Mohon tunggu...
STKIP ParacendekiaNW
STKIP ParacendekiaNW Mohon Tunggu... Dosen - STKIP Paracendekia NW Sumbawa adalah perguruan tinggi keguruan yang mengelola dua program studi, yaitu Pendidikan Bahasa Inggris dan Pendidikan Matematika (jenjang Sarjana)

BLOG STKIP PARACENDEKIA NW SUMBAWA Wadah publikasi tulisan ilmiah populer dan karya sastra mahasiswa dan dosen STKIP Paracendekia NW Sumbawa Penyunting: Prof. Iwan Jazadi, Ph.D., Guru Besar Pendidikan Bahasa Inggris dan Ketua STKIP Paracendekia NW Sumbawa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kucing

27 Desember 2018   07:36 Diperbarui: 27 Desember 2018   07:41 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Cerpen Oleh:

Yeni Karlina

Mahasiswa STKIP Paracendekia NW Sumbawa

Waktu sudah berlalu tiga hari tiga malam, di malam yang sepi sunyi. Bntang-bintang yang biasanya terlihat memancarkan cahaya indahnya saling berkedip dan saling menyapa, malam ini tak terlihat bahkan satupun. Bulan pun tak menampakan wajahnya. Langit terasa hampa. Hanya warna hitam pekat dari kegelapan yang mengisi langit. Malam itu seakan menggambarkan hati seorang ibu yang kehilangan buah hatinya yang baru ia lahirkan 6 bulan yang lalu. Kesedihan dari sang ibu  kucing dirasakan oleh pepohonan di sampingnya, yang bahkan tidak bergerak sedikitpun seakan tak ingin mengganggu kegundahan hati dari sang ibu.

Sang ibu duduk di bawah pohon yang cukup rindang meratap kesedihan yang ada dalam hatinya, sambil mengingat kenangan terakhirnya bersama sang anak yang satu minggu lalu diajak berjalan-jalan memperkenalkan dunia itu seperti apa. Di samping jalan sang ibu meminta anaknya untuk menyaksikan berbagai macam isi bumi ini. "Lihatlah Odi sayang inilah dunia itu, penuh dengan penghuni. Ada manusia, tumbuhan dan hewan seperti kita," kata sang ibu dan begitulah ibunya memanggil sang anak. "Ada yang harus kamu ingat nak, jangan dekat-dekat dengan manusia," larang sang ibu. "Mengapa, Bu?" tanya Odi penasaran. "Karena mereka membenci kucing nak, mereka selalu mengira bahwa kucinglah yang sering mencuri lauk mereka seperti ikan dan lain-lain," jawab si ibu. "Oh iya, Bu," respon si anak.

Mereka berjalan mengikuti alur jalan di tengah teriknya sang surya yang teriknya seakan membakar kulit. Untunglah jalan yang mereka telusuri banyak pepohonan yang rindang, jadi mereka bisa terlindung dari sang surya siang itu. Tapi tiba-tiba di tengah jalan sang ibu berhenti, "Mengapa, Bu?" tanya Odi penasaran mengapa ibunya tiba-tiba berhenti di tengah jalan. "Kita cari jalur lain nak, kita tidak bisa melewati jalan ini," jawab sang ibu. "Mengapa Bu, bukankah rumah kita dekat jika lewat jalan sini?" tanya Odi lagi. "Lihatlah ke sana, nak," kata sang ibu sambil mengarahkan pandangannya ke jalan negara yang dikerumuni banyak orang. "Di sana banyak manusia yang berjalan sana sini, seperti gerombolan semut yang memenuhi jalan. Kita tidak bisa lewat ke sana. Jika kita tetap lewat ke sana, kita akan mati terinjak oleh kaki-kaki lelah mereka, yang tidak akan pernah perduli apa yang mereka injak," tambah sang ibu. "Bukannya ibu selalu bilang kita harus saling memahami satu sama lain di muka bumi ini?" tambah sang anak. "Ada beberapa manusia yang perduli dengan hewan seperti kita dan ada juga yang tidak. Makanya ibu sebelumnya bilang jauh-jauhlah dari mereka, nak. Mungkin manusia yang kamu temui itu bukannlah orang baik," jawab sang ibu. Merekapun mengambil jalur lain untuk sampai ke tempat mereka, tanpa harus melewati jalan yang dituju tadi. Mereka melewati jalan berbatu mengambi jalan dengan menyeberangi sungai kering yang menandakan tidak ada kehidupan sama sekali di sana. Hanya kerikil-kerikil dan bebatuan besar yang ada.

Siang yang panas itu membuat mereka kelelahan. Batu-batu kerikil yang terkena sang surya yang sangat panas saat itu, jika diinjak kaki, rasanya seperti di atas bara api. Walau merasa lelah dan letih, langkah mereka tetap berlanjut. Sekali-kali mereka istrahat sebentar melepas lelah. Jalan yang mereka tempuh dua kali lebih jauh dari jalan menyeberangi trotoar. Hanya karena ingin menghindari keramain sang ibu mengambil resiko dengan sang surya yang mempersembahkan udara yang begitu panas saat itu. Sang ibu berjalan terlebih dahulu dan Odi mengikuti dari belakang.

Dalam perjalanan pulang, Odi tak berhenti berpikir dan bertanya-tanya tentang pernyataan sang ibu yang mengatakan manusia itu jahat, sedangkan dari yang Odi lihat wajah-wajah manusia yang dia lihat tadi tidaklah menampakkan maupun menggambarkan sifat jahat dari mereka. "Apakah orang-orang itu adalah orang yang baik, karena kata ibu tidak semua manusia itu jahat? Bagaimanakah rupa manusia yang jahat itu? Mengapa mereka selalu menyalahkan kucing untuk segala sesuatu?" Pertanyaan-pertanyaan seperti itu menghantui perjalanannya sehingga teriknya sang surya tidak berpengaruh padanya, dan sampai tak sadar mereka telah tiba di tempat tinggal mereka.

Mereka tinggal di sebuah rumah yang sudah lama ditinggalkan orang, jauh dari jalan raya dan kerumuhan manusia di tengah hutan kecil di tepi kota. Mereka tinggal dengan banyak kucing di sana, hidup dengan damai karena jauh dari spesies lain terutama manusia. Mereka hidup rukun, tidak ada yang mengacau hidup mereka.

Pada suatu malam dengan langit yang bertaburan bintang-bintang berkelap kelip seakan mengedipkan mata, saling tersenyum dan menyapa satu sama lain. Hal ini membuat bulan cemburu dan tak muncul di malam itu. Angin sepoi-sepoi menyentuh kulit sang kucing kecil yang menikmati malam yang indah itu. Tiba-tiba dia dikagetkan oleh panggilan dari sang teman, "Odi! Kau sedang berkhayal apa, ku panggil dari tadi kamu tak menyahut?" kata temannya yang sedari tadi ternyata memanggil-manggilnya. "Maaf maaf, aku sedang asyik menatap keindahan langit malam ini. Lihatlah mereka, saling mengedipkan cahaya mereka, seraya mereka sedang bercanda gurau satu sama lain," terangnya. Tapi jangan seperti itu juga, temannya panggil tak kau hiraukan," gerutu temannya yang bernama Oji. "Oh ya, tadi kau diajak ibumu keliling kota ya?" tanya nya penasaran. "Ya, di sana sangat ramai, aku baru tahu ternyata dunia ini penuh dengan makhluk, bukan hanya seperti kita saja," jawabnya. "Berarti pasti kamu sudah ketemu dengan manusia, ya?" tanya Oji lagi. "Aku hanya melihatnya dari jauh saja," jawabnya lagi. "Mengapa? Pasti karena muka-muka mereka seram, ya? Jika begitu, pantaslah ibuku melarangku untuk keluar dari lingkungan kita ini?" kata Oji. "Tidak, itu tidak benar. Mereka tidak bermuka seram, mereka tertawa satu sama lain. Mengobrol dan saling menyapa, wajah mereka tidaklah seperti yang kita bayangkan selama ini," sanggahnya. Belum sempat Oji menjawabnya lagi, ibu Odi datang memanggilnya untuk segera masuk ke rumah, karena sudah tengah malam. Merekapun kembali ke tempat masing-masing.

