Mohon tunggu...
Ste Vocal
Ste Vocal Mohon Tunggu... Penulis - Vocalkan suaramu

Cara mudah menjadi kritis adalah mau berpikir, selanjutnya berani bersuara

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Aku, Corona, dan Rindu

10 April 2020   00:08 Diperbarui: 10 April 2020   00:11 952
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku duduk di ranjang kosan sambil membalas chat dari customer. Ditemani suara hujan deras dan petir yang bergantian menggelegar, bersaut-sautan dengan derasnya hujan. Seolah ingin menyaingi suara berita di televisi yang terus-menerus menyiarkan perkembangan para korban corona yang berjatuhan. Terdengar suara reporter yang menyiarkan, sudah tiga ribu orang yang terjangkit covid-19, dua ratus orang diantaranya meninggal dunia. Lalu petir menggelegar kembali. Seolah menghalangiku untuk mendengar berita mencekam itu. 

Aku pun terus lanjut mengerjakan tugas-tugasku. Membalas chat para konsumen yang mengorder masker. 

Terdengar nada dering Manusia Kuat punya Tulus di speaker HPku. Kulihat layar, muncul nama Ibu. 

Ku angkat.

"Halo, Bu", salamku dengan nada rendah.

"Nak, pie kabarmu?", tanya Ibuku halus. Terdengar rindu bercampur kekhawatiran di sana.

"Aku baik-baik, Bu. Sehat juga", jawabku masih dengan nada rendah. Kali ini dibarengi raut agak murung.

"Beneran ta, Nak? Kamu nggak pa-pa? Bulan ini ngirim uang kok banyak banget?", keluh ibuku.

"Nggak pa-pa, Bu. Aku juga ada banyak kok. Lebih banyak. Hehehe", candaku.

Tawa ibu juga  terdengar di seberang sana.

"Nak, sudahlah. Ibu serius. Nanti sore Ibu transfer balik ke rekeningmu", ucap Ibu.

"Sudahlah, Bu. Aku masih ada, kok. Itu kan juga buat beli vitamin, sayur dan buah. Gak pa-pa. ", ucapku meyakinkan. 

"Tapi, bulan ini kamu kan tidak digaji 1 minggu, Nak. Karena diliburkan tempat kerjamu. Sudah, pokoknya nanti sore Ibu transfer. Ini untuk sehari-hari terlalu banyak.", ibu bersikeras.

Hitungan 'terlalu banyak' yang dimaksud Ibu adalah dengan menghemat seirit-iritnya untuk makan. Pengeluaran hanya untuk makan, listrik dan pemakaian air secukupnya. Tanpa vitamin.

"Bu, gak pa-pa, gak usah khawatir. Pimpinan tempat kerjaku tetap menggaji full, kok. Pengumuman yang kemarin dibatalkan, karena pendapatan tempat kerjaku masih bisa meng-cover untuk gaji karyawan. Penjualannya ramai", ucapku.

"Syukurlah, Nak. Tempatmu dijaga kelancaran rejekinya"

"Iya, Bu. Jadi 3 minggu ini kami jual alat kesehatan. Termometer, masker dan hand sanitizer. Lumayan membantu", terangku.

"Jadi, restoranmu sekarang gak jual makanan, Nak? Gantu jualan alat kesehatan?", tanya Ibu agak bingung.

Untung aku sudah tidak bingung menjawabnya. "Iya, Bu. Sementara jualan ini dulu"

"Lalu yang kamu kerjakan apa, Nak?", tanya Ibu masih bingung. 

"Tetap sama, Bu. Marketing. Tapi ini marketing online. Jadi penjualannya online."

Hening.

Aku juga.

Hening.

Mungkin Ibu bingung, anaknya mendadak menjadi sales online shop dadakan.

"Ramai penjualannya?", tanya Ibu lagi.

"Ramai, Bu. Tenang saja. Hehe.", jawabku menenangkan supaya Ibu tidak tegang.

"Ibu sehat?" Tanyaku.

"Sehat, Nak. Kami sehat semua di sini"

"Iya, Bu. Istirahat yg cukup ya, Bu. Makan yg sehat dan teratur. Kalau keluar rumah pakai masker.", pesanku.

"Iya, Nak. Kamu juga. Jangan lupa cuci tangan dan cuci kaki setelah sampai di kos.", pesan Ibu.

"Iya, Bu." Jawabku. 

Entah kenapa aku geli sekaligus rindu mendengar pesan Ibu yang satu ini. Pesan yang selalu diucapkan ketika aku pulang ke rumah sehabis sekolah atau dolan sama teman. 

