Untuk kesekian kalinya saya kembali berduka sekaligus geram untuk orang-orang yang takut mati tapi mengancam nyawa orang lain.Â
Hari ini saya ditelpon oleh teman saya. Dia nangis-nangis gak karuan. Panik gak karuan.
Jadi ceritanya, sudah 2 hari ini dia sakit. Sudah 2 bulan demamnya tak kunjung sembuh. Kambuh ilang, kambuh ilang. Dua hari yang lalu demamnya kembali kambuh. Dia lalu inisiatif ke puskesmas dan menjalani tes darah dan tes dahak. Hasilnya, dia terkena tipes. Tes dahak negatif dan diminta untuk tes thorax.Â
Setelah itu, dia masuk kerja. Ketika masuk kerja, tanpa pemberitahuan atau babibu, dia ditodong oleh rekan kerjanya dengan tisu basah yang dijual di supermaket, lalu diminta untuk rapid test. Lengkap dengan bungkus alat rapid test yang sudah dibuka tanpa sepengetahuan teman saya. Hoo! Seolah-olah dia adalah PDP dan mereka adalah tenaga medis. Dia bingung, dong.
Lalu dia bertanya pada teman sebelahnya, apa juga dirapid test. Dan teman kerjanya menjawab iya.Â
Akhirnya dia bilang ingin mencuci tangan dulu. Meskipun sebenarnya sangat tertekan karena dipaksa. Tetapi ssbelum cuci tangan pun malah rekan kerjanya bertanya, kenapa cuci tangan, padahal ada tisu basah.Â
Teman saya tetap ingin mencuci tangan.Â
Akhirnya, dirapid test. Rekan kerjanya melakukan rapid test awam tersebut hanya dengan sarumg tangan plastik untuk belanja ibu-ibu supermaket. Sangar sekali, men!
Dan pelaksanaan rapid test tersebut berjalan tanpa pengawasan pimpinan atau manager atau orang yang memang bisa mengawasi prosedur awam tersebut.Â
Ketika di tengah-tengah prosedur, salah satu rekan kerjanya yang melakukan rapid test mengoles-oleskan jarum yang panjangnya 6-7 cm. Lalu, rekan yang lainnya bertanya, "kenapa?"
Rekannya menjawab, "darahnya kurang banyak"
Lalu rekannya tersebut masih mengoles-oles jarum tersebut pada luka jari teman saya.Â
Dan jari teman saya ditusuk lagi oleh jarum.Â
Setelah rapid test, lika tusuk jarum itu tidak diperban atau dihandsaplast. Malah teman saya yg meminta handsaplast. Ketika teman saya meminta handsaplast untuk menjaga luka tidak infeksi, teman lainnya justru mencibir. "Gitu aja pakai handsaplast. Gue suntik insulin juga gak pakai hansaplast".Â
Dan setelah teman saya selesai dirapid test, ketahuanlah bahwa tidak semua orang dirapid test. Ada beberapa yang tidak mau dirapid test dan diperbolehkan.
Merasa ada yang tidak beres, teman saya membuka-buka chanel youtube prosedur rapid test awam. Alangkah kagetnya, ketika jarum panjang yang dia lihat tadi tidak ada pada paket sachet rapid test itu.Â
Dia pun menanyakan pada teman saya, apa jarum yang dia pakai tadi. Temannya menjawab itu bukan jarum tapi pipet. Lalu terjadilah perdebatan di antara keduanya. Sampai rekan satunya lagi ikut-ikutan.Â
Rekannya itu mengeluarkan sampah bekas rapid test, memungutnya dengan tangan polos. Tanpa APD. Untuk menunjukkan pipet.Â
Sampai akhirnya bosnya keluar, memanggil teman saya dan mengatakan teman saya gila.
Dia mengatakan justru harusnya teman saya bersyukur karena mendapat rapid test gratis seharga 500ribu. Bukannya malah  cari perkara.
Akhirnya bosnya menyuruhnya pulang dan dia pulang dengan panik bercampur kesal.
Dia menelpon saya, menceritakan semuanya.
Dia nangis gak karuan. Dia sampai takut karena lewat prosedur rapid test yang serampangan itu, bisa terkena penyakit lainnya.
Dia bahkan tidak berani menemui family nya setelah kejadian ini.
Saya berusaha menenangkannya dan memberinya solusi-solusi.
Oke, sekarang mari kita kaji.
Pertama, rapid test ini tidak boleh dilakukan oleh sembarang orang. Harus tim medis yang mengetahui prosedur.
Kedua, dari kronologi yang diceritakan teman saya, rekan-rekan kerjanya tidak kompeten dan tidak memenuhi standar untuk menjalankan rapid tes. Tidak mempunyai background pengalaman medis atau pendidikan medis. Pengetahuan untuk menjaga kehigienisan dan kesterilan pun sangat kurang. Tidak layak!
Ketiga, rapid test serampangan tersebut dijalankan tanpa pengawasan penanggung jawab. Ini jelas malpraktek. Padahal pimpinan dari teman saya tersebut mengetahui dan menginstruksikannya. Tapi tak mengawasinya.
Ini sangat fatal. Ini sangat mengancam nyawa.
Keempat, tempat kerja teman saya ini bukan bergerak di bidang farmasi atau kesehatan. Tapi elektronik. Dan menjual rapid test ke khalayak umum. Padahal bukan instansi rumah sakit, farmasi, alkes, dll. Dan itu sudah masuk pelanggaran!
Serampangan sekali ya!
Saya sangat ingin bertanya pada bosnya. Atas dasar apa dia membuat inisiatif me-rapid test teman saya. Dokter bukan, tenaga medis juga bukan.
Jika beliau mencurigai teman saya terkena virus corona, beliau bisa meminta teman saya untuk melakukan tes covid-19 di rumah sakit yang sudah jelas akurat, kredibel dan bisa dipertanggungjawabkan. Lalu, bisa melarang untuk tidak masuk sementara waktu. Bukannya malah melakukan prosedur serampangan karena alasan takut mati, lalu membahayakan jiwa orang lain.
Lagipula, di tempat kerja teman saya ternyata ada beberapa karyawan yang baru mudik dari luar kota. Malah setiap hari ada yang PP dari Sby ke kota lainnya dengan waktu tempuh 1,5 jam menggunakan transportasi umum. Setiap hari. Bayangkan. Tapi toh adem-adem saja. Tidak diwaspadai padahal itu jelas yang lebih berpotensi. Â
Akhirnya teman saya sampai hari ini ketakutan dan cemas. Dia takut sekali. Gajinya yang pas-pasan membuatnya bingung untuk keluar uang tes lagi. Gegara tes serampangan itu! Apalagi dengan kondisinya yang saat ini drop karena tipes.Â
Sedih sekali saya melihatnya.
Dari sini saya juga belajar, ketakutan bisa membuat orang hilang akal. Sampai tidak mempedulikan orang lain. Bahkan membahayakan orang lain. Asal dia bisa survive, yang lain terancam mati pun tidak peduli. Sungguh jabatan setinggi apa pun, pendidikan setinggi apa pun tidak menjamin kelogisan dan kemanusiaan seseorang!Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H