Udara serasa basah saat elegi puisi ini ditulis.
Terasa berat tuk menuangkannya sebab, aku takut  huruf-huruf mengobarkan api
Menjadi senjata paling mematikan.
Seorang diri, kutarik mata air mata dan kugali-gali diriku sendiri
Dari kuil ke kuil, dan sinilah aku berdiri
Sebagai seorang perempuan pertama.
Tapak-tapak kaki yang kulewati tak pernah sendirian.
Hitam dan putihnya kehidupan hadir menemani kesunyian "Salib" yang kupikul.
Meninggalkan bekas dan meluapkan kenangan.
Ku tak pernah goyah dan gentar sebagai seorang "puan"
Yang merindukkan kisah indah di akhir cerita nanti.
Ini barulah langkah awal yang kujejali.
Serasa berat, namun kumenerimanya penuh berkat.
Aku tak mau dibilang manusia sempurna, tapi ingin disebut manusia berguna.
Masih ada ribuan tapak yang harus kulewati.
Ceria, letih, canda dan tawa menghiasi balutan langkah kuyuh kakiku,
Satu kata mendorongku dalam hati: semangat!
Sebab, aku adalah perempuan pertama yang ingin melukis indah warna-warni senyuman di bias kedua orangtuaku.
Sudut Penfui, 28/01/23
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H