Tiba-tiba, aku teringat sesuatu. 

"Oh ya, hape juga perlu untuk dibersihkan, Bu", kataku.

"Gimana caranya?"

"Diseka pakai kain lap kacamata yg sudah dicelup air sabun, Bu. Tidak perlu basah-basah. Setelah itu dilap menggunakan kain kering"

"Gitu, aja?"

"Iya, Bu"

"Ah, coba kamu ada di sini, Nak. Pasti kamu yang bantuin rawat hape, Ibu"

Haha, Ibu. Aku tertawa mendengarnya.

"Caranya gampang, kok, Bu. Nanti aku videokan cara membersihkannya ya, Bu"

"Iya, Nak. Makasih, ya. Kamu nggak pulang, Nak? Kamu nggak kangen rumah?", tanya Ibu.

"Ya kangen, Bu. Tapi kan belum memungkinkan keadaannya. Nanti kalau sudah pulih semuanya, aku pasti pulang kok, Bu", kataku.

"Atau Ibu yang berangkat ke sana saja, Nak?", tanya Ibu.

"Loh, jangan, Bu", aku mulai panik.

Aku tidak bisa membayangkan Ibu ke kota perantauanku yang saat ini sudah masuk zona merah gawat.

"Ibu #dirumahaja. Lebih aman untuk saat ini.", kataku. 

"Tenang saja, Bu. Ini pasti membaik. Pasti pulih kembali.", mataku memanas. 

Terasa hujan di luar sana berkapilaritas di mataku sekarang.

"Kita pasti akan segera bertemu, Bu.", mataku basah.

"Tenang saja", aku menahan suaraku yang bergetar.

"Amin. Semoga cepat membaik semuanya ya, Nak", sahut Ibu di seberang sana.

"Kamu lagi ngapain, Nak? ", tanya Ibu lagi.

"Ini, Bu. Lagi balas chat-chat customer yang nanya masker"

"Oh, iya. Kamu kerja ya, Nak"

"Iya, Bu. Tapi nggak di kantor kok, Bu. Kerja dari kos"

"Oh, mulai kapan?"

"Seminggu lalu, Bu."

"Yawes, jaga kesehatan ya, Nak. Jangan lupa makan. Kamu udah makan?", tanya Ibu.

"Iya, Bu. Ini mau makan", kataku sambil menatap jam weker di meja.

Tak lama, percakapan kami pun berakhir dengan pertanyaan 'makan apa' dari Ibu yang kujawab dengan 'makan nasi goreng'.

Ibu pun menutup telepon. 

Aku diam.

Hening.

Tak bergeming.

Sudah 5 bulan ini aku tak pulang. Rencana pulang 2 bulan kemarin terpaksa kutunda karena corona datang. 

Rindu? 

Sangat.

Statusku kini adalah ODR. Orang Dalam Rindu.

Aku kangen rumah.

Kangen masakan Ibu.

Nasehat Bapak.

Recehnya Adik.

Bawel sayangnya Kakak.

Kangen. Kangen semuanya.

Ingin pulang, tapi tertahan. Tertahan bayang sedih jika ternyata yang kubawa bukan hanya kangen, tapi juga oleh-oleh virus corona yang tak pernah diharapkan.

Lalu tiba-tiba, galauku pun teralihkan dengan dering notif chat.

Chat customer.

"Kak, ready 100 pcs ya, Kak?"

Ah, lagi-lagi customer pemborong masker kain yang chat tanpa membaca deskripsi produk.

"Maaf, Kak, untuk pemerataan masker ke masyarakat, pembelian dibatasi maksimal 10 pcs. Terimakasih, Kak", balasku cepat.

 Ternyata Neng Customer chat lagi.

"Aduh, Kak. Saya mau borong ini. Buat dijual lagi. Kenapa harus dibatasi? Nantinya saat saya jual lagi kan saya bantu juga ke masyarakat lainnya", ternyata Neng Customer ulet negosiasi.

Aku membacanya gemas sekaligus geli, juga ngeri.

Melihat sisi manusia yang oportunis, egois dan kapitalis. Seram sekali. Lebih seram dari pandemi saat ini.

Tiba-tiba perutku mendadak lapar menghadapi chat Neng Customer ini.

Kuambil sebungkus mie instan dari lemari. Dan segelas beras dari toples bekas kue kacang.

Ah, rasanya aku benar-benar butuh asupan energi untuk melayani Neng Customer ini.

Laparr..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun