Mohon tunggu...
STKIP ParacendekiaNW
STKIP ParacendekiaNW Mohon Tunggu... Dosen - STKIP Paracendekia NW Sumbawa adalah perguruan tinggi keguruan yang mengelola dua program studi, yaitu Pendidikan Bahasa Inggris dan Pendidikan Matematika (jenjang Sarjana)

BLOG STKIP PARACENDEKIA NW SUMBAWA Wadah publikasi tulisan ilmiah populer dan karya sastra mahasiswa dan dosen STKIP Paracendekia NW Sumbawa Penyunting: Prof. Iwan Jazadi, Ph.D., Guru Besar Pendidikan Bahasa Inggris dan Ketua STKIP Paracendekia NW Sumbawa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lautan Kesedihan

4 Februari 2019   10:21 Diperbarui: 4 Februari 2019   10:55 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat ia terhempas dari kapal, dengan sepotong papan kayu di sampingnya, sedangakan ayah, ibu, dan adik laki-lakinya masih berada di dalam kapal, hujan badai yang menghujam tubuhnya seakan seperti selimut hangat yang mengantarkannya ke dalam mimpi yang dingin.

Semalaman ia terseret gelombang yang entah mebawanya kemana, ia bermimpi ayah, ibu, dan adiknya pergi tanpa pamit menuju lubang cahaya yang gemilang. 

Aisyah hanya terpaku menyaksikan satu persatu keluarganya berjalan mendekati cahaya itu, ia berteriak meminta mereka berhenti, hingga suaranya menjadi parau, dan merasa sangat haus di tenggorokannya, ia terbangun dari mimpi aneh yang mengerikan dan mendapati tubuh mungilnya terkapar di tepi pantai pasir putih yang bersih.

Dia mencoba bangun dengan sisa tenaga yang ia punya, lengannya yang lebam, dahinya yang berdarah, dan pandangannya yang kabur membuatnya jatuh terlentang di bawah sang surya yang mulai menampakkan sinarnya. 

Sesaat ia menatap ke langit dan kembali terlelap dalam tidur palsu. Setengah hidup setengah mati yang ia rasakan, dua hari satu malam ia terkapar di tepi pantai dengan harapan seseorang akan menemukannya di sana.

 Terdengar suara segerumun percakapan yang mendekat, semakin dekat dan tiba-tiba hilang, salah satu diantara mereka berteriak "astagfirullah,! Siapa di sana?" senyum simpul terlihat dari bibir mungil Aisyah, dengan suara yang lirih ia berkata "ternyata tuhan mendengarkan doaku". Setengah sadar ia merasa ada yang mengangkat tubuh kecilnya dengan sangat kuat hingga akhirnya dia tak sadarkan diri.

Yang paling disesalkan adalah hingga saat ini Aisyah tidak pernah melihat kain kafan terbungkus di tubuh yang mulia, bahkan jenazah kedua orang tuanya tak pernah disaksikan, bagaimana mungkin ia percaya bahwa keluarganya telah tiada. 

Dalam batinnya masih tersisa harapan jika keluarganya akan pulang dan memberikan pelukan yang hangat, sungguh harapan yang tiada ujungnya.

Tapi pada kenyatannya mereka telah pergi bersama angin mengembara, terbang jauh, dan Aisyah tak pernah tahu apakah ada niatnya untuk kembali bersama mengarungi lautan duka dan sungai air mata. 

Mereka adalah matahari bagi Aisyah, mereka adalah purnama dan mereka adalah lagu jiwanya Aisyah. Tanpa mereka, hidup seakan gelap, hidup seakan kelam, dan hidup seakan hampa.

Gemercik air sudah tak mampu ia dengar, sejuknya angin sudah tak mampu ia rasa, hangatnya mentari sudah tak mampu ia nikmati. Ia buta dalam penglihatan, ia kaku dalam dunia, ia mati dalam jiwa, karena mereka telah pergi menembus malam, menantang matahari, membawa semua cinta, semua asa dan meninggalkan Aisyah seorang diri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun