Masih menyambung dari kelompok penolakan Paslon terbatas, Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, pun turut menyambangi dukungannya akan kehadiran poros ketiga sebagai pemecah ombak polarisasi di Pilpres 2024.Â
Pernyataannya ini datang dari sajian data lembaga survei naungannya yang menyatakan bahwa 40,6% responden masyarakat Indonesia mengharapkan agar Pilpres 2024 diikuti lebih dari dua pasang Capres/Cawapres. Alasannya sebagian besar dilandaskan pada 41,9% Â keinginan masyarakat untuk memperoleh opsi kandidat lebih banyak untuk dijadikan pembanding.
Kabar buruknya lagi adalah dua Paslon akan berefek samping pada kualitas demokrasi itu sendiri dalam bentuk turunan praktik black campaign. Salah satunya adalah jual-beli suara melalui praktik politik uang.Â
Hal ini berlaku baik dalam relasi antara kandidat dan konstituen atau antara sesama elit kandidatnya. Ditulis oleh Dr. Chanchai Chitlaoporn dalam jurnalnya yang berjudul The Relationship between the Election and the Democracy, menyebutkan bahwa semakin sedikit calon aktor kandidat yang bermain, maka secara tidak langsung memudahkan bagi para kandidat bersangkutan untuk membeli suara oposisi. Silogisme yang dipakai oleh Chitlaporn adalah narrowing alternatives.Â
Sederhananya, terjadi penyempitan jalur perpindahan impak suara---jika tidak memilih (voting) A, maka otomatis B, atau sebaliknya. Berbeda halnya jika Paslon terdiri dari tiga atau lebih.Â
Para tim pemenangan kandidat akan kesulitan untuk menjalankan strategi politik uang karena adanya ketidakpastian peralihan suara yang dibelinya---jika tidak memilih A, maka masih bisa berpindah ke B atau C. Kesimpulannya, semakin sedikit kandidat yang bermain, maka semakin melancarkan permainan politik uang. Namun, pertanyaannya, apakah semua pencegahan tersebut sepadan dengan kemungkinan pengorbanan biaya two-round system yang lebih besar?Â
Menguntungkan Ekonomi?
Sulit untuk menyangkal Pemilu tidak membawa efek ekonomi terhadap masyarakat. Setidaknya, terbukti dalam penelitian yang diadakan oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM FEUI), bahwa jumlah kandidat yang lebih banyak akan menambah pelaku ekonomi dalam mendongkrak produktivitas pasar, khususnya di sektor yang bersinggungan dengan perangkat kampanye, seperti industri kertas dan percetakan, tekstil dan pakaian, periklanan, dan sebagainya. Namun, disebutkan di akhir kesimpulannya bahwa seluruh proses perekonomian selama Pemilu tersebut hanya berlaku dalam jangka pendek atau sementara.Â
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU RI), Hasyim Asy'ari, juga buka-bukaan soal alokasi anggaran sebesar Rp14,4 triliun sebagai dana antisipasi Pilpres putaran kedua. Hasyim menegaskan jika nanti tidak memerlukan putaran kedua, maka uang tersebut secara otomatis bisa tidak dibelanjakan.Â
Selain penghematan biaya, dua kali putaran juga diperkirakan dapat menurunkan produktivitas jumlah hari kerja masyarakat karena kemungkinan besar akan menambah hari libur guna memastikan hak pilih konstituen betul-betul digunakan untuk menghidupi legitimasi politik pemimpin.Â
Bukan hanya membicarakan soal besaran nominalnya, ada juga ancaman nyawa bagi sumber daya manusia yang bekerja terlalu keras, seperti petugas KPPS. Kasus ini sangat mungkin terjadi apabila berkaca dari catatan Pemilu 2019 terdapat 894 petugas penyelenggara Pemilu meninggal dunia dan 5.175 lainnya mengalami sakit.Â