut luas bersatu dengan senja menjadi penghias mengintai setiap ikan yang membias.
Putih setiap helai buru yang mereka miliki seakan memberi arti jika mereka tidak pernah menghianati dan mengingkari, walau harus terbang kesana kemari tapi mereka bebas menjalani hidup ini.Â
Aisyah berkata "Andai aku dapat terbang layaknya mereka, bebas tanpa harus pusing dengan derita rindu dan tak harus merasakan luka , mungkin aku akan berteriak kalau aku bahagia, andai saja aku adalah camar."
Rindu selau mengejek dan seolah menjadi musuh setiap insan yang kehilangan, bagaikan akar pohon yang kuat menancap di tanah, rasanya ingin sekali berdamai dengan rindu yang mencabik setiap rasa.Â
Si gadis kecil melihat ke kejauhan, menunduk dan melanjutkan langkah menuju peristirahatan, tidak, tiba-tiba ia berbalik ke arah lautan mengambil ancang-ancang untuk melompat dan merelakan diri di telan birunya lautan, setan-setan kecil seketika menguasai pikirannya, terus merayu untuk terjun ke dalam dosa, ia berlari sekuat tenaga dan mencoba melompat dari atas dermaga.Â
Tiba-tiba ia tersentak karena merasa ada hambatan di bagian bawah roknya yang terurai lembut berbahan kain rajut yang tergerai di atas papan dermaga kayu, dilihatnya paku yang tidak tertancap sempurna terkait pada roknya yang tergerai.
Namun pada saat itu ia mendengar bisikan dari lautan yang mengatakan "Aku siap menanggung duka rindumu, peluk aku, datang padaku, untuk apa kau hidup dalam kesendiriran. Tidakkah kau merindukan keluarga kecilmu?, yang telah lebih dulu percaya padaku?.Â
Mereka telah lama menunggumu, mereka rindu cerita manja darimu, loncatlah Aisyah, loncatlah !!". Namun, paku dermaga seakan adalah teman yang mencoba menggenggam tangannya dengan kuat, tidak membiarkan dosa meretakkan imannya, namun pada kenyataanya Aisyah bertarung dengan dirinya sendiri.
Air mata kembali jatuh dari matanya yang mulai sembab, tangan kirinya meraih paku dermaga dan menyigkapkan renda rok yang berpagutan, mencoba berdiri dan membelakangi lautan, rupanya Aisyah telah menentukan piihan antara mati atau membiarkan rindu tetap hidup dalam jiwanya.Â
Ia berjalan pasti meninggalkan lautan, memfokuskan mata pada jalan setapak yang akan dilalui, meningat gelap yang pekat akan menghampiri, Aisyah mempercepat langkahnya menuju gubuk di sebuah desa yang tidak jauh dari bibir pantai.
Dari kejauhan seorang wanita tua dengan raut muka yang cemas dan nampak khawatir menerawang memastikan apakah cucunya telah kembali, Aisyah merasa bersalah ketika melihat sosok wanita rapuh dengan rambut yang telah memutih menuggu kepulangannya.Â
Aisyah tepat berdiri di hadapan neneknya, ia hanya terdiam, senyum dari bibir sang nenek menandakan kerisauan yang telah memudar, tangan keriput merengkuh bahu cucunya dan mengajaknya masuk ke dalam gubuk sederhana yang hangat dan nyaman.
Di keheningan malam yang bertemankan gerimis, Aisyah kembali memikirkan hal lalu sembari memandang neneknya yang tengah duduk di kursi rotan ruang tamu menyelesaikan jahitannya. Ia begitu lemah, dengan kacamata tua yang selalu ia pakai.Â
Jika Aisyah memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sore tadi, apakah mungkin ia masih bisa melihat wanita tua yang renta ini?. Apakah ia tega membiarkan neneknya menanti kepulangannya yang mungkin tidak akan pernah menampakkan diri?.
Ia masuk kedalam bilik bambu dan tidak membiarkan neneknya menyaksikan air mata yang keluar tidak tahu malu, ia menutup mulutnya dengan kedua tangannya, berharap sang nenek tidak mendengar isak tangis yang tersedu, ketika ia mulai sedikit tenang, ia membaringkan tubuh lelahnya di atas tilam merah yang termakan usia.Â
Namun masih layak digunakan. Ia mencoba memejamkan mata, menepis kenangan untuk sejenak mengistirahatkan hati yang gundah, tiba-tiba pelukan lembut merengkuhnya dari belakang, ia sudah tahu siapa itu, tangisannya kembali menggeliat dan ia berbalik membalas pelukan neneknya.
Sekiranya, neneknya sudah tahu apa yang dirasakan cucunya, memang kematian ayah, ibu, dan adik laki-lakinya meninggalkan sayatan luka yang mendalam. Tidak mudah baginya menerima kejadian tragis itu, apalagi Aisyah masih sangat belia.Â
Sang nenek menepuk bahu cucunya mencoba memberikan rasa aman dan nyaman dalam pelukan hangatnya, karena ia berpikir tidak ada yang lebih baik dari waktu dalam hal memudarkan kenangan.
Aisyah terisak dalam pelukan neneknya, hingga akhirnya ia terlelap dengan anggunnya, dengan air mata masih tersisa di ujung sekat matanya, ia terlihat sangat lelah, dan belum pantas menanggung beban batin yang sedemikian angkuhnya, sungguh Aisyah yang malang, menjadi korban hidup lautan yang mengamuk. Terselamatkan, namun meninggalkan luka berdarah.
Meet the Author
Nama Sri Ulfania, panggilan kerennya sih Ulfa Alamat RT/RW 002/003 Dusun Sabedo 1, Kecamatan Utan Kabupaten Sumbawa. Lahir di Sumbawa tanggal 18 Februari 1998. Riwayat pendidikan: SDN 1 Sabedo tahun 2010, SMP Negeri 1 Utan tahun 2013, SMA Negeri 1 utan tahun 2016 dan sekarang menempuh pendidikan tinggi di STKIP Paracendekia NW Sumbawa Program Studi S1 Pendidikan Bahasa Inggris Semester 3.Â
Dia paling suka baca novel yang bertemakan sosial life, dia juga cukup aktif berorganisasi, seperti BEM dan HMPS pada bidang pendidikan dan olahraga. Email : sri ulfania 1708@yahoo.com.
                                    Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H