Sampai di tempat tidurnya, Odi belum bisa lepas dari pikirannya soal manusia. Dia masih ingin pergi ke tempat yang dia kunjungi tadi siang. Sepanjang malam dia memikirkan hal itu dan tidak ia sadari bahwa fajar telah tiba. Saat mendengar sang ayam hutan mengeluarkan suara khasnya menandakan fajar telah tiba, Odi yang baru yang belum lama menutup matanya terbangun.

Odi keluar dari rumahnya, dengan suasana yang masih gelap dengan tetesan embun pagi dan dari kejauhan matanya memandang sedikit demi sedikit cahaya dari sang mentari pagi yang menampakan dirinya dari ufuk timur di balik gunung yang tinggi-tingi. Mata memandang terasa sejuk dengan persembahan yang diberikan pagi hari itu.

Pagi itu Odi lewati seperti biasanya, bermain dengan teman-temannya. Tiba-tiba sang ibu memanggilnya, "Odi, sini nak." Panggil ibunya. "Iya bu." Odi mendekat pada ibunya. "Nak, hari ini ibu akan ke kota untuk pergi bersama rombongan, mencari bahan makanan. Kamu jaga diri ya, jangan nakal-nakal dan jangan main jauh-jauh," kata ibunya. "Baik, bu," jawab Odi dengan senyuman.

Ibunya pun berangkat dengan rombongan berjalan menuju kota, di bawah sang mentari yang baru saja melewati gunung-gunung tempat dia muncul. Odi merasa khawatir saat itu. Ia tidak tahu mengapa rasa itu muncul tiba-tiba dalam hatinya ketika melihat ibunya pergi. Rasa gundah gelisah, seakan dia ingin melarang ibunya pergi. Rasa itu biasanya tak muncul karena ibunya biasa pergi ke sana. Tapi entah mengapa hari itu, rasa itu muncul dari dalam hatinya. Diapun berdoa agar sesuatu yang buruk tidak terjadi pada ibunya.

Siang berganti malam, akhirnya rombongan ibunya kembali ke tempat tinggal mereka. Ada yang membuat Odi merasa heran. Mereka biasanya kembali dengan wajah ceria. Tapi entah mengapa, badai apa yang membuat senyuman mereka redup. Saat mereka memandang Odi, beberapa dari mereka meneteskan air mata, salah satu dari mereka mendekat dan mengatakan, "Maaf." Kata itu seperti petir yang menyambar hatinya. Suasana malam yang dingin itu menjadi campur aduk. Karena di balik kata maaf itu ada sesuatu yang mencekam hatinya, bahwa ibunya telah ditangkap oleh manusia.  Mereka bahkan menyiksanya tanpa ampun. "Kami tak mampu menyelamatkannya karena sebelum kami mendekat mereka telah memasukannya dalam karung dan di lempar ke mobil," kata seorang dari mereka dengan nada sedih.

Perasaan Odi sangat hancur. Entah mengapa suasana malam itu menjadi penuh dengan kesunyian. Angin dan bintang tak lagi bersahabat dengan hati Odi saat itu. Odi tak mampu berkata-kata lagi. Hanya satu kata yang bisa di sebutkan olehnya, "Ibu."

Malam itu Odi tidak bisa tidur dengan tenang. Oleh karena itu, dia memutuskan untuk pergi ke kota untuk mencari ibunya. Tak ada cara yang lain yang bisa dia lakukan kecuali pergi untuk menemukannya. Walau telah dilarang dia tidak menghiraukan itu. Di tengah malam yang diterangi oleh sang rembulan saat itu, Odi memutuskan untuk pergi sendiri. Tekadnya untuk menemukan ibunya sangat menggebu dalam hatinya.

