Jo. Wanita seperempat abad itu sedang duduk di terasan depan kos. Sikap tenangnya tak bisa menutupi kesedihan yang terpancar dari raut muka dan sinar mata sedihnya. Dia sedang terduduk diam sambil mencoret-coret di kertasnya.
Sudah seminggu ini Mbak Jo menjadi topik perbincangan di kos. Para tetangga klesik-klesik tentang Mbak Jo yang sudah tidak beraktivitas di pagi hari seperti biasanya.Â
Aku mendekatinya. Duduk di kursi sebelah meja sambil membawa minuman untuknya.
"Mbak Jo," sapaku.
"Hei," jawab Mbak Jo singkat.
"Ini mbak, minum," ucapku memberikan minuman teh berbotol plastik daur ulang.
"Eh, makasih," ucapnya.
Ya, meski tidak terlalu dekat, tapi aku dan Mbak Jo memang tergolong akrab.
Sesekali kami berbincang, nonton TV bersama atau makan bareng di luar saat tanggal muda.
Namun aku tak berani bertanya, apakah Mbak Jo sudah tidak bekerja atau lagi work from home. Takut menyinggung perasaannya.Â
Meskipun aku pernah mendengar, ada satu anak kos yang terang-terangan menanyakan statusnya. Apakah bekerja atau sedang menjadi penganggur. Anak itu mengatakan, kalau libur jangan lama-lama.
Dalam hati ya aku hanya mbatin saja, kalau bisa cepat dapat pekerjaan ya jelas langsung bekerja. Kenapa dia seolah menceramahi orang tanpa tahu kondisi begitu?
Lagipula aku tahu, Mbak Jo adalah seorang pekerja keras. Dia juga merangkap freelance selain bekerja di tempat kerjanya. Ditambah lagi, tulang punggung keluarga pula. Jadi tak mungkin ada waktu baginya untuk berleha-leha.
Lebih baik diam sambil menyemangati dan berempati, kan? Karena kita juga tak pernah tahu, seberapa keras para korban PHK sudah berusaha untuk mendapat pekerjaan baru. Seberapa kuat mereka berusaha bertahan untuk kelangsungan hidup selama mencari kerja.
Di sela-sela heningnya kami, tiba-tiba Mbak Jo berucap.
"Aku bingung, Ran."
"Bingung kenapa, Mbak?" Tanyaku meski mulai menebak.
"Entahlah. Kemungkinan aku akan pulang ke kampung  setelah habis sewa kosan," jawabnya.
"Lho, kenapa Mbak?" tanyaku pura-pura tidak tahu. Bukan untuk kepo, tapi untuk menjaga perasaan.
"Aku libur seminggu ini dan belum dapat ganti. Kalau sampai akhir sewa belum dapat, ya aku akan pulang," Mbak Jo terlihat tegar mengucapkannya. Meskipun nadanya terdengar bergetar.
"Gak coba bertahan lebih lama, Mbak? Sampai bulan depan?" tanyaku.
"Pengennya begitu. Tapi rasanya gak bisa," ucapnya sambil tertawa miris.
"Sebenarnya aku juga gak pengen pulang ya di situasi covid-19 begini. Takut bawa virus. Tapi kalau nggak pulang, bisa tambah membengkak juga semua pengeluaran. Ada keluargaku juga yang harus dipikirkan." terangnya.
Yah, aku tau ini keputusan sulit untuk Mbak Jo. Dia pernah bercerita tidak akan menyambangi kampung halaman sampai covid-19 ini usai. Bahkan dia pernah menyemangati aku dan teman-teman lain untuk tetap tinggal sampai covid-19 ini berpulang, eh menghilang.
Tak disangka, tiba-tiba ada hal yang di luar dugaan.
Aku juga sedih mendengarnya.
"Freelance gimana, Mbak?" tanyaku.
"Yah, ada. Tapi tipis sekali di tengah pandemi sekarang ini."
Mbak Jo menghela nafas.
"Yah, pasti ada jalan. Apa pun diusahakan. Yang penting halal. Kan pasti ada setiap hikmah di balik peristiwa, ya," Mbak Jo mencoba optimis.
"Iya, Mbak. Siapa tau ini membuka jalan baru. Semangat ya, Mbak. Pasti ada jalannya," ucapku menyemangati.
"Yah, seperti pepatah hukum semesta, Ran. Kalau pintu satu tertutup, pintu lain pasti terbuka. Kita sebagai manusia cukup terus berusaha aja cari sampai ketemu pintu yang terbuka. Udah, gitu aja. Bersyukur, usaha maksimal dan pasrah. Soal jalannya bagaimana, biar Tuhan yang ngatur. Kita manusia usaha maksimal aja," ucapan Mbak Jo ini membuatku tersenyum.Â
Meskipun sedang dilanda sedih, tetapi beliau tetap memilih optimis dan semangat.Â
"Semua usahamu pasti berbuah manis, Mbak," ucapku.
"Amin. Makasih ya," ucapnya tersenyum.
Aku tahu Mbak Jo pasti sudah dan sedang berusaha keras, meskipun dia tak menceritakannya.
"Atau mungkin ini jadi suatu jalan baru, Mbak? Untuk mandiri di tengah pandemi?" ucapku.
Mbak Jo terdiam sesaat memandangiku. Memang terdengar kurang realistis rasanya untuk berwirausaha di tengah situasi saat ini. Usaha-usaha saja banyak yang gulung tikar. Karyawan dirumahkan. Mbak Jo sendiri jadi salah satu korbannya.
"Yah, who knows?" jawabnya sambil tercengir.
"Kalau memang jalannya, gak ada yang mustahil, kan?" ucapnya sambil tersenyum lebar.
"Kun Fayakun!" ucapnya bersemangat sambil mengepalkan tangan ke atas.Â
Kami pun tertawa bersama.
"Bismillah" kami menutup obrolan topik itu sebelum memulai obrolan baru.
Ya, kami percaya akhir dari sesuatu pun adalah awal dari sesuatu yang baru. Maka dari itu, untuk mengawali sesuatu yang baik, kami mengucapkan Bismillah. Yang pastinya juga kami sertai dengan Amin, karena kami pun lagi-lagi percaya, apa yang diusahakan dengan baik, akan berbuah hasil yang baik pula.Â
Sesuai kata pepatah tak lekang waktu, hasil tak akan pernah mengkhianati usaha.
Semangat untuk teman-teman yang terkena PHK, kalian pasti bisa melalui ini semua!
Kalian tidak sendirian.
Kalian pasti bisa bertahan dan hidup di tengah pandemi ini.
Selalu ada jalan.
Percayalah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H