Memasuki tahun politik, Indonesia selalu mendapatkan dirinya diributkan dengan sejumlah wacana Pemilu 2024, termasuk di antaranya adalah kabar taktik penggiringan pembatasan jumlah pasangan calon (Paslon) di Pilpres 2024 mendatang.Â
Isu ini kali pertama diramaikan oleh Hasto Kristiyanto selaku Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP. Beliau menjelaskan bahwa ada baiknya Paslon dibatasi menjadi dua, tidak kurang dan tidak lebih.
Hasto menilai, di tengah kondisi pemulihan ekonomi yang belum sempurna dan ketidakpastian global lainnya, Indonesia membutuhkan Pilpres yang demokratis, cepat, dan kredibel. Ia mengatakan ketiga produk tersebut hanya dapat dibayarkan jika Pilpres diselenggarakan dalam satu kali putaran.Â
Isu ini semakin santer diberitakan ketika publik kembali menyangkutpautkan dengan lontaran sinis dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pada saat Rapat Pimpinan Nasional 2022 Partai Demokrat di Jakarta Convention Center.Â
Di kesempatannya itu, SBY mengatakan dirinya akan 'turun gunung' mengatasi kebatilan yang berpotensi terjadi di Pilpres 2024. Adapun isu pembatasan dua Paslon juga menjadi keprihatinan yang dimaksud beliau.Â
Sekilas, dinamika rivalitas kubu pro dan kontra tersebut boleh dibilang menjadi pemantik yang tepat untuk membahas domain interseksi ekonomi dan politik. Terlepas dari latar belakang kontekstualisasi isu ini, kelebihan dan kelemahan two-round system akan terus menjadi perbincangan yang relevan untuk didiskusikan.Â
Maka dari itu, pertanyaan kritis dapat kita renungkan adalah mengenai mana yang lebih baik? Apakah Indonesia sebaiknya membuka atau menutup kemungkinan sistem dua putaran dalam merayakan hajatan Pilpres 2024 mendatang?
Demokrasi Harga Mati
SBY mengatakan bahwa sistem Pemilu yang berkualitas tidak seharusnya memanipulasi kran input jumlah Paslon. Beliau menganggap modus tersebut merupakan bentuk degradasi nilai-nilai aspiratif demokrasi.Â
Keprihatinan yang serupa juga disampaikan oleh Direktur Eksekutif Indonesian Presidential Studies, Nyarwi Ahmad. Ia tidak menafikkan jika Pilpres 2024 hanya diikuti dua Paslon akan membawa ide bagus dan positif dalam hal efisiensi biaya dan sumber daya. Kendati demikian, Nyarwi menyoroti isu ini akan sama besar resikonya menjarakkan Pilpres 2024 dari nilai inklusivitas.Â
Bukan menjadi sebuah narasi mustahil nantinya figur-figur yang seharusnya potensial maju dan mampu menggaet dukungan dari masyarakat, justru tidak dipinang oleh partai politik. Sehingga panggung demokrasi sekadar berisikan kompetisi antarelit yang memiliki kedekatan khusus dengan petinggi-petinggi partai politik.