Rasa bencinya terhadap manusia tumbuh karena dengan mereka menyiksa ibunya begitu, telah nyata kalau mereka memanglah jahat, tak memiliki rasa kasihan terhadap sesama makhluk yang ada di bumi. Rasa sedih yang ada dalam hatinya menemani langkahnya sepanjang malam menuju kota. Suasana malam gelap itu tak membuatnya takut untuk terus langkahkan kakinya. Riuhnya suasana saat malam itu tak membuat hatinya urung untuk kembali. Perjalanannya melewati hutan dan semak sama sekali tidak membuatnya khawatir.

Sesampai di kota, suasana masih sangat ramai. Mobil dan motor masih ke sana kemari memenuhi jalan. Odi tak memperdulikan motor dan mobil itu. Dia menyeberang jalan, mencari tempat yang diberitahu oleh salah satu warga tempat dia tinggal. Dia berjalan dan terus berjalan, dan berharap kalau dia bisa menemukan ibunya.

Pagi telah datang, sang fajar telah menampakan dirinya. Rasa lelah dalam dirinya membuat Odi memutuskan untuk mengambil nafas di dekat sebuah pohon dan tumpukan sampah di sampingnya. Dalam istirahatnya, lamunannya datang, dengan melihat suasana pagi itu yang cerah. Langit biru yang tak tersentuh awan, warna birunya membuat suasana pagi itu membawa harapan baru. Harapan untuk menemukan ibunya.

Sebelum sempat dia untuk memulai langkah kakinya, tiba-tiba dia dikagetkan oleh gerakan dari salah satu sampah tersebut. Sebuah bungkusan warna putih membuat Odi merasa khawatir, tapi rasa penasarannya sangat kuat untuk menghetahui sesuatu apa yang ada dalam bungkusan itu. Dia mendekat, dan betapa terkejutnya, ternyata itu adalah seseorang yang telah dia cari semalaman ini. Begitu bahagianya, dia langsung mengendus pada ibunya. Ibunya pun merasa bahagia melihat anaknya ada di depannya. Namun, rasa sedih kembali terpancar dalam mata Odi melihat keadaan ibunya yang penuh dengan luka memar pada tubuhnya.

Tapi dengan kasih sayang, ibunya mengelus kepala anaknya. "Tidak apa-apa, nak, semua baik-baik saja, kamu tak perlu sedih untuk hal seperti ini. Sakit ibu hilang karena telah melihatmu, nak," kata ibunya dengan pelan menahan rasa perih yang menggeluti tubuhnya.

Setelah itu mereka berjalan perlahan-lahan. Odi membantu sang ibu untuk berjalan perlahan-lahan. Mentari yang semakin memberikan cahaya yang menyengat membuat langkah mereka terhenti sementara. Mereka mengambil nafas sebentar.

Melihat ibunya merasa lelah, Odi memutuskan untuk pergi mencarikan air untuk ibunya, tapi ibunya melarang nya untuk pergi. "Odi, jangan pergi nak, tetap bersama ibu. Itu tempat bahaya. Kamu harus seberangi jalan, nanti kamu ketabrak mobil, nak," nasehat ibunya. "Tidak, Bu, Odi bisa. Odi akan hati-hati, Odi janji." Odi memaksa. Karena ibunya tak punya kekuatan untuk menahannya, Odi pun langsung pergi mengambil air di seberang jalan.

Ketika menyeberang, Odi selamat sampai tujuan. Namun, saat kembali, sesuatu yang ditakutkan terjadi. Sebuah kendaraan besar melaju dengan sangat cepat mengarah pada Odi. Dengan seketika Odi terlempar ke udara dan jatuh ke tanah dengan berlumuran darah. Ibunya yang menyaksikan kejadian itu merasa hancur dan tak lagi berkutik.

Sejak hari itu, sang ibu yang penuh dengan semangat menjalani hidupnya seketika menjadi hancur dan tak lagi punya tujuan hidup. Hidupnya hanya penuh dengan kesesalan, kekecewaan dan  kesedihan. Dia menyalahkan dunia yang telah memperlakukan itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun