Pagi itu Odi lewati seperti biasanya, bermain dengan teman-temannya. Tiba-tiba sang ibu memanggilnya, "Odi, sini nak." Panggil ibunya. "Iya bu." Odi mendekat pada ibunya. "Nak, hari ini ibu akan ke kota untuk pergi bersama rombongan, mencari bahan makanan. Kamu jaga diri ya, jangan nakal-nakal dan jangan main jauh-jauh," kata ibunya. "Baik, bu," jawab Odi dengan senyuman.
Ibunya pun berangkat dengan rombongan berjalan menuju kota, di bawah sang mentari yang baru saja melewati gunung-gunung tempat dia muncul. Odi merasa khawatir saat itu. Ia tidak tahu mengapa rasa itu muncul tiba-tiba dalam hatinya ketika melihat ibunya pergi. Rasa gundah gelisah, seakan dia ingin melarang ibunya pergi. Rasa itu biasanya tak muncul karena ibunya biasa pergi ke sana. Tapi entah mengapa hari itu, rasa itu muncul dari dalam hatinya. Diapun berdoa agar sesuatu yang buruk tidak terjadi pada ibunya.
Siang berganti malam, akhirnya rombongan ibunya kembali ke tempat tinggal mereka. Ada yang membuat Odi merasa heran. Mereka biasanya kembali dengan wajah ceria. Tapi entah mengapa, badai apa yang membuat senyuman mereka redup. Saat mereka memandang Odi, beberapa dari mereka meneteskan air mata, salah satu dari mereka mendekat dan mengatakan, "Maaf." Kata itu seperti petir yang menyambar hatinya. Suasana malam yang dingin itu menjadi campur aduk. Karena di balik kata maaf itu ada sesuatu yang mencekam hatinya, bahwa ibunya telah ditangkap oleh manusia. Â Mereka bahkan menyiksanya tanpa ampun. "Kami tak mampu menyelamatkannya karena sebelum kami mendekat mereka telah memasukannya dalam karung dan di lempar ke mobil," kata seorang dari mereka dengan nada sedih.
Perasaan Odi sangat hancur. Entah mengapa suasana malam itu menjadi penuh dengan kesunyian. Angin dan bintang tak lagi bersahabat dengan hati Odi saat itu. Odi tak mampu berkata-kata lagi. Hanya satu kata yang bisa di sebutkan olehnya, "Ibu."
Malam itu Odi tidak bisa tidur dengan tenang. Oleh karena itu, dia memutuskan untuk pergi ke kota untuk mencari ibunya. Tak ada cara yang lain yang bisa dia lakukan kecuali pergi untuk menemukannya. Walau telah dilarang dia tidak menghiraukan itu. Di tengah malam yang diterangi oleh sang rembulan saat itu, Odi memutuskan untuk pergi sendiri. Tekadnya untuk menemukan ibunya sangat menggebu dalam hatinya.
Rasa bencinya terhadap manusia tumbuh karena dengan mereka menyiksa ibunya begitu, telah nyata kalau mereka memanglah jahat, tak memiliki rasa kasihan terhadap sesama makhluk yang ada di bumi. Rasa sedih yang ada dalam hatinya menemani langkahnya sepanjang malam menuju kota. Suasana malam gelap itu tak membuatnya takut untuk terus langkahkan kakinya. Riuhnya suasana saat malam itu tak membuat hatinya urung untuk kembali. Perjalanannya melewati hutan dan semak sama sekali tidak membuatnya khawatir.
Sesampai di kota, suasana masih sangat ramai. Mobil dan motor masih ke sana kemari memenuhi jalan. Odi tak memperdulikan motor dan mobil itu. Dia menyeberang jalan, mencari tempat yang diberitahu oleh salah satu warga tempat dia tinggal. Dia berjalan dan terus berjalan, dan berharap kalau dia bisa menemukan ibunya.
Pagi telah datang, sang fajar telah menampakan dirinya. Rasa lelah dalam dirinya membuat Odi memutuskan untuk mengambil nafas di dekat sebuah pohon dan tumpukan sampah di sampingnya. Dalam istirahatnya, lamunannya datang, dengan melihat suasana pagi itu yang cerah. Langit biru yang tak tersentuh awan, warna birunya membuat suasana pagi itu membawa harapan baru. Harapan untuk menemukan ibunya.
Sebelum sempat dia untuk memulai langkah kakinya, tiba-tiba dia dikagetkan oleh gerakan dari salah satu sampah tersebut. Sebuah bungkusan warna putih membuat Odi merasa khawatir, tapi rasa penasarannya sangat kuat untuk menghetahui sesuatu apa yang ada dalam bungkusan itu. Dia mendekat, dan betapa terkejutnya, ternyata itu adalah seseorang yang telah dia cari semalaman ini. Begitu bahagianya, dia langsung mengendus pada ibunya. Ibunya pun merasa bahagia melihat anaknya ada di depannya. Namun, rasa sedih kembali terpancar dalam mata Odi melihat keadaan ibunya yang penuh dengan luka memar pada tubuhnya.
Tapi dengan kasih sayang, ibunya mengelus kepala anaknya. "Tidak apa-apa, nak, semua baik-baik saja, kamu tak perlu sedih untuk hal seperti ini. Sakit ibu hilang karena telah melihatmu, nak," kata ibunya dengan pelan menahan rasa perih yang menggeluti tubuhnya.
Setelah itu mereka berjalan perlahan-lahan. Odi membantu sang ibu untuk berjalan perlahan-lahan. Mentari yang semakin memberikan cahaya yang menyengat membuat langkah mereka terhenti sementara. Mereka mengambil nafas sebentar.